Masuk
Airin masih berusia 17 tahun ketika kabar itu datang. Usianya masih belia; dunia yang ia kenal hanyalah sekolah, sahabat, dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang ingin ia bangun sendiri. Malam itu, selepas magrib, suasana rumahnya begitu tenang. Dari luar jendela, suara jangkrik bersahut-sahutan, berpadu dengan gemerisik dedaunan yang digoyang angin malam.
Lampu pijar kuning tergantung di langit-langit ruang tamu, memancarkan cahaya temaram yang membuat bayangan ayah dan ibunya jatuh panjang di dinding. Mereka duduk berdua di kursi kayu jati, wajah-wajahnya lebih serius dari biasanya. Airin, yang baru saja membereskan buku-bukunya, dipanggil ke ruang tamu. Dengan langkah pelan, ia duduk di kursi rotan di hadapan mereka. Tangan mungilnya meremas ujung rok panjang bermotif bunga yang ia kenakan. Ada sesuatu yang terasa berbeda malam itu, dan perasaan itu membuat dadanya sesak. “Ada apa, Yah?” tanyanya ragu, mencoba tersenyum tipis untuk mencairkan suasana. Namun, tatapan ayahnya tak memberi ruang bagi senyum itu untuk tumbuh. Ayahnya menarik napas panjang. Matanya menatap lurus ke arah putrinya, seakan ingin memastikan kabar ini benar-benar meresap. Lalu dengan suara pelan, namun tegas, ia berkata, “Nak, mulai bulan depan… kau akan menikah dengan Arlan.” Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Kata-kata itu menggema di telinga Airin, berdentum lebih keras dari suara jangkrik di luar, lebih kuat dari detak jantungnya sendiri. Ia memandang ayahnya dengan mata membelalak, kemudian beralih pada ibunya, berharap ada tawa kecil, atau penjelasan bahwa ini hanya candaan belaka. Namun wajah mereka tetap serius. Airin tahu siapa Arlan. Lelaki itu bukan sosok asing. Ia adalah teman dekat keluarga, sosok yang sejak kecil akrab dengan rumah mereka. Arlan, lelaki mapan yang dihormati di desa, berpendidikan, tampan, dan santun. Banyak gadis diam-diam mengaguminya, berharap suatu saat bisa dipinang olehnya. Tapi ada satu hal yang Airin tahu, dan mungkin hanya ia yang tahu lebih dalam: hati Arlan sudah lama tertambat pada seseorang. Inayah. Kakak kandungnya sendiri. Ingatan masa kecil itu datang silih berganti, menyayat hati Airin. Bagaimana Arlan sering datang dengan membawa oleh-oleh kecil untuk Inayah—sekadar buku catatan, pita rambut, atau buah dari perjalanan dinasnya. Bagaimana tatapan matanya selalu mengikuti setiap langkah Inayah, dan bagaimana kakaknya itu tersenyum malu dengan mata yang berbinar ketika Arlan ada di dekatnya. Semua itu begitu nyata, dan bukan rahasia lagi. Airin yakin, bahkan kedua orang tuanya tahu arah hati Arlan sebenarnya. Menelan ludah yang terasa kering, Airin memberanikan diri untuk bersuara, meski suaranya bergetar. “Tapi… Yah, Arlan—” Ibunya segera memotong dengan suara lembut, tapi tegas. “Ini demi keluarga kita, Rin. Arlan adalah pilihan terbaik. Dia bisa menjaga masa depanmu, menjaga kehormatan keluarga ini.” Airin menunduk. Kata-kata ibunya itu seperti belati yang menusuk perlahan. Kehormatan keluarga. Masa depan. Semua itu terdengar begitu berat untuk dipikul seorang gadis 17 tahun yang bahkan masih ragu akan dirinya sendiri. Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Airin. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah gontai, lalu merebahkan diri di atas kasur tipis yang tertutup sprei bunga-bunga. Matanya menatap langit-langit, kosong. Perasaan takut, bingung, dan kecewa bercampur jadi satu. Ia tahu ia tidak bisa menolak begitu saja. Ia mendengar langkah kaki di luar kamarnya. Inayah baru saja pulang dari rumah sahabatnya. Kakaknya itu tersenyum seperti biasa ketika membuka pintu kamar, tidak tahu badai apa yang sedang menghantam adiknya. “Rin, kau sudah tidur?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang. Airin hanya menggeleng pelan. Ia ingin bercerita, ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa lelaki yang selalu ada dalam hati kakaknya kini akan menjadi suaminya. Tapi kata-kata itu membeku di tenggorokannya. Bagaimana mungkin ia menyakiti Inayah dengan kabar itu? Bagaimana mungkin ia tega? Maka yang keluar dari bibirnya hanyalah, “Tidak, Kak. Aku hanya capek.” Inayah mengelus rambut Airin dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, “Kau harus jaga kesehatan. Kau sebentar lagi ujian akhir. Jangan terlalu banyak pikiran.” Airin mengangguk, pura-pura memejamkan mata agar Inayah tidak bertanya lebih jauh. Saat kakaknya keluar kamar, barulah ia menangis dalam diam. Hari-hari berikutnya berjalan bagai mimpi buruk yang tak bisa ia hentikan. Kabar pertunangannya dengan Arlan mulai menyebar dari mulut ke mulut di desa. Para tetangga tersenyum penuh arti, mengucapkan selamat, bahkan beberapa gadis memandangnya dengan iri. Mereka tidak tahu pergulatan batin yang ia alami. Di sekolah, sahabat-sahabatnya mulai menggoda. “Airin, kau beruntung sekali. Arlan itu idaman semua orang!” ujar Sari sambil tertawa kecil. Airin hanya tersenyum hambar. Dalam hati, ia ingin berteriak, beruntungkah aku jika harus menikahi lelaki yang tidak pernah mencintaiku? Sementara itu, Arlan sendiri semakin sering datang ke rumah. Setiap kali ia hadir, suasana menjadi kaku. Airin selalu berusaha menunduk, menghindari tatapan matanya. Ia tahu, di balik sorot mata itu, ada bayangan kakaknya. Arlan berusaha bersikap ramah, berbicara sopan, seakan ingin menunjukkan bahwa ia menerima perjodohan ini dengan lapang dada. Tapi Airin bisa membaca kesedihan yang tersembunyi di balik senyumannya. Suatu sore, Airin memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya di teras rumah. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. “Yah… bolehkah aku bertanya sesuatu?” suaranya lirih. Ayahnya menutup koran yang sedang dibacanya, lalu menatap Airin dengan lembut. “Tentu, Nak. Ada apa?” “Kenapa harus aku, Yah? Kenapa bukan Kak Inayah? Bukankah… Arlan lebih dekat dengan Kakak?” Pertanyaan itu membuat ayahnya terdiam cukup lama. Lalu dengan suara berat, ia menjawab, “Inayah sudah kami janjikan dengan keluarga lain. Ada tanggung jawab yang harus kami tepati. Sedangkan Arlan… dia memilihmu, Rin. Kau harus percaya bahwa ini yang terbaik.” Airin tercekat. Memilihku? Hatinya menolak mempercayai itu. Arlan tidak pernah memilihnya. Arlan hanya pasrah pada keputusan keluarga, sama seperti dirinya. Hari demi hari, Airin semakin terperangkap dalam dilema. Malam-malamnya dipenuhi tangis, sementara siang harinya ia harus tersenyum di hadapan orang lain. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa memainkan peran, padahal hatinya hancur berkeping keping. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang terus menguat di dalam dirinya: tekad untuk bertahan. Meski ia hanya menjadi bayangan dari cinta yang tak pernah menjadi miliknya, Airin tahu ia harus menerima. Demi keluarganya. Demi nama baik yang selalu dijunjung orang tuanya. Dan malam sebelum pertunangannya, ketika semua orang sibuk mempersiapkan pesta kecil di rumah, Airin berdiri di depan cermin, memandang pantulan wajahnya sendiri. Matanya sembab, tapi di balik itu ada ketegaran yang baru tumbuh. “Kalau ini takdirku,” bisiknya lirih, “maka biarlah derita ini kubawa sendiri. Sampai mati.”Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan
Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men
Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan
Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l
Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot
Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma







