Home / Rumah Tangga / Cinta Yang Tak Pernah Dipilih / 1.Gadis Kecil Yang Dijodohkan

Share

Cinta Yang Tak Pernah Dipilih
Cinta Yang Tak Pernah Dipilih
Author: Salah Adegan

1.Gadis Kecil Yang Dijodohkan

Author: Salah Adegan
last update Huling Na-update: 2025-08-13 01:28:45

Airin masih berusia 17 tahun ketika kabar itu datang. Usianya masih belia; dunia yang ia kenal hanyalah sekolah, sahabat, dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang ingin ia bangun sendiri. Malam itu, selepas magrib, suasana rumahnya begitu tenang. Dari luar jendela, suara jangkrik bersahut-sahutan, berpadu dengan gemerisik dedaunan yang digoyang angin malam.

Lampu pijar kuning tergantung di langit-langit ruang tamu, memancarkan cahaya temaram yang membuat bayangan ayah dan ibunya jatuh panjang di dinding. Mereka duduk berdua di kursi kayu jati, wajah-wajahnya lebih serius dari biasanya. Airin, yang baru saja membereskan buku-bukunya, dipanggil ke ruang tamu.

Dengan langkah pelan, ia duduk di kursi rotan di hadapan mereka. Tangan mungilnya meremas ujung rok panjang bermotif bunga yang ia kenakan. Ada sesuatu yang terasa berbeda malam itu, dan perasaan itu membuat dadanya sesak.

“Ada apa, Yah?” tanyanya ragu, mencoba tersenyum tipis untuk mencairkan suasana. Namun, tatapan ayahnya tak memberi ruang bagi senyum itu untuk tumbuh.

Ayahnya menarik napas panjang. Matanya menatap lurus ke arah putrinya, seakan ingin memastikan kabar ini benar-benar meresap. Lalu dengan suara pelan, namun tegas, ia berkata,

“Nak, mulai bulan depan… kau akan menikah dengan Arlan.”

Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Kata-kata itu menggema di telinga Airin, berdentum lebih keras dari suara jangkrik di luar, lebih kuat dari detak jantungnya sendiri. Ia memandang ayahnya dengan mata membelalak, kemudian beralih pada ibunya, berharap ada tawa kecil, atau penjelasan bahwa ini hanya candaan belaka. Namun wajah mereka tetap serius.

Airin tahu siapa Arlan. Lelaki itu bukan sosok asing. Ia adalah teman dekat keluarga, sosok yang sejak kecil akrab dengan rumah mereka. Arlan, lelaki mapan yang dihormati di desa, berpendidikan, tampan, dan santun. Banyak gadis diam-diam mengaguminya, berharap suatu saat bisa dipinang olehnya. Tapi ada satu hal yang Airin tahu, dan mungkin hanya ia yang tahu lebih dalam: hati Arlan sudah lama tertambat pada seseorang.

Inayah. Kakak kandungnya sendiri.

Ingatan masa kecil itu datang silih berganti, menyayat hati Airin. Bagaimana Arlan sering datang dengan membawa oleh-oleh kecil untuk Inayah—sekadar buku catatan, pita rambut, atau buah dari perjalanan dinasnya. Bagaimana tatapan matanya selalu mengikuti setiap langkah Inayah, dan bagaimana kakaknya itu tersenyum malu dengan mata yang berbinar ketika Arlan ada di dekatnya. Semua itu begitu nyata, dan bukan rahasia lagi. Airin yakin, bahkan kedua orang tuanya tahu arah hati Arlan sebenarnya.

Menelan ludah yang terasa kering, Airin memberanikan diri untuk bersuara, meski suaranya bergetar.

“Tapi… Yah, Arlan—”

Ibunya segera memotong dengan suara lembut, tapi tegas. “Ini demi keluarga kita, Rin. Arlan adalah pilihan terbaik. Dia bisa menjaga masa depanmu, menjaga kehormatan keluarga ini.”

Airin menunduk. Kata-kata ibunya itu seperti belati yang menusuk perlahan. Kehormatan keluarga. Masa depan. Semua itu terdengar begitu berat untuk dipikul seorang gadis 17 tahun yang bahkan masih ragu akan dirinya sendiri.

Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Airin. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah gontai, lalu merebahkan diri di atas kasur tipis yang tertutup sprei bunga-bunga. Matanya menatap langit-langit, kosong. Perasaan takut, bingung, dan kecewa bercampur jadi satu. Ia tahu ia tidak bisa menolak begitu saja.

Ia mendengar langkah kaki di luar kamarnya. Inayah baru saja pulang dari rumah sahabatnya. Kakaknya itu tersenyum seperti biasa ketika membuka pintu kamar, tidak tahu badai apa yang sedang menghantam adiknya.

“Rin, kau sudah tidur?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.

Airin hanya menggeleng pelan. Ia ingin bercerita, ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa lelaki yang selalu ada dalam hati kakaknya kini akan menjadi suaminya. Tapi kata-kata itu membeku di tenggorokannya. Bagaimana mungkin ia menyakiti Inayah dengan kabar itu? Bagaimana mungkin ia tega?

Maka yang keluar dari bibirnya hanyalah, “Tidak, Kak. Aku hanya capek.”

Inayah mengelus rambut Airin dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, “Kau harus jaga kesehatan. Kau sebentar lagi ujian akhir. Jangan terlalu banyak pikiran.”

Airin mengangguk, pura-pura memejamkan mata agar Inayah tidak bertanya lebih jauh. Saat kakaknya keluar kamar, barulah ia menangis dalam diam.

Hari-hari berikutnya berjalan bagai mimpi buruk yang tak bisa ia hentikan. Kabar pertunangannya dengan Arlan mulai menyebar dari mulut ke mulut di desa. Para tetangga tersenyum penuh arti, mengucapkan selamat, bahkan beberapa gadis memandangnya dengan iri. Mereka tidak tahu pergulatan batin yang ia alami.

Di sekolah, sahabat-sahabatnya mulai menggoda.

“Airin, kau beruntung sekali. Arlan itu idaman semua orang!” ujar Sari sambil tertawa kecil.

Airin hanya tersenyum hambar. Dalam hati, ia ingin berteriak, beruntungkah aku jika harus menikahi lelaki yang tidak pernah mencintaiku?

Sementara itu, Arlan sendiri semakin sering datang ke rumah. Setiap kali ia hadir, suasana menjadi kaku. Airin selalu berusaha menunduk, menghindari tatapan matanya. Ia tahu, di balik sorot mata itu, ada bayangan kakaknya. Arlan berusaha bersikap ramah, berbicara sopan, seakan ingin menunjukkan bahwa ia menerima perjodohan ini dengan lapang dada. Tapi Airin bisa membaca kesedihan yang tersembunyi di balik senyumannya.

Suatu sore, Airin memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya di teras rumah. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan.

“Yah… bolehkah aku bertanya sesuatu?” suaranya lirih.

Ayahnya menutup koran yang sedang dibacanya, lalu menatap Airin dengan lembut. “Tentu, Nak. Ada apa?”

“Kenapa harus aku, Yah? Kenapa bukan Kak Inayah? Bukankah… Arlan lebih dekat dengan Kakak?”

Pertanyaan itu membuat ayahnya terdiam cukup lama. Lalu dengan suara berat, ia menjawab,

“Inayah sudah kami janjikan dengan keluarga lain. Ada tanggung jawab yang harus kami tepati. Sedangkan Arlan… dia memilihmu, Rin. Kau harus percaya bahwa ini yang terbaik.”

Airin tercekat. Memilihku? Hatinya menolak mempercayai itu. Arlan tidak pernah memilihnya. Arlan hanya pasrah pada keputusan keluarga, sama seperti dirinya.

Hari demi hari, Airin semakin terperangkap dalam dilema. Malam-malamnya dipenuhi tangis, sementara siang harinya ia harus tersenyum di hadapan orang lain. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa memainkan peran, padahal hatinya hancur berkeping keping.

Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang terus menguat di dalam dirinya: tekad untuk bertahan. Meski ia hanya menjadi bayangan dari cinta yang tak pernah menjadi miliknya, Airin tahu ia harus menerima. Demi keluarganya. Demi nama baik yang selalu dijunjung orang tuanya.

Dan malam sebelum pertunangannya, ketika semua orang sibuk mempersiapkan pesta kecil di rumah, Airin berdiri di depan cermin, memandang pantulan wajahnya sendiri. Matanya sembab, tapi di balik itu ada ketegaran yang baru tumbuh.

“Kalau ini takdirku,” bisiknya lirih, “maka biarlah derita ini kubawa sendiri. Sampai mati.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Salah Adegan
cerita yang sangat sedih
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    32. Kata yang Tak Terucap

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah. Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya. “Arlan…” suaranya bergetar. Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya: “Anak itu… darah dagingmu…” Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan. Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas. “Arlan, aku tahu

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    33. Pertemuan Rahasia

    Suara alarm mesin dari ruang ICU masih menggema di telinga Arlan. Bunyi tiit-tiitt-tiitt itu membuat dadanya seakan diremuk, menghentakkan setiap urat sarafnya. Ia berdiri kaku di depan pintu, matanya tak berkedip, menyaksikan perawat dan dokter berlarian masuk ke ruangan Inayah.Airin berdiri tak jauh darinya. Ia memegang dada, berusaha mengatur napas. Degup jantungnya terasa begitu keras, seakan bisa terdengar oleh siapa pun di sekitarnya.“Arlan…” suaranya bergetar.Tapi Arlan tak menoleh. Tatapannya terpaku pada kaca bening ICU, menatap tubuh Inayah yang semakin lemah, terhubung dengan kabel-kabel medis. Kata-kata terakhir Inayah bergema berulang di kepalanya:“Anak itu… darah dagingmu…”Arlan menggenggam kepalanya, tubuhnya berguncang. Ia ingin berteriak, ingin menuntut jawaban, tapi yang tersisa hanya kekosongan.Airin mendekat, suaranya lirih namun tegas.“Arlan, aku tahu ada sesuatu yang dia katakan padamu. Kau k

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    31. Tatapan yang Membisu

    Lorong rumah sakit itu terasa begitu panjang, seakan tak berujung. Cahaya lampu neon di langit-langit memantul di lantai yang mengilap, menimbulkan bayangan langkah-langkah Arlan yang goyah. Hatinya masih bergetar hebat sejak kalimat dokter menusuk gendang telinganya. "Tentang seorang anak… anak yang ternyata tidak pernah Anda ketahui." Kata-kata itu berputar tanpa henti di kepalanya, seolah menggema di setiap dinding rumah sakit. Ia bahkan nyaris lupa bagaimana cara bernapas. Ketika sampai di depan ruang ICU, Arlan berdiri kaku. Dari balik kaca besar, ia melihat Inayah. Perempuan itu, yang dulu begitu hidup dalam setiap detak jantungnya, kini terbaring rapuh di ranjang dengan selang-selang medis menempel di tubuhnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, bibirnya kering. Ada getaran halus di dada Arlan. Antara rindu yang lama ia pendam, rasa bersalah yang menyesakkan, dan ketakutan akan kehilangan.

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    30: Bunga Layu di Halaman Rumah

    Pagi itu, cahaya matahari menerobos lewat celah tirai kamar. Suara ayam berkokok dari kejauhan terdengar samar, bercampur dengan desir angin yang membawa aroma tanah basah. Namun, di dalam rumah itu, suasana tetap dingin—dingin yang bukan berasal dari udara, melainkan dari hati yang beku oleh pertengkaran semalam.Airin membuka matanya perlahan. Kelopak matanya masih sembab, sisa tangisan panjang yang ia biarkan menemaninya sampai lelap. Ia menoleh ke sisi ranjang, kosong. Arlan tidak ada di sana. Tidak ada jejak kehangatan, tidak ada sisa keberadaan. Hanya dingin pada sprei yang dingin, seolah menunjukkan betapa jauh jarak yang memisahkan mereka, meski tidur di rumah yang sama.Dengan langkah gontai, Airin bangkit. Kepalanya berat, tubuhnya lemah, tapi hatinya lebih berat lagi. Ia berjalan menuju jendela, membuka tirai, dan dari balik kaca ia melihat halaman rumah.Bunga mawar yang pernah ia tanam dengan penuh kasih, yang dulu mekar indah di sudut halaman

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    29. Pertanyaan yang Menggantung

    Hari itu, suasana rumah seperti ruang hampa. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan ringan, bahkan bunyi langkah pun terasa berat. Hanya denting jam dinding yang terus berdetak, seakan mengingatkan bahwa waktu tetap berjalan meski hati mereka berhenti pada luka yang sama.Airin duduk di tepi ranjang, tangannya gemetar ketika memegang jilbab yang belum ia kenakan. Matanya sayu, berulang kali menatap cermin di hadapannya. Wajah itu… bukan lagi wajah seorang istri yang baru menikah, melainkan wajah perempuan yang terlalu sering menelan tangis sendiri."Kenapa semua harus begini, Ya Allah?" batinnya lirih.Air matanya jatuh, membasahi pipi.Di ruang tamu, Arlan duduk termenung. Rokok di tangannya sudah separuh habis, tapi ia bahkan tidak menyadari kepulan asap yang mengepul di sekitarnya. Kepalanya penuh dengan bayangan Inayah—bayangan yang terus ia bawa, sekalipun ia tahu kehadiran itu adalah racun bagi rumah tangganya sendiri.Suara langkah

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    28. Sepi yang Panjang

    Malam itu rumah terasa dingin meski udara tidak sedingin biasanya. Airin duduk di kursi ruang makan, menatap piring yang sudah ia tata sejak dua jam lalu. Nasi masih mengepul saat pertama kali ia menaruhnya, tapi kini sudah mulai mengeras, menempel di pinggir mangkuk. Lauk yang ia masak pun tak lagi beraroma sedap. Lampu ruang tamu menyala redup. Hanya bunyi jam dinding yang terdengar, berdetak keras seolah mengejek dirinya. Tik-tok… tik-tok… Airin menunduk, memeluk kedua tangannya sendiri. Sejak sore ia menunggu, berharap Arlan pulang sebelum larut. Namun seperti biasa, harapannya sia-sia. Tiba-tiba suara mesin mobil terdengar dari luar. Airin bergegas berdiri, hatinya berdegup lebih cepat. Ia membuka pintu, menyambut, meski wajahnya masih dipenuhi rasa lelah. Arlan masuk dengan langkah cepat, wajahnya tampak tegang. Jas kerjanya basah oleh gerimis, dasi tergantung longgar di lehernya. “Kau ba

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status