LOGINMalam itu, hujan turun deras, mengetuk-ngetuk genting dan jendela kamar pengantin dengan suara yang tak putus. Aroma tanah basah merambat masuk lewat celah kecil di kusen. Di luar, langit seperti tumpah, seolah ikut menumpahkan segala yang tak pernah diucapkan.
Airin duduk di tepi ranjang yang dipenuhi bunga melati. Gaun pengantinnya telah ia ganti dengan piyama sederhana berwarna krem. Kakinya telanjang, ujung jarinya meraba karpet merah muda yang terasa dingin. Tatapannya kosong, hanya sesekali melirik ke arah Arlan yang duduk di meja kerja di pojok kamar. Layar laptop memantulkan cahaya kebiruan di wajahnya, menegaskan betapa fokusnya ia pada sesuatu yang tak ada hubungannya dengan Airin. Sudah hampir satu jam sejak mereka masuk kamar, dan belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Arlan selain instruksi singkat, “Tunggu sebentar.” Arlan mengetik cepat, sesekali mengernyit, sama sekali tak menoleh. Airin menarik napas dalam dalam. Ia mencoba mencari keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Malam ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, malam yang seharusnya menjadi awal kedekatan, meski tanpa cinta sekalipun. Dalam hatinya, ia berbisik, Mungkin jika aku memulai percakapan, jarak ini bisa sedikit berkurang. “Mas…” suaranya lembut, nyaris tenggelam oleh suara hujan. Arlan berhenti mengetik, tapi tidak menoleh. “Hm?” Airin menggigit bibir bawahnya. “Kita ini sudah suami istri. Mungkin kita bisa…” Kalimatnya menggantung, karena tatapan singkat Arlan menembusnya seperti pisau. Bukan tatapan marah, tapi tatapan yang dingin dingin seperti permukaan air yang membeku di musim dingin. “Tidurlah,” ucapnya singkat, nada suaranya datar. “Aku sibuk.” Satu kalimat sederhana, tapi cukup untuk meruntuhkan keberanian yang baru saja ia kumpulkan. Airin mengangguk pelan, meski Arlan tak lagi melihatnya. Ia menurunkan pandangan, menarik lututnya, lalu memeluknya erat. Bahunya sedikit bergetar. Air mata yang sejak tadi ia tahan mulai lolos, membasahi pipi. Ia berusaha sesenyap mungkin, takut suara isaknya terdengar. Hujan di luar semakin deras. Kilatan petir sesekali menerangi kamar, diikuti suara guntur yang berat. Tapi semua itu hanya menjadi latar bagi kesunyian yang menelan mereka berdua. Airin memejamkan mata, mencoba mengabaikan kenyataan. Namun di dalam hati, sebuah kesadaran yang pahit mulai mengakar: rumah ini mungkin tak akan pernah terasa seperti rumah bagi hatinya. Bukan karena dindingnya, bukan karena atapnya, tapi karena orang yang seharusnya menjadi tempatnya pulang tak pernah benar benar hadir untuknya. Di meja, Arlan terus mengetik. Sesekali ia menghela napas, lalu menyesap kopi yang sudah setengah dingin. Seolah Airin hanyalah bayangan yang kebetulan berada di ruangan yang sama. Jam dinding berdetak pelan, memotong waktu menjadi bagian-bagian kecil yang terasa begitu lama. Setiap menit yang berlalu seperti menguatkan tembok tak terlihat di antara mereka. Airin akhirnya merebahkan diri, membelakangi Arlan. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, berusaha menghangatkan diri. Tapi kehangatan itu tak pernah benar benar datang. Yang ada hanya dingin yang merayap dari dalam dingin yang lahir dari hati yang tidak diinginkan. Suara hujan terus menjadi pengiring malam itu, sampai Airin akhirnya terlelap dengan mata sembab. Dan di suatu tempat di dalam dirinya, sebuah pertanyaan mulai berbisik,Berapa lama aku bisa bertahan seperti ini? Pagi datang terlalu cepat. Cahaya matahari menyusup masuk melalui celah tirai, menyoroti kamar yang masih berantakan dengan sisa dekorasi semalam. Airin membuka mata perlahan. Kepalanya terasa berat, matanya perih akibat menangis terlalu lama. Ia berbalik, dan seperti yang sudah ia duga ranjang di sebelahnya kosong. Suara air mengalir dari kamar mandi. Arlan sedang bersiap, suaranya terdengar samar saat ia berbicara lewat telepon. Nada bicaranya tegas, datar, sama seperti semalam. Begitu keluar, ia mengenakan kemeja biru muda, rambutnya rapi, dan wajahnya seperti orang yang siap menghadapi hari… tanpa sedikit pun melihat ke arah Airin. “Kau bisa sarapan sendiri. Aku harus pergi,” ucapnya singkat sambil meraih tas kerja. Airin hanya mengangguk, meski hatinya ingin bertanya, Ke mana? Mengapa terburu-buru? Tapi lidahnya kelu. Begitu pintu tertutup, rumah itu terasa hampa. Sunyi yang kemarin menekan dada, kini menyelimuti seluruh ruangan. Airin duduk di meja makan, menatap sepiring nasi dan telur yang disiapkan pembantu. Ia tidak lapar. Di luar, suara burung bercampur dengan langkah langkah para tetangga yang berangkat ke pasar, tapi bagi Airin, semua terdengar jauh. Hari-hari berikutnya berjalan nyaris sama. Arlan selalu berangkat pagi, pulang larut malam. Kadang ia membawa aroma parfum asing yang tidak pernah Airin kenal. Kadang ia bahkan tidak pulang sama sekali, dengan alasan pekerjaan. Di sela waktu, Airin mencoba menata rumah. Ia membersihkan sudut sudut yang berdebu, mengganti gorden, merapikan meja makan, berharap suasana rumah bisa sedikit terasa hangat. Tapi setiap kali Arlan pulang, tatapannya tak pernah berubah. Dingin. Lalu datanglah satu sore yang menjadi awal luka baru. Airin sedang menyapu teras ketika suara sepatu berhak terdengar di belakangnya. Ia menoleh dan mendapati ibu mertuanya berdiri di sana, mengenakan kebaya rapi dengan tatapan tajam yang tak berusaha disamarkan. “Kau sendiri di rumah? Arlan ke mana?” tanya ibu mertua. “Bekerja, Bu,” jawab Airin pelan. Ibu mertuanya menghela napas panjang, lalu melirik ke dalam rumah dengan pandangan menilai. “Hm… tidak banyak berubah. Padahal aku kira setelah menikah, rumah ini akan terasa berbeda. Tapi entahlah… mungkin aku berharap terlalu banyak.” Airin menunduk, menahan perasaan tidak enak yang merayap di dadanya. “Maaf kalau” “Aku tidak butuh maaf,” potong ibu mertua cepat. “Aku hanya ingin mengingatkan, Airin… Arlan adalah anak yang pintar dan punya masa depan cerah. Jangan sampai kau membuatnya menyesal menikah.” Kata-kata itu menghantam seperti tamparan. Airin ingin membela diri, ingin berkata bahwa pernikahan ini bukan pilihannya, bahwa ia sama sekali tidak berniat merugikan siapa pun. Tapi semua kata itu hanya berputar di kepalanya, tak pernah keluar. Saat ibu mertuanya pergi, Airin duduk di teras sendirian. Hatinya berat, matanya kembali panas. Pertanyaan yang dulu hanya berbisik kini terdengar lebih keras: Berapa lama aku bisa bertahan? Dan untuk pertama kalinya, ia mulai ragu apakah ia benar-benar ingin bertahan.Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan
Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men
Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan
Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l
Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot
Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma







