"Aku ingin menawarkan sebuah solusi, Ara," kata Adrian, tangannya terlipat di atas meja. Mata kelamnya mengunci tatapan Ara, membuat wanita itu tak berani mengalihkan pandangannya. "Hutang suamimu bisa lunas dalam waktu singkat. Tapi, tentu saja, aku punya syarat."
Ara menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Suasana di ruangan itu begitu sunyi, hanya suara detak jam dinding yang menjadi latar belakang. Ia mencoba membaca ekspresi Adrian, tapi wajah pria itu seperti tembok: kokoh, tak bisa ditembus.
"Syarat apa?" tanyanya akhirnya, suara yang keluar sedikit lebih pelan dari yang ia harapkan. Jemarinya mengepal di pangkuan, berusaha meredam getaran yang mulai menjalar.
Adrian bersandar di kursinya, postur tubuhnya santai tetapi penuh kontrol. Ia mengamati Ara seolah-olah sedang menilai barang antik, memeriksa setiap detail sebelum menentukan harga. Setelah jeda yang terasa seperti selamanya, ia berbicara.
"Kau akan menjalin hubungan kontrak denganku," katanya, setiap kata terdengar seperti ketukan palu. "Tiga bulan. Kau menemani aku di acara-acara tertentu, berpura-pura menjadi pendampingku."
Ara mengerutkan kening, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. "Pendamping?" ulangnya, seolah kata itu terlalu asing untuk dipahami.
"Ya," jawab Adrian dengan tenang. "Aku butuh seseorang yang bisa aku percayai untuk memainkan peran ini. Seseorang yang tidak hanya bisa menjaga rahasia, tetapi juga memiliki kejujuran dan integritas."
Senyumnya muncul tipis, hampir seperti ia sedang menikmati kebingungan Ara. "Dan aku rasa kau adalah orang yang tepat."
Ara menggeleng pelan, otaknya berputar dengan berbagai kemungkinan. "Kenapa aku? Aku... aku cuma orang biasa, Adrian. Tidak ada yang istimewa dariku."
Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menjadi lebih intens.
"Justru karena kau orang biasa, Ara. Karena kau berbeda dari semua wanita yang pernah aku temui. Kau bukan seseorang yang akan mencoba memanfaatkan situasi ini untuk keuntunganmu sendiri. Kau tulus, dan itu sesuatu yang sulit ditemukan di dunia ini."
Pujian itu, meskipun terdengar tulus, tidak mengurangi rasa takut yang kini menghantui Ara. Ia merasakan tengkuknya panas, keringat dingin mulai merembes di bawah kerah bajunya.
"Apa maksudnya hubungan kontrak ini?" tanyanya akhirnya, suaranya sedikit bergetar. "Apakah ini berarti aku harus meninggalkan suamiku?"
Adrian mengangkat satu alis, seolah pertanyaan itu menarik baginya.
"Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan pernikahanmu. Ini hanya urusan bisnis. Aku butuh pendamping untuk menjaga citra publikku, dan kau butuh uang untuk melunasi hutang suamimu. Ini kesepakatan yang saling menguntungkan."
"Tapi... bagaimana jika orang lain tahu? Bagaimana jika—"
"Tidak akan ada yang tahu," potong Adrian dengan tegas. Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, tetapi penuh keyakinan. "Aku akan memastikan segalanya berjalan lancar. Tidak ada yang akan mencurigai apa pun, Ara. Percayalah padaku."
Kata-katanya membuat Ara merasa terjebak. Di satu sisi, tawaran ini bisa menjadi jalan keluar dari mimpi buruk yang sedang ia alami.
Di sisi lain, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—rasa bersalah yang perlahan merayap masuk, seperti kabut yang menutupi pikirannya.
"Kalau aku setuju... apa yang terjadi setelah tiga bulan?" tanyanya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.
Adrian tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Setelah tiga bulan, kontrak selesai. Hutang suamimu akan lunas, dan kau bebas melanjutkan hidupmu seperti biasa."
Ara menunduk, pikirannya penuh dengan keraguan. Ia memikirkan Raka, yang sekarang tertidur di sofa rumah mereka, tubuhnya lemah akibat tekanan yang ia tanggung. Ia memikirkan hidup mereka yang sederhana, tetapi penuh dengan perjuangan.
Dan kemudian, ia memikirkan dirinya sendiri—apakah ia mampu menjalani semua ini tanpa kehilangan jati dirinya?
Adrian mengulurkan sebuah amplop di atas meja, mendorongnya ke arah Ara. "Ini adalah draf kontraknya. Baca dengan teliti. Kalau kau setuju, tanda tangani dan kembalikan padaku besok."
Ara memandang amplop itu, merasa seperti sedang melihat jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Tangan Adrian tetap terulur, sabar menunggu. "Ini pilihanmu, Ara. Aku tidak akan memaksamu."
Malam itu, Ara duduk di tepi ranjangnya dengan amplop cokelat di tangan. Raka masih tertidur di sofa, mendengkur pelan. Kertas di dalam amplop terasa berat, seolah membawa seluruh beban hidupnya. Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop itu dan mulai membaca.
Bahasanya formal, hampir seperti kontrak kerja biasa. Tidak ada yang mencurigakan, tidak ada klausa aneh yang menunjukkan sesuatu di luar batas. Tetapi setiap kalimat yang ia baca terasa seperti belenggu yang mulai membungkus tubuhnya.
Ia mengangkat wajah, memandang cermin di depannya. Wanita di dalam cermin tampak lelah, matanya merah akibat kurang tidur. Ia menyentuh pipinya, mencoba mencari jejak dari wanita yang dulu ia kenal. Tetapi yang ia lihat hanyalah seseorang yang hampir kehilangan segalanya.
"Kalau ini untuk menyelamatkan Raka," bisiknya pada bayangannya sendiri, "apakah aku harus melakukannya?"
Namun, jawaban tidak datang. Yang ada hanyalah suara detak jam dinding, mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, dan keputusan harus segera dibuat.
Pagi berikutnya, Ara datang ke kantor dengan amplop cokelat itu di dalam tasnya. Setiap langkah menuju lift terasa seperti perjalanan menuju hukuman.
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang benar, bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Raka. Tetapi rasa bersalah terus menghantuinya, menekan dadanya hingga sulit bernapas.
Ketika ia tiba di lantai tertinggi, pintu ruang kerja Adrian sudah terbuka. Pria itu sedang berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tangan di saku. Ketika ia mendengar langkah Ara, ia berbalik dan tersenyum kecil.
"Ara," katanya, suaranya hangat tetapi tetap penuh wibawa. "Sudah kau pikirkan?"
Ara mengangguk pelan. Ia membuka tasnya, mengeluarkan amplop itu, dan menyerahkannya pada Adrian. Pria itu mengambilnya dengan satu tangan, lalu membuka dan memeriksa isinya.
Wajahnya tetap tenang, tetapi ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya yang menunjukkan kepuasan.
"Keputusan yang bijak," katanya akhirnya, menutup amplop itu dan meletakkannya di atas meja. "Kita akan mulai minggu depan. Aku akan memberimu detailnya nanti."
Ara hanya bisa mengangguk lagi, meskipun hatinya terasa berat. Ketika ia berbalik untuk pergi, suara Adrian menghentikannya.
"Ara," panggilnya. Ketika ia menoleh, Adrian menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan—campuran antara kelembutan dan sesuatu yang lebih dalam. "Kau tidak akan menyesal."
Ara tidak menjawab. Ia hanya melangkah keluar dari ruangan itu, meninggalkan rasa ragu yang terus menghantuinya. Apa yang baru saja ia lakukan? Apakah ini keputusan yang benar, ataukah ia baru saja membuka pintu menuju kehancuran yang lebih besar?
Namun, satu hal yang pasti—kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian