Demi membantu suaminya, Raka, yang terlilit hutang untuk biaya pengobatan orang tuanya, Ara terpaksa menjalin hubungan kontrak dengan seorang pria kaya dan misterius bernama Adrian, yang ternyata memiliki perasaan lebih terhadapnya. Adrian adalah sosok yang jauh berbeda dari Raka: ia memperlakukan Ara dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan hormat. Di bawah tekanan kewajiban dan perasaan yang tak seharusnya, Ara mulai menyadari bahwa hatinya terpikat oleh pria yang seharusnya hanya menjadi “jalan keluar” dari masalahnya. Namun, apakah Ara akan tetap setia pada perjanjian atau justru menyerah pada perasaan yang perlahan membara dalam hatinya?
Lihat lebih banyak"Aku nggak tahu harus bagaimana lagi, Ara. Dia... dia bisa menghancurkan hidup kita kalau aku nggak bayar utangnya."
Raka duduk di kursi ruang tamu yang usang, dengan kepala tertunduk dan bahu merosot seperti membawa beban dunia di atasnya. Tangannya meremas rambut hitamnya yang kusut, seolah mencoba menggenggam sesuatu yang tak terlihat.
Ara, yang sejak tadi duduk diam di sofa dengan selimut di pangkuannya, tak mampu berkata apa-apa. Suaranya, bahkan napasnya, terasa tertahan oleh udara dingin malam itu.
"Berapa besar utangnya?" tanya Ara akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Hanya gerakan bibirnya yang menunjukkan ia telah berbicara.
Raka mendongak dengan ragu, mata cokelat gelapnya dipenuhi rasa bersalah dan keputusasaan. "Dua ratus juta," jawabnya dengan suara yang pecah.
Ara membelalak, seolah kata-kata itu menusuk dadanya tanpa peringatan. Matanya mencari jawaban di wajah Raka, berharap bahwa ini semua hanyalah salah paham atau lelucon yang buruk. Namun, tatapan Raka yang penuh kepedihan menghapus semua harapannya.
"Dua ratus juta?" ulang Ara, mencoba mencerna jumlah itu. Angka tersebut bergema di pikirannya, seperti gaung yang tak kunjung berhenti.
Rumah kecil mereka, gaji bulanannya sebagai admin kantor, bahkan tabungan tipis yang telah mereka kumpulkan bersama—semuanya tak sebanding dengan jumlah yang disebutkan Raka.
Raka mengangguk pelan. Tangannya masih memegang rambutnya, menciptakan kesan bahwa ia ingin menghilang dari pandangan. "Sebagian besar untuk pengobatan ayah," katanya lirih. "Tapi... sebagian lainnya aku... aku coba investasikan."
"Investasikan?" Mata Ara menyipit, suaranya mulai bergetar. "Kau main judi dengan uang itu?"
Raka menggeleng cepat, lalu mengangkat kedua tangannya seperti melindungi diri dari tuduhan.
"Bukan judi, Ara. Aku ikut investasi kecil-kecilan. Ada yang bilang bisa menggandakan uang dengan cepat. Aku pikir kalau berhasil, kita nggak perlu khawatir lagi soal biaya rumah sakit atau kebutuhan lainnya."
Ara menatap suaminya, tubuhnya mulai bergetar. "Dan kau pikir itu keputusan yang bijak? Dengan kondisi kita sekarang?"
Raka tak menjawab, hanya menunduk lebih dalam. Diamnya berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ara berdiri dari sofa, selimut jatuh ke lantai tanpa ia pedulikan.
Langkahnya gelisah, bolak-balik di ruang tamu yang sempit itu, seperti singa yang terkunci dalam kandang. Tangannya mencengkram sisi roknya, mencoba menenangkan amarah yang mulai membakar.
"Kau tahu kita tidak punya uang sebanyak itu, Raka," katanya akhirnya. "Bagaimana kau bisa berpikir melakukan hal seperti ini tanpa memberitahuku? Kau tahu aku pasti akan membantumu."
"Aku hanya ingin menyelesaikannya sendiri," Raka menjawab dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Ia bangkit berdiri, mendekati Ara dengan tatapan penuh frustasi. "Aku ingin kau nggak perlu khawatir! Aku ingin jadi suami yang bisa kau andalkan, Ara."
"Dan sekarang?" Ara berbalik, matanya yang biasanya lembut kini penuh dengan kemarahan yang terpendam. "Apa yang kau lakukan sekarang? Mengandalkan aku untuk memperbaiki semuanya?"
Raka terdiam. Napasnya terdengar berat, seolah kata-kata Ara menamparnya dengan keras. Dalam keheningan itu, Ara memperhatikan suaminya yang tampak rapuh. Dulu, ia mencintai pria ini karena keberaniannya.
Karena semangatnya untuk selalu berusaha, meskipun hidup tak pernah mudah bagi mereka. Namun malam ini, Ara melihat seseorang yang hampir menyerah, dan entah kenapa, itu membuat hatinya lebih sakit daripada marah.
"Adrian bilang dia mau bicara denganmu," kata Raka tiba-tiba, memecah keheningan.
Ara membeku. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan dahi mengernyit. Nama Adrian terasa asing dan sekaligus familiar di telinganya. Pria itu adalah bos besar di kantor tempat Ara bekerja—seseorang yang jarang ia temui, namun keberadaannya selalu terasa.
"Dia pemilik utangku," lanjut Raka, suaranya penuh keraguan. "Dia bilang... kalau aku nggak bisa bayar, dia mau kau datang menemuinya. Mungkin dia punya solusi."
Ara merasa seolah lantai di bawahnya runtuh. Adrian? Pria yang ia tahu sebagai sosok dingin dan penuh wibawa itu? Kenapa ia harus ikut terlibat?
"Apa yang dia inginkan dariku?" tanya Ara, nadanya penuh kecurigaan.
"Aku nggak tahu, Ara," jawab Raka, mengangkat tangan dengan putus asa. "Tapi aku nggak punya pilihan. Kita nggak punya pilihan. Kalau aku nggak bayar utang itu, dia bisa mengambil segalanya. Rumah ini, motor, bahkan barang-barang kecil yang kita miliki."
Ara menatap suaminya lama, mencoba mencari tanda bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Namun yang ia lihat hanyalah bayangan pria yang terjebak di sudut tanpa jalan keluar.
"Jadi... aku yang harus menghadapi ini sekarang?" bisiknya. Ada luka dalam suaranya yang membuat Raka menunduk lagi, tak mampu membalas.
Malam itu terasa panjang bagi Ara. Setelah percakapan mereka, Raka tertidur di sofa, terlalu lelah untuk masuk ke kamar. Ara duduk di tepi ranjang mereka, memandangi telepon di tangannya.
Sebuah pesan singkat dari Adrian telah ia terima beberapa jam yang lalu: "Besok, jam 7 malam. Kita bicara di ruang kerjaku."
Ara meremas telepon itu erat-erat. Perasaannya berkecamuk. Di satu sisi, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menyelamatkan Raka dari kehancuran yang lebih dalam. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan rasa takut yang menyelinap di hatinya.
Adrian adalah pria yang penuh misteri. Selalu berbicara dengan nada yang tenang, tetapi tajam seperti pisau. Apa yang sebenarnya ia inginkan?
Ketika pagi datang, Ara mencoba melanjutkan rutinitas seperti biasa. Ia memasak sarapan sederhana dan meninggalkan piring untuk Raka sebelum pergi ke kantor. Namun, sepanjang hari, pikirannya terus melayang ke pertemuan yang akan ia hadapi nanti.
Adrian, bosnya, pria yang jarang bicara tetapi selalu hadir dalam setiap langkah penting di perusahaan. Apa yang akan ia katakan? Dan lebih penting lagi, apa yang akan ia minta?
Jam di dinding ruang kerjanya bergerak lambat, seolah-olah waktu sengaja mempermainkannya. Ketika akhirnya pukul 6:30 tiba, Ara merasa perutnya melilit. Ia naik ke lantai tertinggi gedung tempat ruang kerja Adrian berada, kakinya gemetar setiap langkah.
Ketukan kecil di pintu ruang kerjanya terasa seperti lonceng yang memulai pertandingan tinju. "Masuk," suara Adrian terdengar dari dalam, tenang dan tegas.
Ara membuka pintu dan melangkah masuk. Ruang kerja Adrian adalah ruangan luas dengan dinding kaca yang memamerkan pemandangan kota. Meja besar dari kayu gelap berdiri kokoh di tengah, dan di belakangnya, Adrian duduk dengan jas abu-abu yang sempurna.
Ia menatap Ara dengan pandangan tajam, tetapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
"Silakan duduk," katanya, menunjuk ke kursi di depannya.
Ara mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Namun, ia tahu bahwa Adrian dapat membaca setiap gerakan kecilnya.
"Aku tahu ini bukan situasi yang mudah," Adrian memulai, suaranya lembut tetapi tegas. "Namun, aku pikir kita bisa menemukan solusi yang saling menguntungkan."
Ara hanya bisa menatapnya dengan bingung, belum tahu apa yang sebenarnya ingin Adrian katakan.
Dan di situlah, ia menyadari bahwa malam ini akan menjadi titik awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen