Share

Part 3 (Lirik untuk Jiwa-Jiwa yang Sepi)

"Terimakasih," ucapku pada driver taxi sesaat setelah membayar uang sewa dan melangkahkan kakiku keluar.

Angin seketika mempermainkan rambut dan bagian bawah blouse yang aku kenakan. Kulangkahkan kakiku menuju gedung besar pusat belanjaan terbesar di Gempita ini. The Royal Palace, itulah namanya. Untung cafe kami berada di lantai dasar, dekat dengan taman dan air terjun buatan yang didesain khusus untuk tempat yang sempurna mengambil foto, lengkap pula dengan pojok literasi di samping kanan dan kiri. 

Tempat yang biasa disebut dengan The Royal atau pun The Rol-P ini didesain oleh satu dari sepuluh arsitek terkemuka di dunia, yang langsung di kontrak oleh Gempita dari luar negeri. Kota ini memang terkenal dengan kerumunan saudagar dan pebisnis handal. Menggabungkan konsep outdoor dan indoor, pusat berpelanjaan ini menjadi salah satu tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu baik bersama kerabat, teman atau pun orang terkasih.

Kulangkahkan kakiku yang agak pincang ke pintu masuk cafe. Aroma manis kopi mulai menggelitik rongga hidung. Aku suka aroma kopi, sangat! Namun, aku tak suka mencicipinya. Masih dengan mata terpejam menikmati semilir bebauan di udara ....

Deg!

Tubuhku oleng ke samping. Kakiku yang tampak belum sepenuhnya bekerja dengan baik tak kuasa saat menginjakkan dirinya ke lantai cafe yang sepertinya baru saja di pel itu. 

Hanya tinggal beberapa sentimeter saja kepalaku akan jatuh, mengarah tepat ke sandaran kursi besi. Mataku spontan terpejam! Napasku memburu menghadapi kenyataan yang ada di hadapan. 

'Mati aku!' nalar ini berseru.

Sepasang tangan menangkap pinggangku dengan sigap saat sandaran kursi itu hampir saja menyentuh dahi. Tubuhku tertarik ke arah tuan sang lengan kokoh yang hingga saat ini masih erat memeluk pinggang.

Kurasakan salah satu tangannya bergerak mendekap kepalaku dan memaksanya menempel di bahu lelaki beraroma maskulin yang kini sudah sukses berada dalam dekapan. Tanganku kuat meremas kemejanya yang licin. 

"Kau tak apa?!" Wajah Jay tampak sangat khawatir.

Kugeleng-gelengkan kepalaku dengan segera sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja. Tidak! Sebagai tanda bahwa aku harus sadar dari keteledoran yang memalukan ini.

Jay menghembuskan napas lega. Kami saling melepas disertai senyum yang saling menyapa. Pegawai cafe yang lain berlari buru-buru menghampiri kami.

"Vejacy!" seru Zaki menghampiriku. Dia selalu seperti ini ketika khawatir atau pun jengkel.

"Aku tak apa," ucapku buru-buru karena tak ingin membuatnya semakin khawatir.

"Kakimu ...." Zaki tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Iya, memang pincang sejak kemarin," jelasku.

"Ada apa? Apa kamu terjatuh?" Kini giliran Jay yang bertanya dengan raut wajah menuntut jawaban. Aku tersenyum.

"Iya, seperti itulah," jawabku sambil memenang bahunya pelan. 

Bohong lagi? Iya. Aku tak mungkin menceritakan tentang seorang pemuda gila yang tiba-tiba datang menabrakku kemudian menyerangku dengan sentuhan-sentuhan yang membabi buta. Kutepis memori mengerikan itu jauh-jauh dari dalam otak sambil membungkukkan diri kepada semua pegawai cafe yang berkerumun dengan wajah khawatir.

"Maaf, ya," sahutku. Mereka semua tersenyum dan menggelengkan kepala. 

"Apa benar kamu terjatuh?" Zaki membisikkan pertanyaan tersebut di salah satu telingaku saat semua pegawai telah pergi. Aku menyikutnya dengan gemas.

"Memangnya apa yang ada di dalam pikiranmu?" balasku dengan intonasi bisikan yang serupa. Jay baru saja melangkah ke arah ruangan pribadinya sesaat sebelum Zaki membuka percakapan ini.

"Entahlah, hanya saja wajahmu tak cocok menjadi seorang pembohong." Gelak tawanya menyusul kemudian. Diraihnya telapak tanganku sambil membantuku duduk di atas sofa yang empuk.

"Jadi, cocoknya jadi apa?" tanyaku kembali sambil memamerkan senyuman terbaik yang aku miliki seraya memilin-milin ujung rambutku layaknya seorang model profesional yang sedang berpose.

Zaki mengerutkan dahi sambil menaruh jari telunjuknya di atas bibir, pertanda bahwa ia sedang berpikir keras.

"Umm, cocoknya?" tanyanya. Aku mengangguk. Masih berteman dengan gaya sok model profesional yang sempurna.

"Pelakor," ucapnya sambil menjulurkan lidahnya padaku dan secepat kilat mengambil langkah seribu ke arah dapur.

Aku berdecak kesal! Bisa-bisanya dia bercanda seperti ini? Tunggu! Apakah jangan-jangan dia merasa tidak aman untuk berkeliaran di sekitarku? Mengingat statusnya yang sudah menikah? Itukah maksudnya? Jika memang begitu, artinya dia hanya takut mengucapkan rasa kagumnya padaku yang masih terbuka untuk semua jenis pria ini. Aku tertawa sambil mengelus dada. Penyakit percaya diri dan egois yang aku miliki memang tak pernah berkurang sedikitpun.

Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Cafe telah ramai terisi pengunjung. Mereka terdiri dari pria dan wanita, dengan pakaian yang tampaknya mahal membalut tubuh. Jika diambil angka dari yang termuda hingga yang tertua, maka rasio umur pengunjung yang menyewa cafe kami adalah antara dua puluh hingga lima puluh tahun. Ingin sekali aku bertanya tentang komunitas mereka hanya untuk memuaskan rasa ingin tahuku. Siapa tahu mereka membutuhkan anggota baru. Umurku juga berada di antara kedua angka yang tadi aku sebutkan dalam pikiran. Jadi, bolehlah ....

Aku berada di segmen ke dua, yaitu jam delapan sampai jam sembilan malam. Perkiraanku semalam sangat tepat. Malam ini ada tiga penyanyi yang akan mengisi acara. Penyanyi pada segmen pertama, akan bersenandung dari jam tujuh hingga jam delapan. Selepas itu, adalah aku dan setelahnya, penyanyi berikutnya akan bersenandung dari jam sembilan hingga jam sepuluh malam. Karena acara ini akan berakhir pukul sebelas malam, jadi dari jam sepuluh hingga sebelas akan diiringi oleh lantunan piano klasik.

Acara berjalan seperti biasa. Aku senang pengunjung tampak puas dengan hidangan yang disajikan. Kulirik wajah Jay yang menatapi kerumunan dengan wajah puas. Dekapan itu masih terasa hingga kini! Kuraba tengkukku yang terasa dingin seketika. Haruskah aku yang terlebih dahulu mengungkapkan perasaan?

Melihatku memperhatikannya, Jay melambaikan tangan dan tersenyum padaku. Hatiku berdesir! Bersuara namun tak ricuh! Alunan musik mendayu memasuki relung jiwa ibarat gerakan arus laut di bulan Februari. Tenang, senyap namun tak membuat sepi.

Kubalas senyumannya dengan melemparkan senyuman terbaik yang aku miliki. Hanya tinggal dua lagu lagi, maka giliranku bernyanyi akan tiba. Kulihat Zaki buru-buru datang ke arahku sambil menenteng sebuah gelas yang berisi air putih.

"Minumlah, agar tenggorokanmu terasa lebih segar," ucapnya sambil menyodorkan gelas berisi air padaku. Aku tersenyum.

"Aku memang cocok menjadi seorang pelakor," ucapku renyah sambil menerima gelas dari genggamannya. Zaki terdengar berdehem dan senyam-senyum tak karuan.

"Maaf, aku hanya bercanda. Jangan berbicara seperti itu," jawabnya sambil menungguku meneguk seluruh air yang ada di dalam gelas. 

"Aku tahu, santai saja," jawabku sambil tersenyum. Kuserahkan gelas yang sudah kosong itu padanya.

"Oh, ya! Ini dari Pak Jay," ucap Zaki sambil menyodorkanku sebuah kertas putih yang dilipat. Dahiku berkerut.

"Hum?" tanyaku 

"Mungkin surat cinta, haha," ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak.

Kuterima potongan kertas yang terlipat itu sambil berusaha mencari keberadaan Jay di antara kerumunan.

"Dia sudah pergi. Katanya tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari keluarganya. Mungkin sekitar satu atau dua jam baru akan kembali lagi, makanya dia menyuruhku memberikan itu padamu." Kepalanya mengangguk ke arah kertas yang kini sudah sukses terjepit di antara jemariku.

"Ayo buka! Aku penasaran!" ucapnya bersemangat.

"Kamu belum buka?" tanyaku. Zaki menggeleng.

"Tidak sopan! Masa aku buka sebelum menyampaikannya padamu?" ketusnya. Fix! Lelaki yang sangat tahu sopan-santun. Aku tersenyum lalu memasukkan potongan kertas tersebut ke dalam saku celana. Wajah Zaki seketika cemberut.

"Yah, ayolah ... ayolah!" sentaknya semakin penasaran. Aku menggeleng. Ia mengalah.

"Hm, baiklah. Aku akan pergi, masih banyak pekerjaan di dapur. Tapi ... jangan lupa memberitahukan isinya padaku. Mungkinkah Pak Jay akan menyatakan perasaannya malam ini?" Keningnya naik-turun saat mengatakan kalimat terakhir.

Zaki adalah teman terdekatku di cafe. Ia tahu pasal kedekatanku bersama Jay. Bukan hanya aku, Zaki juga gemas melihat hubungan kami yang tak kunjung dibekukan dengan ikatan status. Mengambang namun tertambat tali, melayang namun selalu kembali. Itulah aku dan Jay. Hubungan tanpa status ini seolah merupakan kebahagiaan dan tantangan tersendiri bagi kami berdua.

"Aku akan memberitahumu. Pergilah sebelum teman-temanmu yang lain kewalahan di dapur," ucapku sambil memegang bahunya. Ia tersenyum lalu melangkah pergi.

"Ki?" Dia menoleh dengan segera.

"Terimakasih airnya. Terasa sangat segar," ucapku sambil mengacungkan jari jempol. Ia tertawa kemudian mengangguk. Kuamati punggungnya yang berlalu pergi. Istri dan anaknya akan sangat beruntung memiliki pria sepertinya. 

Kini tibalah giliranku bernyanyi. Aku naik ke atas panggung dan duduk di kursi dengan nyaman. Kubuat kakiku sekokoh mungkin saat berjalan agar tak terlihat pincang oleh pengunjung cafe. Musik mulai melantun. Kutarik napas kemudian bersenandung.

"Beautiful night ... when you holding my arms."

"When you take me away ... lay me down, Baby hold me tight ...."

Semua mata tertuju padaku. Suasana hening. Hanya lantunan musik akustik yang terdengar mengalun mengisi tiap sudut ruangan. Pengunjung yang tadinya bersorak dan bercanda riang kini duduk di kursi masing-masing. Para pasangan saling menggenggam dan pengunjung lainnya melambaikan tangan ke udara sambil menyalakan korek api.

Momen inilah yang membuatku tak bisa melepas pekerjaan ini! Aku sangat suka bernyanyi! Aku ingat saat ketika aku menciptakan lagu ini. Mataku terpejam kala lirik berikutnya kembali kulantunkan.

"With love we could through the pouring rain ...."

"With you i could stand all over the pain ...."

"Kiss me when you feeling cold."

"You will found me in the blanket of the rainbow glow ...."

Aku merinding mendengar suaraku bergema. Andaikan Ibu dan Ayah masih ada. Aku yakin mereka kini akan berderai air mata sambil saling menggenggam tangan satu sama lain di barisan pengunjung cafe. 

Musik terhenti dengan pelan. Akhir lagu telah aku lantunkan. Sorak pengunjung melengkapi bahagiaku malam ini. Tidak terasa sudah satu jam aku bernyanyi. Kulirik jam tanganku. Sebentar lagi, jadwalku akan selesai. Kupalingkan tatapanku kembali ke arah pengunjung. Seketika itu seorang lelaki datang menaiki panggung dengan tergesa-gesa. Pegawai cafe yang lain dengan sigap memberikan microphone padanya. 

"Aku ingin agar kamu menyanyikan lagu untuk seseorang," ucapnya padaku. 

Kupandangi wajahnya sambil mengangguk dan tersenyum sopan. Sudah biasa hal ini terjadi. Selalu saja ada pengunjung yang hendak mengirim lagu untuk seseorang yang special. Tak jarang, ada juga yang bernyanyi meski dengan suara yang pas-pasan. Lelaki yang berdiri di hadapanku ini sepertinya berusia empat puluh tahun lebih. 

Ia menunjuk ke arah kerumunan. Seorang wanita dengan lipstik merah merona dan balutan gaun malam yang mewah tersenyum malu. Telunjuknya berhenti tepat ke arah wanita tersebut duduk. 

"Istri yang sangat aku cintai. Hari ini usianya genap 38 tahun. Aku ingin mempersembahkan sebuah lagu untuknya. Lagu yang bisa mengingatkan bagaimana aku bisa melewati masa-masa sulit bersamanya. Sebuah lagu yang mengingatkan aku untuk tidak pernah membuatnya menangis lagi. I loved you so much my beloved Sweetheart," ucap lelaki tersebut diiringi oleh sorakan yang bergemuruh dari teman-temannya yang lain. 

Aku hanya bisa tersenyum iri saat memandangi punggung lelaki tersebut turun ke arah wanita yang menunggu dekapannya di ujung meja. Hatiku kembali berdesir. Kuberi kode kepada pemain gitar untuk memainkan lagu berikutnya. Suasana hening. Kutarik napasku saat petikan gitar mulai menyeruak.

"Don't cry, Baby ...."

"Look up to the sky and take my hand ...."

"Don't walk away, Babe ...."

"Cus i am here always be your man."

Kututup mataku rapat-rapat sambil menikmati tiap lirik yang aku dendangkan. Hingga pada penghujung melodi, mataku masih terpejam. Inilah kekukatan hasrat dari musik dan empati. Lirik-lirik itu betul-betul menjadi wakil dari jiwa-jiwa yang sepi.

Kubuka mataku saat melodi terakhir terpetik. Sorak pengunjung cafe menyadarkan jiwa. Mereka berdiri sambil berseru bahagia. Kuamati kerumunan itu satu per satu. Korneaku sigap menangkap wajah Jay di sana. Tersenyum penuh bangga dengan mata berbinar-binar. Aku tersenyum bahagia.

Ekor mataku menuntun tatapan ke arah lampu bar yang ada di belakang Jay. Lampu biru itu tiba-tiba menyala. Seorang lekaki di sana duduk sambil menyeruput minuman dengan santai. Jas hitam sepekat malam membawa mata kelabu itu tepat mengarah tajam menusuk bola mataku.

Deg!

Dia ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status