Share

Cinta dalam Gempita
Cinta dalam Gempita
Penulis: Yun Sarneeta

Part 1 (Siapa?)

Senja baru saja menyapa langit di daratan Gempita. Sebuah kota kecil di sudut bumi. Penuh dengan hiruk-pikuk, politik, keluarga dengan berbagai jenis status sosial dan hal-hal memuakkan lainnya. Aku tahu aku tidak berhak mengatakan hal buruk ini meski hanya berupa sebuah bisikan gaib di dalam sanubari. Tapi, itulah kenyataan yang aku rasakan.

Hidup sebatang kara di kota yang penuh dengan cahaya lampu bahkan ketika hari masih dirajai sang mentari bukanlah hal yang menjadi sebuah rencana hidup. Peristiwa tujuh tahun yang lalu masih membekas di ingatan. Sebuah momen krusial yang membuat lara ini semakin mengikat kenyataan hidup.

Lara hati berteman dengan semilir angin senja. Aku berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Gerak angin senja mempermainkan helai rambut sesukanya. Kurapikan mantelku dengan segera saat angin kencang berikutnya berhembus. Kota ini akan memasuki iklim yang seperti ini setiap pertengahan tahun.

Kupandangi kendaraan yang lalu-lalang sambil menunggu lampu tanda aman menyeberang menyala. Garis-garis putih di tengah jalur penyeberangan mengalihkan pandanganku. Kugoyang-goyangkan kedua kakiku dengan perasaan tidak sabar. Dinginnya angin membuatku ingin segera mendaratkan badan ke ranjang yang empuk.

TING!

Bunyi tanda lampu penyeberangan berbunyi. Kendaraan berhenti dengan rapi di ujung garis batas. Kulangkahkan kedua kakiku segera menyeberangi jalanan yang sudah mulai gelap. Tidak! Gempita adalah kota yang selalu diselimuti oleh cahaya yang menyilaukan mata. Bahkan ketika segala indera tubuh manusia sedang tenang di dalam mimpi, kota ini tetap saja berisik.

Kuteruskan langkahku menuju gang yang lebih sepi. Hanya sisa dua blok lagi, aku akan tiba di rumah. Senin hingga Kamis, aku mengajar sebagai guru musik di salah satu Sekolah Menengah Pertama swasta ternama di kota ini. Sedang, saat hari libur aku terkadang beralih profesi sebagai penyanyi cafe di sebuah pusat hiburan besar di kota. Namun untuk hari ini aku libur. Jumat adalah hari yang sangat aku sukai. Tak ada kelas, dan terkadang aku juga tidak punya jadwal untuk bernyanyi di cafe. Jadi, aku bisa bersantai sesukaku atau menulis lagu dan juga melakukan hal lainnya.

Lengan kananku mulai terasa pegal. Hari ini aku membeli sebuah gitar baru. Sebuah gitar akustik elektrik yang sudah dari dulu aku impikan. Rasa pegal ini tak seberapa jika mengingat bagaimana aku setiap harinya memandangi etalase toko musik ini dari luar jendela sembari menghitung jumlah tabunganku di dalam kepala. 

“Akan kuberi nama dirimu Kivee,” ucapku sambil mengelus koper khusus gitar yang sedari tadi setia bergelantungan dalam genggaman.

Mulai kubayangkan lirik lagu yang nantinya akan aku buat khusus untuk pengalamaku hari ini. Aku tersenyum sambil berlari kecil menyusuri gang berikutnya. Kuambil ponsel dari dalam saku mantel dan mencolok kabel earphones ke tempat yang seharusnya. Musik seketika menemani indera dengar. 

“Don’t lie ... don’t lie ... to me.”

Aku bersenandung sambil meneruskan langkah. Kebanyakan dari lagu di dalam ponsel kesayanganku ini adalah hasil karyaku sendiri. Aku punya studio yang cukup memadai di rumah. Jadi, aku bisa setidaknya melakukan produksi lagu kecil-kecilan.

“Oh ... take my hand.” Bibirku masih saja beradu dengan nada.

“I just wanted you to kno---“

Sebuah tabrakan keras menghantam punggunggku! Aku jatuh terjerembab. Gitar yang sedari tadi aku genggam dengan setianya kini terpelanting ke atas aspal yang keras. Kuangkat buru-buru jidatku yang sedetik lalu menghantam aspal dengan keras. Masih dalam posisi terjerembab, aku memandang sayu pada koper gitar yang kini tergeletak begitu saja. Kedua kakiku terasa ngilu! Aku bahkan tak bisa menggerakkannya dan karena itu, aku memilih untuk tetap berbaring di jalanan.

Sebuah tubuh asing ternyata berada di seberangku. Tubuh itu menggeliat dan mengerang pelan. Jaket hitam sepekat malam membalut tubuh itu dengan sempurna. Aku yang masih berusaha menggerakkan kakiku perlahan-lahan beringsut ke tepian. Terus kuamati tubuh asing itu lewat celah-celah rambutku yang menutupi wajah. Tubuh itu berdiri.

Seorang pria dengan wajah pucat menatap ke arahku. Seolah tahu aku hendak menghindar, pria itu berjalan mendekat dengan langkah yang terseok-seok. 

“Berhenti ....” Hanya itu yang mampu aku ucapkan.

Seolah tak punya kedua telinga, pria itu semakin mendekat. Aku mendongak saat ia kini dengan gagahnya berdiri di hadapanku yang tengah duduk dengan posisi yang payah. Aku bahkan belum bisa berdiri sendiri. Kakiku ngilu! Entah karena cedera, atau rasa takut yang mulai menggerogoti otak dan tubuh.

Seketika pria itu menarik mantelku ke atas. Memaksa diri ini berdiri dengan kondisi yang mengenaskan. Spontan kugenggam bahunya saat tubuh ini hendak terjatuh. Mata kami bertemu! Dingin ... suram ... tak ada apa pun yang mampu diartikan oleh tatapan kedua mata elang ini. Aku tertunduk dan melepaskan tanganku yang tadinya menggenggam erat bahunya dengan segera. 

Kujinjit kaki kananku sambil berusaha menopang badanku dengan kaki yang lainnya. Kini aku tahu kaki mana yang bermasalah. Kuangkat kepalaku dan pandangan kami kembali bertemu. Sorot angkuh dan arogan itu kembali menghiasi penglihatan. Lengkap dengan bibir yang bungkam seolah menyembunyikan sejuta aib dan masalah hidup di dalam sana.

Pelan tapi pasti, pria asing bermata elang mendorong tubuhku semakin menempel di dinding bangunan yang berada di tepian gang. Hanya beberapa meter di ujung sana, adalah jalan raya yang lebih ramai. 

Dengan gerakan lambat ia mengunci kedua tanganku. Nafasku tersentak saat lambat namun meyakinkan pria ini menginjak kaki kananku agar semakin tertekan ke aspal. Mataku berkaca-kaca menahan sakit.

“A--aaa--a ....” Hanya itu yang keluar dari mulutku. 

Pria di hadapanku kini menyunggingkan senyum. Seketika tulang belakangku terasa dingin! Aku mulai membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan menyeretku ke suatu tempat dan melakukan hal-hal mengerikan seperti halnya film psikopat yang aku tonton di internet dan televisi.

Kakiku masih ia injak. Sedang kini ia mengunci kedua lenganku dan memelukku dengan erat. Diangkatnya badanku ke atas dengan pelan. Kemudian, ia melakukan hal tersebut lebih cepat, cepat! Berulang-ulang! Hingga kini ia mulai menghentakkan keras tubuhku ke atas dalam dekapannya. 

“Arg! A--aaaa!” Kembali! Hanya itu yang terucap dari kedua bibirku.

Lambat-laun rasa sakit pada pergelangan kakiku berangsur hilang. Air mataku sudah jatuh tak karuan. Anehnya! Mengapa aku tak punya niat untuk berteriak? Kami bungkam dalam suasana yang memperdaya. Perlahan ia melepaskan dekapannya pada tubuhku. Aroma manis chocolate cappuccino menyeruak pelan menyapa indera penciuman. Lenganku yang tadinya terkunci kini bebas bergerak di udara. Haruskah aku menamparnya sekarang?

Tatapan kami kembali beradu. Bola matanya tak bergeming. Bibirnya juga masih tertutup rapat. Beberapa saat berlalu dengan kebisuan. Masih dalam peraduan yang saling menatap dalam diam. Aku mencoba mengingat tiap jengkal wajahnya dalam keremangan gang sempit ini. Cahaya bulan seolah membuat mata elang itu berkilat-kilat penuh misteri. Seolah siap untuk memangsa apa pun yang ada di hadapan tuannya.

Tiba-tiba terdengar gaduh langkah kaki menghantam aspal di jalan raya. Terdengar segerombolan lelaki berseru satu sama lain. Sepertinya mereka sedang mencari sesuatu yang hilang. Pria bermata elang itu sejenak menoleh ke arah datangnya kegaduhan. Ia seketika membuang muka saat salah satu dari gerombolan lelaki itu melirik ke arah gang.

“Mereka mencarimu?” Entah mengapa. Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutku. Aku tak tahu mengapa kini aku berubah menjadi pribadi yang lancang.

Tatapannya masih saja seperti semula. Rahangnya mengantup tegas. Kulihat beberapa dari gerombolan lelaki di jalan raya memerhatikan kami.

“Siapa kau?” tanyaku dengan suara yang bergetar sebagai isyarat tak nyaman atas kedekatan kami.

Kuputar keras otakku. Bagaimana jika pria ini ingin menyakitiku? Apakah ia adalah seorang perampok? 

“Kau lari dari mereka?“ Kembali kuberanikan diri untuk bertanya meski dengan suara yang bergetar. Bibirku terasa kering menahan gugup dan takut.

Hanya tatapan kosong di permukaan wajah pucat itu yang menjadi jawaban. Kepalanya sedikit miring saat air mataku kembali terjatuh.

"Jagalah dirimu sendiri dengan baik! Barulah kamu akan mampu melindungi orang terkasihmu!" Ucapanku berakhir dengan sebuah bisikan. Apa yang terjadi denganku? Ini bukan tentangku! Mengapa harus mengingat kejadian lara tujuh tahun silam?

Aku menyaksikan orangtuaku dibunuh di depan mataku sendiri! Sebuah kejadian yang membuatku takut akan genangan darah. Mataku memanas! Emosiku naik ke ubun-ubun mengingat bagaimana ketidakberdayaan diri ini saat pria paruh baya itu merampas tas milik ibuku dan mendorongnya ke jalanan hingga ia tewas terlindas bus sekolah. Ayahku yang lebih memilih untuk melindungiku menyuruhku berjanji untuk segera berlari ke kantor keamanan terdekat untuk mencari bantuan. Ia berjanji! Ia sudah berjanji! Bahwa ketika aku kembali, ia akan berada di sana! 

"Bohong ...," ujarku pelan. Kutatap mata kelabu itu dengan segan. Korneanya bergerak! Menyapu wajah ini dengan sorot mata yang dingin.

"Keadilan hanyalah sebuah kiasan untuk memenuhi hasrat yang tersembunyi. Jika memang keadilan itu ada, maka aku seharusnya sudah mati dari tujuh tahun yang lalu." Mataku terpejam. Kusandarkan belakang kepalaku pada tembok bangunan. Kugigit pelan bibirku untuk menahan getaran ketakutan di sana.

Perlahan kubuka mataku. Pria ini masih di sana. Menatap intens ke dalam butiran debu yang menempel di permukaan kedua mata ini. 

"Kau---"

Aku bungkam! Bola mataku membesar kala bibir asing itu membungkam jalan ucapnya suara. Badannya semakin memaksaku untuk menempel ke tepian. Sedangkan kedua telapak tangannya menempel dengan sempurna di dinding beton. Seolah menjadi palang yang tidak akan membiarkanku pergi ke mana pun.

Kedua tanganku bergetar bukan kepalang. Tangan kananku yang masih menggenggam erat ponselku kini meremas benda itu seolah ingin aku hancurkan. Earphones kesayanganku masih saja melekat di sana. Masih terdengar dengan samar lantunan lagu dan melodi di kedua earphones yang bergelantungan di udara. Kucoba menggerakkan badanku untuk memberi isyarat bahwa aku ingin melepaskan diri. Aku ingin jarak. Tapi mustahil! Tangannya bergerak pelan ke arah genggamanku. Dengan pelan dilepaskannya kabel earphones dari colokannya.

“Don’t cry, Baby ....”

“Look up the to sky and take my hand ...."

“Don’t walk away, Babe ....”

“Cus i am here, always be your man ....”

Melodi dan lirik menyeruak ke udara. Tangannya mencengkeram erat kedua pipiku. Dilepasnya kedekatan kami di ujung bibir sejenak kemudian kembali membungkamku tanpa jeda. Seketika bumi membeku! Aku larut dalam simponi yang tercipta. Kebohongan apa ini? Mengapa begitu memperdaya? Indera ucap kami beradu dalam diam. Sebuah peristiwa yang seharusnya membawaku pada masa-masa kelam dan laraku bersama mantan kekasihku terdahulu! Namun, apakah ....

Lagu terhenti di melodi terakhirnya. Hening! Tak ada suara kendaraan, tak ada suara anjing yang hanya sekedar melonglong atau pun suara angin yang berhembus. Pria ini masih di sana. Ia seolah ingin memakan habis hal kebanggaanku yang sedari tadi ia adu dalam diam. Ia melepasnya disusul sebuah gigitan kecil yang tak menyakitkan. Kubuka mataku perlahan. Tunggu! Selama itu, mataku terpejam? Aku pasti sudah gila!

Pria itu menempelkan dahinya padaku. Napasnya terasa hangat di ubun-ubun. Lagi-lagi mata elang itu membunuh saraf gerak. Bola mata yang tak pernah bergerak itu seolah menembus ke dalam lapisan kornea. Ia melepaskan telapak tangannya yang menggenggam pipiku dan mundur selangkah ... dua langkah ... empat langkah.

Pria itu kini mencapai jalan raya. Meninggalkan aku yang masih berdiri mematung dengan perasaan yang campur aduk dan napas yang ngos-ngosan. Sudut bibirnya kembali tersungging. Ia berlalu pergi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status