Share

Di Bawah Payung yang Sama

Beberapa hari berlalu.

Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.

Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.

Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.

Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu hal ini, padahal insting kuat Mei selalu mengatakan apa yang terjadi di depan.

Meski begitu, Mei hanya tersenyum lembut akan perilaku orang-orang yang menjahilinya. Ia memang tak berdaya, tetapi jika hal itu mampu membuat seseorang bahagia, Mei merasa siap kapan saja untuk menjadi objek kebahagiaan untuk mereka.

Berbeda lagi dengan pemikiran Bian. Kini ia terpaku melihat kelicikan manusia yang memanfaatkan kelemahan seorang Ling Mei. Ia sampai tak mampu beraksara melihat pemandangan menyakitkan ini.

Tanpa berpikir lama lagi, Bian pun mengambil langkah panjang untuk mendekat pada Mei. Sementara Lee berdiri tegap di samping mobilnya.

Tak membutuhkan waktu lama bagi Bian sampai di hadapan wanita itu. Ia menatapnya sejenak, memindai kecantikan agung yang dimiliki Ling Mei. Meski Mei tampak menyedihkan, wanita itu memiliki aura yang membuat Bian seakan meleleh seketika.

“Cantik,” lirihnya pelan. Ia mengagumi manik indah milik Mei meski sudah tak berfungsi lagi. Senyum Mei juga mampu mencairkan hati Bian yang dingin.

Namun, mendadak saja tatapan kekaguman Bian terhadap wanita di hadapannya pun terhalau karena suara Mei yang mengejutkannya. “Selamat datang, Tuan. Apakah Anda hendak membeli buket bunga untuk kekasih Anda?” tanya Mei memecah fokus Bian yang sedari tadi menatap wanita itu.

“A-ah, iya.” Bian segera menutup mulutnya. Ia sudah berencana untuk tidak bersuara di hadapan Mei hari ini. Ia ingin menyembunyikan identitas dirinya.

Senyum Mei pun mengembang indah, ia memilihkan beberapa buket terbaik dengan jemari lentik nan cantik miliknya.

Namun, mendadak saja awan menumpahkan airnya begitu deras. Segera saja, ini kesempatan sempurna bagi Bian. Ia langsung membuka payung yang sudah dibawanya sejak awal sebab ia telah melihat perkiraan cuaca sebelumnya.

Mei tampak kelimpungan sendiri memunguti bunga-bunga miliknya. Tak terasa butiran hujan menimpa pakaiannya. Namun, tak berapa lama ia tak merasakan lagi hantaman bulir bening yang turun dari langit itu.

Kini ia hanya merasakan keteduhan meski di sekitarnya terdengar riuh orang-orang yang berlarian mencari tempat untuk bernaung dari derasnya hujan. Di dalam hatinya, ia merasa hangat karena ada seseorang yang memayungi dirinya.

Sementara Bian berusaha memangkas jarak di antara keduanya. Ia tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya ia bisa selangkah lebih dekat dengan Ling Mei.

Meski begitu, Bian tidak mengatakan apa pun. Ia hanya berdiri lebih dekat pada Mei sementara matanya hanya tertuju pada wanita itu. Ia bahkan abai pada suara sumbang yang mengganggu keduanya. Ia tak acuh dengan ramainya orang berbondong-bondong mencari tempat perlindungan dari hujan.

Ia hanya merasakan kehangatan suhu tubuh Mei di balik dinginnya hujan. Rasa yang sangat nyaman, membuat Bian enggan hengkang dari posisinya saat ini.

“Tuan, terima kasih,” ucap Mei lembut meski ia tak tahu siapa sebenarnya yang membantunya berlindung dari hujan. Kedua sudut bibirnya kembali melengkung. “Tapi, bisakah kita ke tempat yang lebih aman?”

Tidak.

Bian tak mau. Ia hanya menginginkan keadaan seperti ini di mana dirinya bisa jauh lebih dekat dengan Mei daripada sebelumnya. Situasi mendebarkan yang membuat degup jantungnya tak beraturan.

Namun, Bian hanya bisa bungkam. Ia sudah berjanji tidak mengatakan satu patah pun hari ini. Ia hanya ingin menikmati keindahan Mei dari dekat.

“I can’t take my eyes of you, Ling Mei,” batin Bian yang berbicara. Netranya terus menatap kepada wajah Mei tanpa bisa ia palingkan sedikit pun. “I need you untuk mengisi kekosongan hatiku,” batinnya lagi.

Rasanya di dalam dada, suara Bian hendak berkata kencang. Ia sebenarnya ingin berteriak seberapa menggebu perasaannya saat ini pada seorang Ling Mei yang tumbuh menjadi wanita cantik. Namun, ia tak mau merusak suasana romantis kali ini.

Kemudian, ia mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin safir milik Mei yang ia pungut waktu itu. Ia sengaja tidak mengembalikannya sebab ia ingin memastikan serpihan itu sama atau tidak dengan miliknya dan hasil mengatakan bahwa itu memang satu bagian yang pernah sengaja dipecah.

Jadi, Mei seratus persen adalah gadis kecil waktu itu. Bian pun semakin bersemangat sebab gadis yang pernah ia kira telah direnggut nyawanya, ternyata masih hidup sehat meski harus kehilangan penglihatan.

Bian menyerahkan gagang payung pada Mei sejenak. Kemudian, ia mengalungkan kalung buatannya tersebut ke leher jenjang wanita itu.

Mei pun mengerutkan alisnya. Ia merasa sesuatu melingkar di lehernya. Ia merabanya pelan seraya mengenali bentuknya. Hingga pada ujung kalung, ia merasakan permata safir miliknya telah kembali!

“Tuan, ini ... ini safir milikku?” Mei bersemangat, senyumnya mengembang sempurna. “Apakah Anda adalah Tuan yang waktu itu?”

Bian masih diam. Ia mengambil alih kembali gagang payung. 

Bunyi rintik yang semakin deras, rasa dingin dan hangat yang bercampur aduk, dan berdiri satu payung bersama pujaan hati adalah hal terindah yang Bian rasakan.

Di taman kota itu, beberapa orang sudah berteduh. Hanya Bian dan Mei saja yang masih berdiri di bawah payung yang sama. Keduanya hanya saling bertatapan meski Mei tidak dapat melihat siapa pria baik yang telah memberikan momen kehangatan ini.

Di sisi lain, jantung Mei juga berdegup lebih kencang. Entah mengapa, napas hangat Bian membuatnya nyaman. Ia merasa aman berada di sisi pria yang tak bisa ia lihat. Harusnya, ia akan menolak mentah-mentah terhadap pria yang mencurigakan. Namun, kali ini tubuh Mei memilih untuk tetap berada di sisi pria yang memayungi dan juga mengembalikan safir berharga miliknya.

Namun, euforia itu pecah seketika tatkala suara sahabatnya—Emma Bethari berteriak memanggilnya. “Mei, apa yang sedang kau lakukan?” katanya berang. Ia berdiri memasang wajah sengit.

“Emma?” Mei menoleh cepat ke sumber suara.

Wanita bernama Emma segera mencengkeram pergelangan tangan Mei. “Jangan sentuh Mei kami!” katanya bengis pada Bian dengan tatapan yang menukik tajam.

Emma pun mengambil alih Mei. Sedikit kasar memang, tetapi ia tak mau sahabat kesayangannya bersama pria asing yang mencurigakan. Ia menggandeng Mei seraya memayunginya dengan tidak sempurna, alhasil pakaian Mei sedikit basah.

“Pelan-pelan, Emma,” pinta Mei. Ia merasakan kesakitan di bagian pergelangan tangannya.

Baru saja mereka berjalan beberapa langkah dengan gusar, tiba-tiba mereka di hadapkan pada kenyataan mencengangkan. Emma melihat Alan tengah memayungi wanita lain!

Emma membulatkan matanya dengan sempurna. “Alan?” lirihnya.

Mendengar nama Alan, Mei mengernyitkan alisnya tetapi sedetik kemudian wajahnya berubah semringah. “Alan? Apa dia ada di sini?”

Sementara pria bernama Alan itu hanya tersenyum simpul. Ia abai pada Emma yang terkejut dengan kondisinya. Setelah itu, Alan berlari seraya memayungi wanita di sampingnya tanpa acuh akan pandangan Emma terhadap dirinya. Mereka hendak ke tempat aman. Sementara Emma mematung sejenak.

Alan terus berlari bersama wanita yang datang dengannya menuju ke sebuah mobil sedan yang di dalamnya ada Lee. Kemudian, ia mengambil haknya yang dilapisi amplop coklat. Tampak sangat tebal. Alan pun tersenyum licik.

“Kerja bagus,” puji Lee.

“Siap Tuan.”

Setelah itu, Alan bersama wanitanya berlalu. Sementara Lee mengirimkan pesan kepada Bian. “Misi berhasil.”

Bian pun segera membalas dengan cepat, “Kerja bagus, Asisten Lee.” Ia tersenyum penuh bangga.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status