Cinta dalam Serpihan Safir

Cinta dalam Serpihan Safir

By:  Afni Rifazi  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
9Chapters
117views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Sabian Kai atau Bian hampir saja dicoret dari kartu keluarga dan diturunkan pangkatnya di perusahaan karena hampir menginjak kepala tiga tetapi ia masih belum beristri juga. Mau tak mau ia harus mencari wanita untuk dijadikan istrinya. Namun, sang Kakek menyuruh Bian untuk mencari gadis pemilik batu safir yang pernah menyelamatkan hidup pria itu. Ia pun mencari ke berbagai tempat. Setelah semesta merestui, akhirnya Bian menemukan gadis tersebut. Namun, rupanya gadis itu telah kehilangan penglihatan dan ingatan akan masa lalu yang pernah mengubah takdir dirinya dan Bian.

View More
Cinta dalam Serpihan Safir Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
9 Chapters
Batu Safir
“Menikah atau keluar dari keluarga Kai?” Suara Kai sang kepala keluarga meninggi di hadapan penerus satu-satunya. Ia meradang melihat kelakuan sang putra yang hanya bersenang-senang dengan proyek perusahaan tanpa memikirkan masa depannya untuk jangka panjang. “Kau juga akan kehilangan jabatan jika tidak menikah!”Sementara sang putra—Sabian Kai si lakon utama hanya duduk santai sambil menyesap segelas kopi yang dibuatkan oleh Asisten Lee, asisten sekaligus teman masa kecilnya. Ia melempar pandang pada sang asisten yang berdiri tegap di sampingnya. Kemudian, ia kembali menatap sang ayah yang otot wajahnya menegang, memaksa untuk keluar.“Tenanglah, Pa.” Sekali lagi, Bian menyesap kopi tanpa wajah bersalah meski sang ayah sudah mengamuk di hadapannya. Untung saja ruangan ini kedap suara. Ruang khusus milik Bian yang hanya berisi meja kerjanya dan sofa untuk karyawan yang melapor. Bian mendesain ruangannya sendiri. Bahkan, potret dan vas-vas bunga yang ada di sini adalah hasil karyanya.
Read more
Memilih Takdir
15 tahun lalu.“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar
Read more
Kenangan yang Terkuak
Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solus
Read more
Penyelamat Hidupku
Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah ka
Read more
Di Bawah Payung yang Sama
Beberapa hari berlalu.Setelah kejadian waktu itu, Bian maupun Lee tidak langsung mengunjungi wanita yang tak lain bernama Ling Mei. Wanita keturunan Asia dan barat. Mereka berdua menunggu waktu yang tepat, terlebih setelah pertemuan pertama itu, Bian dan Lee diusir kasar oleh Alan Stewart—kekasih Ling Mei.Namun, hari ini mereka memutuskan untuk bersua kembali. Meski awan tampak sendu, Bian sudah siap. Ia membawa payung besar miliknya dan segera melaju bersama Lee menuju ke tempat di mana Ling Mei berada.Tepat sekali, di tangga dekat pintu masuk pusat kota, Ling Mei berdiri di sana seraya menawarkan buket bunga karangannya. Meski ia tak dapat melihat, ia tahu banyak orang yang melintasi bahkan menatap dirinya.Namun, terkadang situasi Mei terlihat miris. Ia sering ditipu oleh pembelinya sendiri. Sesekali memang ada yang jujur membeli, tetapi ada juga yang mengerjainya dengan berpura-pura membeli tetapi tidak membayar sesuai harga karena menganggap bahwa Mei tidak akan mungkin tahu h
Read more
Kesepakatan
“Apakah Mei benar-benar dapat melihat kembali?” tanya seorang pria dengan resah yang tak lain adalah Alan Stewart. Ia tengah menghadap Lee setelah melakukan tugas terbaiknya. Di kedua tangannya, tergenggam amplop tebal berwarna coklat. Kegundahan di hatinya tak kunjung usai. Ia terus memikirkan kesepakatan yang ia lakukan demi mengambil kembali masa depan Mei yang telah direnggut. Sebelum Alan berlalu meninggalkan Lee, ia menanyakan kembali perjanjian mereka yang dibuat kemarin. Kedua anak konglomerat itu memberinya transaksi yang berdasarkan simbiosis mutualisme. Bian menjanjikan bahwa dirinya akan membuat Mei dapat melihat kembali dengan syarat Alan harus meninggalkan gadis itu.Meski terdengar tidak adil, tetapi bagi Alan kebahagiaan Mei adalah segalanya. Bukan berarti Alan tak sayang, ia hanya ingin Mei bisa bahagia dengan seseorang yang mampu mewujudkannya.Alan merasa tak mampu selama ini. Ia hanya bisa memberi sedikit cintanya dengan selalu berada di sisi Mei. Ia tak dapat
Read more
Mengulik Masa Lalu
Sementara di tempat lain.“Hentikan semua ini, Ayah!” Kai bersungut, menatap sengit pada sang sepuh keluarga yang duduk manis di sofa. Di hadapannya, Benjamin masih menatap beberapa potret kecil yang tergambar di sana putranya, Kai saat masih remaja.Senyum simpul sang kepala keluarga bayangan itu terlihat begitu jelas, tetapi hal ini malah membuat Kai meradang melihat sikap ayahnya. Berulang kali ia menghembuskan napas kekecewaan. “Ayah, Bian sudah melewati batas!” Protes demi protes terus Kai ajukan untuk menghentikan rencana Benjamin demi menemukan Ling Mei. Rungu Benjamin terasa pengang mendengarnya, ia menghela napas berat. Kemudian, ia letakkan beberapa potret foto itu di atas meja. Sekali lagi, ia menghela seraya meraih tongkat kayunya yang ia sandarkan pada bibir sofa. “Yang sudah kelewat batas itu kamu, Kai!”Tatapan Benjamin tak kalah sengit pada putranya. Entah kerasukan apa, Kai bertingkah kekanak-kanakan lagi, membuat Benjamin jemu melihat tingkahnya. Suasana di se
Read more
Toko Bunga Ling Mei
“Bian, lihatlah Ling Mei, bukankah dia sangat cantik?” tanya Lee setelah beberapa hari mereka berdebat pasal pria asing yang rupanya adalah kakak tiri Lee. Cetak!Satu sentilan mendarat di jidat Lee. Seketika pria itu meringis kesakitan seraya mengelus dahinya yang terasa perih sejenak.“Berhenti memuja Ling Mei!” Bibir Bian mencucu ke depan. Ia tak suka jika Lee terus-terusan memuji pujaan hatinya—Ling Mei yang saat ini tengah merangkai buket bunga dengan jemari lentiknya.Seperti biasa, Ling Mei memakai cheongsam putih dengan rambut hitam sehitam jelaga yang ia kepang rapi. Sungguh menawan, membuat degup jantung Bian tak beraturan. Sementara respons Lee hanya terkekeh geli. Ia senang menggoda Bian yang tengah kasmaran, sebab baru kali ini ia melihat sang tuan berpipi semu melihat seorang wanita, bahkan mereka harus rela mengintip dari balik tanaman bonsai untuk mematai Mei.Namun, sedetik kemudian Bian berkata dengan resah, “Tapi, apa kamu yakin ini aman, bukankah kakak tirimu itu
Read more
Adik Kecil
Hosh.Hosh.Hosh.“Kita harus lari sejauh mungkin, Kak!” Zhao terus menarik tangan Mei, ia bahkan mencengkeram pergelangan kakaknya itu hingga memerah. keduanya berlari kencang menjauh dari Kenzo yang terus berteriak memanggil nama mereka berdua.“Kita mau ke mana?” Mei yang masih setengah sadar itu terus mengekor pada sang adik. Ia bahkan tak mempersiapkan diri. Mereka keluar tanpa alas kaki. Ah, yang penting kabur saja sudah, masalah selanjutnya bisa diurus nanti.Hujan kembali terjun bebas, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Zhao dan Mei menembus malam yang dingin, tak peduli baju basah yang telah diguyur hujan. Mereka abai pada dinginnya malam yang menusuk demi menjauh dari sang sumber masalah.“Ling Zhao, Ling Mei, cepat kembali!” Di ujung sana, Kenzo berteriak lantang seraya mengacungkan pisau yang sudah terasah dengan baik. Namun karena luka di kaki Kenzo membuatnya sulit berjalan, apalagi berlari. Kenzo memang pincang karena cedera di bagian kaki sebelah kiri akibat melewati
Read more
DMCA.com Protection Status