Share

Penyelamat Hidupku

Bian menatap dalam pada safir di dalam genggamannya, pecahan yang sama dengan miliknya yang sudah ia simpan dan coba lupakan. Ia meneguk saliva dengan kasar. Mematung dengan mulut yang membisu. Pikirannya kacau, tetapi ia tak mampu mengeluarkan aksara-aksara keingintahuan.

“Di mana ... di mana batu itu?” Sang wanita terus meraba tanah. Bulir keringat mulai membasahi wajahnya. Ia merasa takut jika permata safir berharganya hilang.

Ia tidak peduli pada bunga yang berserakan, pikirannya hanya tertuju pada batu peninggalan yang selama ini ia jaga setengah mati. Ia terus membawanya ke mana pun dirinya pergi.

Bian pun mulai kembali pada kenyataan. Wanita di depannya ini tak lain adalah gadis yang sama waktu itu. Manik netra keabu-abuan yang indah, rambut hitam yang dikepang lurus, lengkung bibir nan cantik, dan pakaian cheongsam putih. Semua persis seperti gadis kecil yang pernah merelakan nyawanya demi menyelamatkan Bian.

Segera saja Bian memapah wanita itu. Di sisi lain hati Bian cerah karena rupanya gadis itu masih hidup, tapi di sisi lain ia masih belum percaya akan hal ini, terlebih sebuah kenyataan yang memahitkan.

“A-Anda tidak apa-apa, Nona?” tanya Bian agak ragu. Ini sudah bertahun-tahun lamanya setelah kejadian waktu itu. Bian antara percaya dan tidak. Selama ini pikirannya mengatakan bahwa gadis kecil itu sudah tiada, tetapi hari ini ia kembali berhadapan dengan penyelamat hidupnya.

“Tuan, apakah Tuan melihat batu kecil?” Ibu jari dan telunjuknya mengacung, memberi tahu seberapa besar batu berharga miliknya. Wanita dengan manik netra abu-abu itu tampak resah, terdengar dari suaranya yang bergetar. Meski matanya tampak indah, tetapi cahayanya redup. Ia telah kehilangan penglihatan tetapi instingnya begitu kuat. Ia bahkan bisa menebak siapa yang berada di hadapannya, entah itu pria, wanita, atau bahkan anak-anak. Namun, ia tidak tahu sosok yang sebenarnya sebab baginya, semua orang itu sama.

Nyeri. Bian merasakan hatinya tengah diremas-remas sekarang melihat kondisi wanita yang ada dalam pelukannya ini. Tubuh Bian bergetar. Sekali lagi terbesit kenangan mengerikan yang sudah ia lupakan bertahun-tahun.

Bayangan akan tragedi yang membuat gadis kecil itu tutup usia membuat Bian keringat dingin. Ia masih terbayang bagaimana truk besar itu membuat tubuh mungil si gadis berlumuran darah.

Bian memeluk wanita itu dengan impulsif. Tubuh si wanita lebih kecil dari milik Bian yang dadanya bidang. Di dalam hati, Bian bertanya apakah wanita itu telah tumbuh dengan baik?

Badan yang kurus, pakaian dengan model yang sama, dan mata indah yang sudah kehilangan fungsinya. Bisakah Bian sebut wanita itu telah menjalani kehidupan yang sempurna?

Kepala Bian mendongak, mencoba menghentikan bendungan bulir bening di sudut netranya. Sakit sekali rasanya menerima kenyataan ini.

“Jangan menangis, kumohon jangan menangis,” batin Bian berbisik demikian. Gadis yang dahulu menyelamatkannya kini menderita selama hidup akibat kesalahannya. Bian masih menyimpan rasa bersalah yang besar pada kematian gadis itu. Berulang kali Bian menahan isak hingga kini tercekat di tenggorokannya.

Sementara Lee hanya menatap penuh tanya. Ia tak mengerti mengapa reaksi Bian seperti ini. Bahkan, mata Bian sudah memerah dengan pipi yang perlahan mulai basah. Lee pun menganga, ia tak pernah melihat Bian menunjukkan kelemahannya bahkan kepada Lee sekalipun. Jika Bian ingin menangis, ia pasti akan mencari tempat di mana tidak ada siapa pun yang bisa melihatnya.

Namun, kini kepedihan hati Bian menjawab semuanya. Pria yang kuat bukan ia yang tidak pernah menangis, melainkan ia yang tulus mencintai seseorang dengan hatinya.

Bian menatap pada Lee dengan mata basahnya. Ia sudah tak sanggup lagi menerima kenyataan ini. Tatapan sendu milik Bian menyayat hati Lee. Seorang Bian yang dingin dan terkadang tak acuh dengan perasaan orang sekitarnya, kini menangisi seorang wanita yang tunanetra di usia muda.

“Tuan, ada apa?” tanya wanita itu seketika saat ia mendengar jelas isak Bian yang mulai sesenggukan. “Tolong lepaskan saya, Tuan.” Sang wanita susah bernapas karena Bian memeluknya dengan erat. Meski begitu, sang wanita tak merasa terancam sedikit pun. Ia malah merasakan kehangatan dan mendung yang teraduk menjadi satu di dalam hati pria yang tengah memeluknya itu.

Ia juga merasakan betapa tegarnya si pria yang tak ia kenal. Dadanya yang bidang dan pundak yang tegap memberi tahu kepada si wanita bahwa banyak hal yang telah pria itu lalui untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Wanita itu yang awalnya menolak untuk didekap, kini ia membuka tangannya untuk membalas pelukan Bian. Ia mengelus punggung Bian yang lebih besar darinya. “Sudah tidak apa-apa. Kehilangan adalah suatu hal yang biasa dalam kehidupan.”

Bian maupun Lee tersentak. Mereka menaruh pertanyaan besar, bagaimana wanita itu tahu luka Bian selama ini?

“Kita mungkin tidak bisa melupakannya begitu saja, tetapi dunia akan tetap berjalan. Jangan sampai karena seseorang, kita tertinggal oleh dunia,” kata wanita itu lagi masih dalam dekapan Bian.

Perkataan wanita itu menembus jantung Bian hingga membuatnya merasa hangat akan aksara-aksara indah bak mutiara yang mengalun merdu laiknya melodi. Terdengar halus dan menyejukkan. Suaranya yang jernih membuat Bian menjadi candu.

Bian pun melepaskan pelukannya pada si wanita. Ia menangkup kedua pipi mungil wanita itu. Ditatapnya lekat-lekat penuh dengan arti pada kedua manik netra milik sang wanita. Wajah Bian terefleksikan di sana, memantulkan dirinya yang telah melakukan kesalahan besar hingga merusak takdir si wanita.

Rasa bersalah terus menghantuinya selama ini. Ia bahkan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas kejadian yang membuat gadis kecil waktu itu harus merelakan nyawa demi menyelamatkan Bian dari ancaman kematian. Bian berpikir bahwa nyawanya telah ditukar oleh nyawa gadis itu.

“Maafkan aku, sungguh tolong maafkan aku,” lirih Bian dengan suara bergetar. Kali ini ia tak dapat menahan isaknya lagi. Air matanya sudah meluruh tanpa bisa ia halau. Bibirnya gemetar dan tangannya terasa dingin.

Sementara wanita itu menarik kedua sudut bibirnya, menampakkan bulan sabit yang telah lama Bian rindukan selama bertahun-tahun. Sebuah senyum kehangatan yang terus memberinya semangat hidup. Dari senyum itu, Bian berusaha hidup lebih baik agar ia tidak menyia-nyiakan nyawa yang telah ditolong oleh sang penyelamatnya.

“Maaf ... maaf untuk apa? Saya sepertinya tadi ditabrak oleh anak kecil, Tuan.” Senyum wanita itu terus mengembang dengan indah. Detik kemudian, perlahan tangan wanita tersebut mengusap mata Bian yang basah. “Hai, jangan menangis lagi, ya. Semua akan baik-baik saja,” katanya lembut dan menyejukkan.

Ah, semakin sakit.

Bian tak bisa melihatnya seperti ini. Ia langsung memutuskan, wanita penyelamat hidupnya harus Bian lindungi. Kini giliran Bian yang akan menyelamatkan hidup si wanita. Tanpa berpikir, ia pun berkata impulsif, “Ikutlah denganku. Aku akan membuatmu bahagia.”

Tangan Bian mencengkeram pergelangan si wanita dengan kasar. Ia tidak tahan lagi akan penderitaan yang wanita itu alami selama ini. Ia ingin menebusnya dan membuat wanita di hadapannya bahagia. Namun, sikap kasar Bian membuat sang wanita malah ketakutan.

Wanita itu perlahan mendorong tubuh Bian. “Ma-maaf, ada apa dengan Anda?”

Ia merasa bahwa Bian mulai bersikap agresif, dirinya terancam. Ia melepas Bian yang dipikirnya adalah orang baik-baik yang butuh perhatian. Namun, hal itu hancur seketika saat Bian memaksa dirinya.

Mendadak saja, dari kejauhan terdengar seorang pria berteriak lantang. Ia berang. “Ling Mei, jauhi pria itu!” 

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status