Share

Memilih Takdir

15 tahun lalu.

“Hosh ... hosh ... hosh.” Seorang anak lelaki yang tak lain adalah Bian kecil berusia 12 tahun terus berlari. Ia mengambil seribu langkah menjauh dari komplotan yang mengejarnya seraya membawa kematian untuk dirinya.

Tubuh Bian yang kecil sudah basah kuyup sebab air di langit tumpah ruah diselingi guntur mengerikan. Meski ia berusia 12 tahun, tubuhnya tak berkembang laiknya teman seusianya. Ia sedikit terhambat. Namun, hal itu menguntungkannya pagi ini yang tengah diselimuti awan suram. Ia bisa dengan lincah meloloskan diri dari kumpulan pria kekar yang menahannya sejak kemarin.

Kakinya terus melesat walau tanpa tujuan. Sekarang yang ada di dalam pikirannya hanyalah dapat lolos dari genggaman para pria menakutkan itu. Ia tidak peduli berapa jarak yang ia tempuh untuk melarikan diri hingga ia menemukan sebuah taman bermain yang telah sepi.

Bian pun segera menyembunyikan tubuhnya di balik perosotan yang tergabung dengan rumah-rumahan kecil di atasnya sehingga ia terhindar dari hujan maupun pandangan para pria yang mengejarnya.

Namun, saat Bian hendak memosisikan diri di dalam perlindungan itu, ia melihat seorang gadis kecil berusia 7 tahun berpakaian cheongsam putih—pakaian khas perempuan Tiongkok. Gadis dengan rambut hitam sepunggung yang dikepang rapi membuat Bian menganga sejenak.

Pakaian sang gadis tampak lusuh dengan beberapa noda tanah basah di beberapa bagian. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan, matanya menatap kosong. Perasaan sama yang kini tengah Bian rasakan juga.

Namun, detik kemudian gadis itu melengkungkan bibirnya hingga membentuk bulan sabit tatkala melihat kedatangan Bian yang tak diduganya. Ia tampak mengusir gamang yang ada dalam dirinya dengan senyuman terbaik yang ia punya. Ia berbisik seraya bergeser untuk memberi Bian ruang di tempat nan sempit itu, “Apa yang membawamu ke sini?”

Mulut Bian masih bungkam tetapi matanya memindai pada gadis yang masih memasang lengkungan indah di bibirnya. Baru pertama kali Bian melihat gadis kecil yang begitu menawan hingga membuatnya menatap terus menerus karena menyimpan takjub akan gadis kecil ini.

“Apa kau mau?” tanya si gadis seraya menyodorkan nasi kepal yang ia simpan di dalam tas kecilnya. “Ini masakan terakhir Bunda.”

Mata Bian membulat sempurna mendengar itu. Ia pun menggeleng cepat, menolak makanan itu meski perutnya terasa perih sebab dari kemarin ia tidak mendapatkan nutrisi sama sekali.

Namun, meski Bian tegas menolak karena merasa tak enak hati, gadis itu terus memaksanya. “Makan saja, aku tahu kau lapar. Kita sebagai anak kecil butuh energi besar karena kita dipaksa dewasa sebelum waktunya.” Mata gadis kecil itu kosong selama beberapa saat. Bian pun mau tak mau menerima dan memakannya dengan lahap.

Netranya menangkap pada gadis aneh itu yang terus menarik kedua sudut bibirnya, membuat mata si gadis menyipit memberi sedikit kehangatan. Meski begitu, terlihat dari raut si gadis sesuatu besar yang ia simpan rapat. Bian bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sudah gadis kecil itu lalui sampai bahunya tampak memikul beban yang berat?

Namun, Bian tak berani mengajukan rasa penasarannya. Ia memilih untuk menutup mulut hingga waktu yang akan menjawabnya.

Mereka pun akhirnya menghabiskan hari seraya menunggu situasi aman. Hadirnya gadis itu membuat Bian bahkan melupakan rasa takut yang memenuhi dirinya. Bahkan, Bian mulai terbuka pada gadis itu, menceritakan bagaimana dirinya bisa berada di sini.

“Aku diculik dan mereka meminta uang jaminan tetapi aku kabur. Mereka terus mengejarku sambil mengutuk diriku dan menginginkanku untuk mati,” terangnya seraya menundukkan kepala begitu dalam. Bian bergetar hebat mengingat seberapa menegangkannya tadi saat ia berusaha meloloskan diri dari para penculik.

“Apa kau orang kaya?” tanya gadis itu.

Bian mengangguk lesu. Melihat Bian tak bersemangat, gadis itu memikirkan sebuah cara untuk melihat lengkungan indah di bibir Bian.

“Oh iya, aku punya sesuatu!” Mendadak saja gadis asing itu mengeluarkan sebuah permata safir di dalam tasnya. “Ini adalah safir milik ayahku.”

Binar netra Bian tampak memancarkan kekaguman akan bongkahan kecil dari permata itu. Safir, warna yang sama dengan manik matanya.

“Indah,” lirih bibir Bian.

Warna biru lambang ketenangan benar-benar ampuh kali ini. Bian merasakan kehangatan pada safir itu.

Namun, kekaguman tersebut mendadak menguar bersamaan dengan datangnya suara bariton yang berkumpul seraya menyerukan nama Bian. Terdengar juga nyaring besi senjata yang diasah dengan baik. Dentingan itu membuat bulu kuduk Bian maupun gadis itu berdiri bersamaan.

Tubuh Bian bergetar, tetapi dengan sigap gadis yang masih belum Bian ketahui namanya itu mencoba menenangkannya. Ia menyodorkan barang berharga miliknya kepada Bian tanpa ragu. Sementara Bian hanya terdiam. Ia malah melirik kepada beberapa bekas luka di bagian tubuh mungil gadis di depannya itu. Rasa nyeri pun bergelayut di dada Bian.

“Kita memang tidak bisa memilih dari mana kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih mau menjadi apa.” Gadis itu memungut batu seukuran batu kerikil. Lalu dengan sekuat tenaga ia memukul safir itu hingga terbelah menjadi dua bagian sekecil kacang almon.  “Ini untukmu dan untukku.” Gadis tersebut membagi dua permata safir milik peninggalan ayahnya.

“Tapi, ini bukannya barang berharga milik ayahmu?” Bian ragu, lagi pula ini bukan saatnya untuk bertukar permata, tetapi nyawa yang sedang jadi incaran.

“Bawa ini dan ingat aku, ya.” Gadis itu lagi-lagi tersenyum dengan penuh keyakinan. “Oh iya, aku pinjam hoodie-mu dulu,” pinta gadis itu.

“Untuk apa?”

“Menjadi apa yang aku mau.” Tatapan gadis itu menyorot tajam membawa asa baru bagi Bian yang merasa tak berdaya dan buntu.

Tanpa negosiasi lagi, konversasi itu pun berakhir dengan Bian yang menyerahkan pakaian tebal miliknya dan langsung dipakai oleh gadis tersebut. Ia memakainya dengan gugup, tetapi dirinya begitu yakin akan berhasil.

“Ah satu lagi, nasi kepal itu bukan buatan bundaku. Aku sudah tak punya orang tua sejak kecil. Nasi kepal itu kucuri tadi.” Gadis itu menyengir kuda dengan memasang wajah lugunya.

“Ha?” Bian segera memuntahkan nasi yang sudah bercampur aduk dengan isi perutnya yang lain karena ia tahu bahwa makanan itu tidak pantas dimakan.

Kemudian, gadis tersebut bangkit dengan semangat yang membara di dalam dirinya. Bian pun segera menahan tangan mungil si gadis sebab di luar ada puluhan orang tengah mengejarnya. “Mau ke mana?”

“Nanti kita akan bertemu lagi, aku janji.” Lagi, ia tersenyum lembut pada Bian. Kemudian, ia segera berlari keluar dari persembunyian. Ia menembus derasnya hujan untuk mengecoh para penculik tersebut.

Benar saja, salah satu di antara mereka melihat gadis tersebut yang dikira Bian. Mereka pun mengejar dan mengepung. Sementara Bian mengintip dari lubang kecil yang sengaja dilubangi orang. Ia berusaha menahan suara seraya melihat seberapa berani gadis asing itu.

Hingga pada akhirnya, gadis itu meloloskan diri dari cengkeraman salah satu pria kekar. Namun nahas, saat ia hendak melintasi jalan, sebuah truk datang dengan kecepatan penuh menabrak dirinya.

Bruk!

Suara itu membuat Bian mematung seketika dengan mata yang melotot kuat. Ia melihat darah gadis itu tercecer terbawa hujan.

“Tidak!”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status