Share

Kenangan yang Terkuak

Dalam sekejap, Bian membelalakkan mata seraya menarik napas begitu dalam. Denting jam telah mengejutkannya. Tubuh Bian penuh keringat, ia bergetar.

Seteguk saliva ditelannya. Ia menatap sekeliling, rupanya ia berada di ruang kerja kesayangannya. “Ah, aku mimpi itu lagi.” Bian menghela napas berat. “Mimpi lima belas tahun lalu.”

Pria itu mengusap peluh di keningnya. Badanya terasa kaku, ia baru sadar selama 2 jam dirinya terbawa bunga tidur mengerikan di atas kursi kerjanya. Kenangan yang sudah lama ia kubur begitu dalam sampai ia telah melupakannya, tetapi selama beberapa hari terakhir memori itu hadir kembali mengusik kedamaiannya sejak Bian diingatkan akan batu safir oleh Benjamin.

Ia sebenarnya telah menyimpan safir itu jauh di dalam lemari yang tak pernah ia buka setelah hari di mana ia terakhir kali melihat gadis itu sebelum ditemukan oleh Benjamin. Ia hanya ingin lari dan menghilangkan semua hal yang menjadi trauma masa kecilnya. Namun, Benjamin berkata bahwa lari bukanlah solusi. Mau tak mau, Bian harus menghadapi lukanya sendiri.

Bian pun memungut permata safir yang duduk nyaman di sebuah kotak kecil di sudut meja kerjanya. Ia buka kotak itu dengan perlahan. Ah, tampak berkilau indah sebagaimana manik netranya yang saat ini tengah menangkap kecantikan akan kristal penuh kenangan itu.

“Ah, tapi di mana aku harus mencarimu?” Bian menghela, frustrasi. Ia menangkal fakta yang Benjamin katakan beberapa waktu lalu tentang gadis yang telah kehilangan nyawa di depan matanya. Ini sangat tidak mungkin baginya. Sebuah kenyataan yang menghantam dan mengejutkannya setelah lima belas tahun berlalu.

“Dia ... tidak mungkin masih hidup, ‘kan?” Tanpa sadar sudut mata Bian mengendong bulir bening. Namun, sekuat tenaga ia menjaganya agar tidak meluruh seenak diri.

Mendadak, suara ketukan pintu membuat Bian terperanjat seketika. Bahkan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Keheningan yang berubah mengejutkan. Bian seakan terlempar dari kedamaian menuju kenyataan.

“Masuk,” katanya singkat dengan suara bariton khasnya. Ia segera mengelap ujung matanya yang basah. Satu detik setelah itu, pintu terbuka pelan. Tampaklah sosok Lee dengan wajah cemasnya. Ia berjalan cepat mendekat kepada sang tuan.

“Bian, apa kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir, terlebih wajah Bian tampak pucat. Tidak seperti biasanya.

“Baik.” Bian segera meletakkan kotak kecil berisi pecahan permata safir. Ia tak mau Lee melihatnya dan mengatakan banyak hal juga untuk mendesak dirinya mencari gadis itu, sama seperti perintah Benjamin.

Hening.

Keduanya membisu tanpa mencari topik untuk memecah kecanggungan itu. Namun, meski begitu Lee masih menyimpan cemas pada tuan yang sudah ia abdikan selama hidup. Bian tidak pernah semurung ini.

Lee hanya bisa menatap pria yang terlalu fokus pada pekerjaan itu. Mau berkomentar pun rasanya akan terdengar miris bagi sang tuan. Ia tak mau membuat hubungan keduanya menjadi dingin.

Perangai Lee membuat Bian tak nyaman. Ia mulai membuka mulut untuk protes. “Ada apa denganmu, kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya ketus seraya merapikan meja kerja yang agak berantakan dengan beberapa dokumen.

“Tidak, sepertinya kau butuh suasana baru.” Lee menyarankan. Ia melirik pada arloji coklat yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kau punya waktu dua jam untuk istirahat, setelah itu kita ada rapat.”

“Tidak perlu, aku di sini saja. Lagian di luar panas.” Bian mengambil benda pipih di saku kemejanya. Ia menekan tombol kecil di samping benda itu untuk mengaktifkan layar. Tak butuh waktu lama, terpampanglah beberapa aplikasi di menunya. Ia hanya menggeser tanpa ada tujuan apa pun. Sesekali ia mendesah resah.

Sementara Lee masih berdiri tegap menghadap Bian yang seakan terus lari dari kenyataan. Rahang Lee menegang. Ia berang dengan sikap Bian yang tidak menjadi dirinya sendiri. Rasanya sesak melihat pria itu tampak tertekan.

“Berhenti membuang waktu!” kata Lee impulsif. Ia bahkan tidak mampu mengontrol isi hatinya hingga aksara itu keluar dari mulutnya begitu saja hingga membuat Bian sampai mengernyitkan alis.

Pria itu tak pernah mendapati sang asisten murka bahkan meninggikan suara di hadapannya.

“Ada apa denganmu?” tanya Bian keheranan.

Namun saking tak tahannya, Lee sudah tak memikirkan konsekuensi yang akan ia terima. Ia segera melempar jas kebanggaannya di atas sofa hingga hanya kemeja putih yang membalut tubuhnya. Ia telah meletakkan jabatan saat ini sejenak.

Kemudian, ia mengambil langkah lebar menuju meja kerja Bian. “Sudahlah, ikuti aku saja sekarang.” Lee menarik tangan Bian, membawanya ke tempat yang Bian tak tahu. Bahkan, isi pikiran Lee tidak bisa Bian ketahui. Dirinya malah masih tak percaya bahwa Lee bisa segeram ini. Entah kerasukan apa, pikirnya.

Mereka berdua melewati banyak mata yang menaruh pertanyaan besar. Ini jam istirahat, koridor kantor pasti ramai orang. Namun, Lee abai akan suara sumbang yang seakan mengikuti ke mana saja mereka pergi dengan membawa pertanyaan rasa ingin tahu. Hingga pada akhirnya mereka masuk ke dalam mobil dengan Lee yang menjadi sang pemegang kendali.

“Asisten Lee, kau melanggar etika menjadi seorang asisten.” Bian berkomentar.

“Potong saja gajiku,” kata Lee singkat, tak mau menanggapi serius. Lagi pula Kai yang mengurus gaji karyawan perusahaannya, bukan Bian.

“Baiklah, bulan ini kau tidak kuberi gaji. Akan kulaporkan pada Papa.” Bian kembali membuka ponselnya yang tadinya berada di saku kemeja.

Netra Lee melirik. Ia kian geram akan polah Bian yang semakin membuatnya tak nyaman. Ia pun mengambil ponsel dengan paksa dari genggaman sang empu. “Lupakan dahulu benda pipih itu!”

Lee menyimpan ponsel Bian di kotak mobilnya. Ia tak mengizinkan sang tuan lagi memainkan benda konyol sebagai pelarian meski Bian akan merengek seperti bayi mungil yang menyedihkan.

“Hoi, bukankah dirimu sangat kasar?” Bian merasa dongkol akan kelakuan Lee yang sudah kelewat batas meski mereka sudah seperti saudara kandung sebab sejak usia sepuluh tahun Lee juga sudah diangkat sebagai anak Kai.

Kemurkaan Bian telah Lee abaikan. Ia tak acuh meski bosnya merengut meminta dikasihani. Dirinya sudah jemu melihat Bian yang seperti ini. Ia ingin segera mengakhirinya dengan membawa pria gila kerja itu ke pusat kota.

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai. Lee segera memarkirkan mobil sedan pribadinya ke tempat yang diarahkan sang penjaga kendaraan. Setelah itu, keduanya pun turun.

Sejenak, Bian hanya terdiam melihat tempat yang ramai orang. Terdengar bisik konversasi yang tak sengaja terlintas di rungunya. Netra Bian menangkap banyak hal di sini. Taman kota, tempat yang ia kunjungi saat kecil. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tak menginjakkan kaki di sini, padahal jaraknya dekat dari kantor.

Bian hanya malas saja membuang waktu, tapi kini ia melihat bangunan di sekitar sini tampak menakjubkan meski masih bergaya klasik. Binar netra Bian tampak berkilau. Jadi, inikah dunia luar?

Plak!

Lee menepuk belakang kepala Bian. “Sadarlah, kau bukan anak kecil,” ejek Lee tanpa memandang lagi status dirinya bagi Bian sang tuan muda. Kini ia hanya berpikir bahwa dirinya adalah saudara Bian yang telah tumbuh besar bersama-sama. Ia hanya ingin menghibur saudaranya saja dengan membawa pria itu ke pusat kota untuk bernostalgia.

“Aku hanyalah burung yang terkurung di dalam sangkar.” Bian mengelak. Kemudian, ia menyunggingkan senyum menawannya yang hilang beberapa hari ini. Mereka pun bertatapan sejenak, inilah momen yang sudah lama hilang setelah mereka beranjak dewasa.

Namun, euforia singkat itu menguar seketika tatkala tepat di depan mereka tampak seorang wanita berpakaian cheongsam putih yang ditabrak oleh anak kecil hingga membuatnya menjatuhkan buket bunga dari genggaman tangannya. Sementara si anak kecil itu langsung berlari menjauh tanpa rasa bersalah.

Wanita itu segera ambruk dan tangannya meraba tanah untuk merapikan beberapa bunga yang jatuh dari pelukannya. Namun, ada sesuatu yang berharga lebih dari bunga itu.

“Di mana ... di mana dia?” Ia terus meraba tanah bekas pijakannya, berusaha mencari sesuatu. Ia hanya bisa mengandalkan insting dan kedua tangan miliknya sebab mata yang ia punya sudah tak berfungsi lagi. Ia resah. Sementara Bian berdiri mematung tatkala sebuah pecahan safir tiba-tiba saja terjatuh tepat berada di ujung kakinya.

Dengan tangan gemetar Bian memungut safir sebesar biji almon itu. Kemudian, netranya menangkap wajah wanita yang mengingatkan dirinya akan masa lalu nan mengerikan.

“Wanita itu ....”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status