Share

Cinta dalam Serpihan Safir
Cinta dalam Serpihan Safir
Author: Afni Rifazi

Batu Safir

“Menikah atau keluar dari keluarga Kai?” Suara Kai sang kepala keluarga meninggi di hadapan penerus satu-satunya. Ia meradang melihat kelakuan sang putra yang hanya bersenang-senang dengan proyek perusahaan tanpa memikirkan masa depannya untuk jangka panjang. “Kau juga akan kehilangan jabatan jika tidak menikah!”

Sementara sang putra—Sabian Kai si lakon utama hanya duduk santai sambil menyesap segelas kopi yang dibuatkan oleh Asisten Lee, asisten sekaligus teman masa kecilnya. Ia melempar pandang pada sang asisten yang berdiri tegap di sampingnya. Kemudian, ia kembali menatap sang ayah yang otot wajahnya menegang, memaksa untuk keluar.

“Tenanglah, Pa.” Sekali lagi, Bian menyesap kopi tanpa wajah bersalah meski sang ayah sudah mengamuk di hadapannya. Untung saja ruangan ini kedap suara. Ruang khusus milik Bian yang hanya berisi meja kerjanya dan sofa untuk karyawan yang melapor. Bian mendesain ruangannya sendiri. Bahkan, potret dan vas-vas bunga yang ada di sini adalah hasil karyanya.

“Bagaimana Papa bisa tenang? Papa sudah tua dan kau juga sudah berusia hampir tiga puluh.” Napas Kai tersengal, ia sudah terlalu dongkol pada anaknya yang sangat keras dengan diri sendiri. Kai memegang dada, terasa sesak di sana. Ia hampir saja limbung.

Asisten Lee pun bertindak impulsif dari alam bawah sadarnya. Ia berlari dan dengan sigap menangkap tubuh ayah dari tuannya. “Anda tidak apa-apa, Pak?” tanya Lee memastikan seraya menahan tubuh Kai. Namun, perhatian Lee ditepis seketika oleh Kai. Pria itu melepaskan diri dari Lee dengan kasar seakan memang tidak butuh bantuan Lee.

Tatapan Kai menajam pada Bian dan Lee, ia melirik keduanya secara bergantian dan berakhir pada Lee. “Tidak cuman Bian, tapi kau juga, Lee.” Kai mendaratkan telunjuknya tepat di dada Lee. Ia mengetuknya beberapa kali agar hati Lee pun ikut terbuka sebab kedua anak itu sama saja. Pikiran mereka hanya berisi kerja, tidak ada yang lain. Padahal jika bicara tentang uang, semua sudah terjamin. Bahkan untuk hidup seratus tahun ke depan, seluruh keturunan keluarga Kai tidak akan kelaparan.

Lee hanya mengangguk takzim meski ia tidak sepenuhnya mengiyakan tugas yang berat itu. Namun bagi Kai, Lee juga sudah seperti anaknya sendiri. Lee telah mengabdikan diri kepada keluarga Kai sejak usianya sepuluh tahun, terbayang sudah berapa lama ia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk keluarga Kai. Maka dari itu, ultimatum yang diberikan kepada Bian mau tak mau berlaku juga untuk Lee.

Ruangan yang memanas itu kian menegang saat seorang pria tua dengan tongkat kayunya tiba-tiba saja hadir bersama asisten wanita. Ia datang tanpa diundang, tetapi membuat atmosfer di sekitar semakin sesak. Kehadirannya mampu membuat Kai bungkam.

“Tenanglah, Kai. Dia juga sama sepertimu saat kau muda.” Ia mengelus lembut jenggot putihnya.

Sementara Bian yang tadi duduk di singgasananya, kini ia bangkit dan menunduk takdim atas kedatangan orang yang paling dihormati di keluarga Kai. Pria itu adalah Benjamin Keiji sang kepala keluarga bayangan. Ia adalah sesepuh keluarga Kai. Bahkan, Kai sendiri tidak bisa berkutik akan titah ayah kandungnya itu.

Benjamin bergerak dari balik kuasa putranya, Kai. Meski Kai adalah kepala keluarga, tetapi Benjaminlah yang sebenarnya memegang penuh keturunannya. Setiap perkataannya adalah kehormatan yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun.

“Tapi Ayah—”

“Diamlah, aku tidak butuh suaramu!” Benjamin berjalan melewati Lee dan Kai yang berdiri seraya menundukkan kepala. Pria tua itu melangkahkan kakinya dengan bantuan tongkat menuju ke meja kerja Bian di depan sana. Meski tampak tertatih karena kemampuan kakinya sudah menurun, tetapi langkah yang ia pijak terlihat mantap.

Perlahan dan pasti. Pria usia delapan puluhan itu adalah kakek tua yang hanya menginginkan kedamaian, bukan pemaksaan. Benjamin mempunyai caranya sendiri untuk membuat cucunya bisa melahirkan penerus yang baru. Terlebih saat ini keluarga Kai sudah memiliki banyak cabang yang harus diurus, sedangkan Kai hanya punya satu penerus yang hobinya bekerja saja.

Tanpa bicara apa pun, Benjamin meletakkan sesuatu di atas meja kerja Bian. Sebuah permata safir yang birunya sebiru manik netra Bian dan Kai. Pecahan kecil seukuran biji almon tampak berkilau indah terpapar pantulan sinar mentari. Bian terbelalak melihatnya, sebuah ingatan mendadak terbesit di pikirannya.

“Carilah gadis ini,” kata Benjamin sedikit berbisik tetapi suaranya mampu didengar oleh Kai dan Lee yang berdiri tak jauh dari mereka. Sementara Bian hanya membeku meski tubuhnya bergetar hebat.

Memori mengerikan muncul, tetapi ia tak bisa menghapusnya dengan mudah. Meski begitu, Bian merasakan sedikit ruang rindu di hatinya akan sosok pemilik pecahan batu safir ini. Bian pun menelan salivanya dengan kuat. Rasa bersalah yang selama ini berusaha ia kubur akhirnya bangkit lagi.

Bian kembali terbayang akan gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya saat kecil dengan merelakan nyawanya sendiri. Aksi heroik gadis itu membuat takdir keduanya berubah drastis. Namun, karena rasa bersalah Bian, ia terus mengubur kenangan itu meski seseorang yang pertama kali mencuri hatinya adalah gadis tersebut.

Hal itu yang membuat Bian sampai sekarang menutup hatinya pada banyak gadis. Ia hanya takut membuat gadis yang ia cintai berakhir mengenaskan seperti masa lalunya.

“Jangan lari lagi.” Kali ini kalimat Benjamin tidak terdengar oleh Kai maupun Lee, hanya Bian saja sebab ia mengatakannya tepat di telinga Bian yang masih membulatkan matanya dengan sempurna seraya ketakutan dengan apa yang harus ia hadapi nanti.

“Ta-tapi dia sudah ... tiada, Kek.”

“Dia masih hidup dan tumbuh menjadi gadis yang cantik.” Benjamin tersenyum simpul memberi harapan baru bagi Bian. Mendengar hal itu, membuat Bian semakin mematung. Bagaimana mungkin seseorang yang merelakan nyawanya tepat di hadapan Bian dikatakan hidup. Apakah gadis itu telah bangkit dari kuburnya?

Meski terdengar mustahil, Bian masih menaruh harap besar. Semoga saja, gadis itu memang masih hidup. Bian pun tersenyum kecil, ada sedikit asa yang ia simpan untuk gadis itu.

Namun, mendadak saja euforia singkat yang Bian rasakan dihancurkan oleh sang ayah. Kai dengan lantang menolak tegas akan usulan Benjamin. “Tidak akan, Bian tak akan menemui gadis itu!”

Suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Akibat emosi yang membuncah di dada, Kai sampai lupa perintah siapa yang telah ia lawan. Otot wajahnya kembali menegang. Kulitnya jadi merah.

“Karena gadis itu Bian tersiksa. Lagi pula gadis itu telah—”

“Tutup mulutmu, Kai. Kau tidak tahu apa-apa!” Benjamin membalikkan tubuhnya seraya mengarahkan tongkat kayu miliknya tepat di wajah Kai yang terbakar api kemarahan. “Biarkan putramu yang menyelesaikan masalahnya sendiri karena lari pun bukanlah solusi dari segalanya. Bian tidak seperti dirimu!”

Mendengar kalimat pedas dari ayahnya, Kai mengeratkan giginya seraya mengepal kedua tangannya diam-diam, menahan gejolak yang terus membakar dirinya tanpa tahu siapa yang ia hadapi sekarang. Sekuat tenaga Kai membungkam mulut meski egonya sudah sangat terluka.

Setelah mengatakan itu, Benjamin pun berlalu dari hadapan putra dan cucunya. Ia pergi seraya meninggalkan harapan yang besar pada Bian. “Segera temukan gadis itu, Bian,” batin Benjamin saat ia angkat kaki dari ruangan yang terasa sesak ini.

Setelah kepergian Benjamin, Bian ambruk di atas kursinya. Ia menatap pecahan kecil batu safir itu. “Namun, di manakah aku akan menemukannya?”

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status