Share

Kesempatan

Malam belum begitu larut, jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Merasa bosan sendirian, Nana keluar dari rumahnya. Seperti biasa ia duduk di teras sendirian untuk melihat bintang-bintang dengan ditemani secangkir kopi. 

Merasa ada sesuatu yang memperhatikan, ia menoleh ke samping rumah tangganya. Ahh ... Ternyata ia tidak sendiri, ada Adrian yang juga di teras rumahnya. Nana yakin pasti pria itu melihatnya tadi, tapi saat dirinya menoleh Adri langsung membuang pandangannya.

“Malam,” sapa Nana . Hanya untuk basa-basi saja.

Adri tak menjawab, ia hanya menoleh sebentar setelah itu kembali memalingkan wajahnya.

“Sombong!” batin Nana.

Ia tidak peduli lagi, baginya bintang-bintang yang bersifat itu lebih menarik untuk dilihat dari pada mengurus sang tetangga sombongnya.

Namanya mengotak-atik ponselnya sebentar. Lagu rindu serindu rindunya mengalun indah dari ponselnya.  Dengan begini ia berasa benar-benar menghayati hidupnya, lagu Melayu itu sudah menjadi kesukaan dirinya saat mulai tinggal sendiri, menjadi temannya dikala hati sangat merindukan sang pujaan hati.

'Mengapa terjadi, perpisahan ini... Dikala asmara melebar sayapnya...

Mengapa kau pergi disaat begini... Dikala hatiku terlukis namamu...'

Lirik lagu itu bagaikan sembilu yang menyayat hatinya. Meskipun begitu ia ingin bisa untuk selalu mendengarkan nya, baginya itu seperti mewakili isi hatinya pada sang suami yang sudah pergi menjadi bintang diatas sana.

Satu tetes air mata sudah jatuh di pipinya, dengan cepat ia usap.

“Kenapa menangis? Ini malam hari,”

Nana tersentak kaget mendengar suara disamping-Nya. Ahh ... Sejak kapan Adri ada Disana? Kenapa ia tidak mendengar suara langkah kaki. Wanita itu hampir saja menumpahkan kopi yang dipegangnya saking terkejutnya.

“Kamu? Bagaimana bisa disini?” bukanya menjawab Nana malah kembali bertanya.

“Kau sibuk melihat benda di langit itu, bagaimana bisa sadar ada orang lain disebelah mu.” Nana meringis malu mendengar itu, dirinya terlalu menghayati lagunya membukus ia terlena. Bahkan Adri telah duduk manis di kursi sampingnya.

“Tidak juga. Kamu saja yang jalannya terlalu pelan.” Ingat konsep pertama, wanita itu tidak pernah mau disalahkan, begitu juga dengan Nana, ia langsung membantah Ucapan Adri.

Tak ada yang berbicara lagi, Membuat suasana itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara musik di ponsel Nana yang masih mengalun indah. Adri yang mendengar lagu Melayu itu memandang wajah Nana Dengan penuh makna. Ia sadar dari tatapan itu ada banyak makna yang dipancarkan, rindu, patah hati, kecewa, kesedihan mendominasi disana, apa terjadi sesuatu?

“Kenapa?” tanya Nana merasa risi saat ditatap.

“Apa kau sedang patah hati?” tebak Adri yang langsung mendapat gelengan canggung dari Nana.

“Kenapa berpikir seperti itu?”

“Aku liat mu menangis, dan sekarang malah mendengar lagu galau. Apalagi jika bukan patah hati,” Ucapan Adri Membuat Nana terkekeh kecil.

“Aku tidak lagi patah hati, tapi sedang kehilangan.”

“Sama saja, pada akhirnya tetap saja patah hati.”

Nana menatap pria itu dengan bingung. Kenapa dari tadi mereka berdua mengobrol begitu banyak, padahal kemarin-kemarin bertegur sapa saja sangat sulit. Tapi Nana sepertinya tidak ingin memikirkan itu semua, tak ada salahnya ia mencoba baik dengan tetangganya sendiri.

“Benar ... Pada akhirnya tetap saja hati yang sakit. Padahal dia pergi tanpa keinginannya, tapi kenapa seolah aku tidak mau mengerti, bahwa takdir nya memang tak bersamaku.”

Adri meliputi wajah murung perempuan disamping-Nya membuat ia merasa kasihan. Seolah mengerti suasana hati Nana sedang buruk, ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Diaman temanmu?”

“Maksudmu intan?” Pria itu mengangguk. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini aku merasa ia lebih sering menghilang. Aku juga tidak punya hak untuk menanyakannya ataupun melarangnya.” 

Adri mengangguk mengerti, “namamu siapa?” 

Nana terkejut mendengar pertanyaan itu. Astaga ... Ternyata sampai sekarang pria ini belum tahu namanya, padahal ia pikir sudah tahu dari ibu Mala.

“Namaku Aisyah Syafina. Kamu bisa memanggil ku dengan sebutan Nana,” ucap Nana memperkenalkan dirinya.

Tangan Nana yang terulur langsung disambut baik oleh Adri. Meskipun wajahnya masih terlibat dingin, tapi bagi Nana tetangganya ini mulai mau berinteraksi dengannya. Ada getaran yang sulit dikatakan saat dua tangan itu menjadi satu, kenapa? Kenapa ada yang bergetar hebat saat kulit itu bersentuhan? Membuat mereka dengan canggung melepaskannya.

“Adri ... Raja Adrian Nugraha.”

Nana sedikit tersipu malu melihat senyum manis yang diberikan Adri saat menyebutkan namanya sendiri. Getaran itu semakin besar, tapi dengan cepat ia tepis. Ini salah, sangat salah, tidak boleh ia merasa perasaan ini begitu cepat pada seseorang yang baru saja ia kenal.

“Jadi, apa boleh aku panggil raja saja? Aku rasa itu lebih cocok dengan mu,” Ucap Nana. Tak sadarkan wanita itu apa yang baru saja ia lakukan.

“Terserah mu saja ...,” Adri terdiam sejenak, “apa aku boleh bertanya?”

Nana merasa bingung tapi ia juga mengangguk Setuju, “tanya apa?”

Terlihat keraguan dalam hati pria itu, pada akhirnya ia hanya bisa menggeleng. “Tak jadi, maaf sudah mengganggu Waktu  bersantai mu.” Ucapnya sambil berdiri, “Selamat malam,” kembali ia lontarkan senyum manisnya pada wanita yang menatapnya bingung itu.

“Malam,”

Adri pergi meninggalkan Nana dengan sejuta pertanyaan di kepalanya. Apa-apaan pria itu? Pergi setelah membuat orang mati penasaran! Umpat Nana dalam hati. Tapi ia juga tidak bisa bertanya lagi.

Nana kembali menyeruput kopi yang sudah mulai dingin itu,l lagi. Melihat langit yang mulai berkabut pertanda hujan akan datang, bintang pun sudah menghilangkan tertutup awan, Nana melangkah kakaknya untuk kembali kedalam kamarnya agar bisa beristirahat.

“Kenapa dengan jantung ku? Ini tidak Benar, apa begini cepat kau menyukai seseorang Aisyah?”

Kali ini ia tidak bisa lagi menepis perasaan yang ada ini. Jantungnya berdetak kencang saat bersama Adri, dari awal ia sudah merasakan ini, tapi ia masih berpikir ini karena kesal dan takut pada pria itu. Tapi sekarang ... Nana tahu, ini rasa yang sama saat ia bertemu dengan Affan dulu pertama kali mereka berpacaran.

Apakah ini cinta?

Rasanya begitu cepat bagi dirinya sendiri. Bahkan waktu untuk menerima cinta baru yang datang, tapi aku tidak tahu apakah menyukai Adri di pertemuan yang singkat ini? Ini bukan sun novel, itu bisa mencintai hanya dari pandangan pertama, tapi ini Realita yang mungkin saja cintanya bertepuk sebelah tangan.

Kembali malam ini ia lalui dengan bergadang, niat untuk tidur lebih awal tak terjadi karena memikirkan kejadian yang baru saja dirinya alami.

“Aku akan mencobanya ... Aku akan memberikan kesempatan pada hatiku sendiri untuk memulai menerima cinta seseorang. Sudah saatnya aku menjalani hidup ini, aku tidak bisa hanya berdiri di satu tempat untuk menunggu takdir yang tak mungkin terjadi.” Gumam Nana dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status