"Bila kau dengarkan lagu ini, dan aku sudah jauh di sana..." — Chrisye, 1977
Malam di Sidomulyo punya nyawa sendiri. Katak di parit kecil berkoor pelan, jangkrik bernyanyi dari semak pinggir sawah. Angin membawa aroma tanah basah sisa hujan siang tadi. Tapi malam ini, ada suara baru yang bikin desa hidup: derum mesin truk tua bioskop keliling yang parkir di lapangan dekat pasar.
Lampu kuningnya menyala temaram, menerangi layar kain putih yang digantung di antara dua pohon sawo besar. Warga mulai ngumpul, bawa tikar anyaman, termos kopi, dan bakul berisi ketan atau pisang rebus. Anak-anak lari-larian dan teriak, "Film apa malam ini, Mbak?" seolah lapangan itu jadi dunia baru penuh keajaiban.
Ardi Santoso berdiri di pinggir lapangan, tangannya di saku celana kain yang udah pudar warnanya. Malam ini terasa beda. Dia nggak cuma datang buat Janur Kuning, film penuh aksi dan propaganda Orde Baru. Dia datang karena Sari Wulandari, gadis dari Solo yang jual tiket di bioskop keliling milik pamannya.
Matanya yang gelap penuh cerita, senyumnya bikin jantung lari kencang. Ardi nggak bisa lupain pertemuan mereka di pasar sebulan lalu, saat dia beli garam dan Sari nyapa dengan suara ringan.
"Loe ngapain bengong, Di?" Rendra Wijaya nyelonong dari samping. Suaranya penuh canda tapi ada nada ngejek yang susah diabaikan. Dia berdiri dengan kemeja putih rapi dan sarung dililit santai di pinggang. Motor CB 100-nya parkir gaya di dekat warung kopi Pak Haji, kilau bodinya bikin anak-anak desa ngiler.
Ardi nyengir, berusaha santai meski jantungnya udah agak ngebut. "Gak buru-buru, Rend. Film kan baru mulai jam delapan. Loe sendiri ngapain udah di sini? Biasanya kan nongkrong di Semarang dan pamer motor."
Rendra ketawa, matanya menyipit seperti sedang menimbang sesuatu. "Iseng aja, Di. Bioskop keliling gini kan jarang. Lagian, gue dengar ada penjual tiket yang cantik. Sari, ya? Cewek dari Solo itu?"
Jantung Ardi langsung lari kencang. Dia cuma angkat bahu, berusaha kelihatan cuek. "Cuma penasaran sama filmnya. Loe kenapa tiba-tiba nanya Sari? Naksir, ya?"
Rendra nyenggol lengan Ardi, senyumnya lebar tapi ada licik di situ. "Dengar-dengar dia beda, Di. Cewek kota dan pinter, nggak kayak cewek desa biasa. Loe pikir dia bakal naksir anak petani? Apa loe ngarep dia suka cangkul loe yang udah patah itu?"
Ardi ngerasa telinganya panas tapi cuma ketawa kecil. "Loe gitu aja, Rend. Pamer motor mulu. Kalo Sari suka loe, ya terserah dia. Apa urusanku?"
Tapi di dalam hati, ada nyeri kecil yang mulai menusuk. Ardi melirik ke arah truk bioskop. Sari berdiri di dekat meja kayu kecil, sibuk jual tiket ke warga yang antri. Kebaya hijaunya sederhana, rambutnya diikat ekor kuda yang agak berantakan. Tapi di bawah cahaya lampu minyak, dia kelihatan seperti bintang yang nyasar di tengah sawah.
Sari menoleh, ngeliat Ardi dari jauh, lalu ngasih senyum kecil sambil nyodorin tiket ke Mbok Siti yang lagi ngomel soal harga.
"Mbak Sari, ini tiket kok naik seratus rupiah dari bulan lalu!" keluh Mbok Siti, tangannya megang keranjang bambu penuh sayuran.
Sari ketawa, suaranya ringan seperti angin malam. "Mbok, ini kan film baru, Janur Kuning! Seratus rupiah murah buat cerita sejarah. Nanti Mbok bisa cerita ke tetangga dan bilang udah nonton film tentang perang kemerdekaan!"
Mbok Siti menggerutu, tapi akhirnya ngeluarin dompet dari kain batiknya. Ardi senyum ngeliat kelakuan Sari. Pinter banget dia ngatasin orang dan nggak cuma cantik.
Ardi melangkah mendekat, berusaha kelihatan santai meski jantungnya deg-degan seperti ketabrak kerbau. Rendra ngikutin di belakang, langkahnya lebih pede seperti dia yang punya seluruh lapangan ini.
"Mbak Sari, tiket dua," kata Ardi, nyodorin beberapa lembar uang kertas kusut dari saku. Dia menunduk, takut ketahuan naksir kalau menatap mata Sari terlalu lama.
Sari ngambil uangnya, jarinya nyenggol tangan Ardi sekilas, bikin dia niger seperti kena listrik kecil. "Ardi, ya? Yang selalu menang cerdas cermat di sekolah?" tanyanya, senyumnya lebar, matanya berbinar di bawah lampu temaram. "Datang buat film apa buat bantu aku jual tiket?"
Ardi ketawa, wajahnya memerah. "Film, Mbak. Tapi kalo perlu bantuan, bilang aja. Saya bisa bantu angkat tiket atau proyektor sekalian."
Sari terkekeh, menggeleng pelan. "Pemberani juga kamu. Tapi proyektor itu urusan Paman, nanti dia marah kalau ada yang nyentuh."
Rendra nyelonong, nyodorin uang dengan gaya yang bikin beberapa warga di antrian menoleh. "Tiket dua juga, Mbak Sari. Buat gue sama temen. Eh, kalo ke Semarang, mampir, ya. Gue tahu tempat nonton yang lebih bagus dari truk tua ini. Bioskop beneran dan ada kursi empuk!"
Sari cuma nyengir, nggak terlalu ngerespons pameran Rendra. "Semarang jauh, Mas Rendra. Lagian, truk ini punya cerita sendiri. Pernah dengar bioskop keliling bikin orang jatuh cinta?" Dia ngomong sambil nulis di buku tiket, matanya sempat melirik Ardi.
Dia cuma bercanda, kan? Atau beneran ngeliat aku? pikir Ardi, ngerasa ada kupu-kupu di perutnya.
Sebelum dia bisa jawab, Rendra ketawa keras, suaranya menggema. "Jatuh cinta? Kayak di film-film? Kalo gitu, gue pesen tiket buat tiap malam, Mbak!"
Sari geleng-geleng kepala, senyumnya nggak ilang. Dia nyodorin tiket ke Ardi, jarinya sengaja ngasih kertas itu pelan-pelan. "Jangan lupa datang ke festival popokan minggu depan, Ardi. Aku dengar loe jago lempar lumpur. Bener, kan?"
Ardi nyengir lebar, lupa sejenak sama Rendra. "Pasti, Mbak. Asal loe nggak kabur pas aku menang. Siap jadi penutup mata kalau lumpurnya kelewatan?"
Sari terkekeh, matanya berbinar. "Awas aja kalau lumpurnya kena aku!"
Mereka ketawa bareng, udara malam terasa lebih hangat. Tapi Rendra di samping cuma diam, tangannya ngepal pelan. Gue nggak bakal kalah sama anak petani kayak loe, Di, pikirnya.
Suara proyektor mulai berderum, tanda film mau dimulai. Di pinggir lapangan, Pak Wulan, paman Sari, sibuk ngatur proyektor yang rewel. "Sari, cepat bantu sini! Mesinnya macet lagi!" teriaknya, suaranya parau karena asap rokok.
Sari melambaikan tangan ke Ardi, lalu berlari ke pamannya. Kebaya hijaunya berkibar pelan. Ardi ngerasa hatinya penuh, seperti sawah yang baru disiram hujan. Tapi dia tahu Rendra nggak bakal diam. Dia pasti bakal coba ngerebut perhatian Sari, kayak dia ngerebut semua di desa ini.
Film Janur Kuning mulai diputar, gambar perang muncul di layar. Tapi pikiran Ardi cuma ke Sari yang berdiri di samping truk, ngatur lampu dengan tangan lincah. Di kejauhan, bayangan warga yang nonton bercampur asap warung kopi, bikin malam Sidomulyo terasa hidup.
“Perjuangan itu seperti sawah kering, butuh hujan untuk tumbuh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Pagi di Sidomulyo ramai, warga berkumpul di lapangan desa di bawah sinar matahari yang terik. Sari Wulandari berdiri di tengah, batik birunya rapi meski matanya merah karena menangis semalaman. Aku harus selamatin Ardi dan bioskop, pikirnya, tangannya mencengkeram mikrofon tua berkarat. Warga berbisik, beberapa ragu, tapi mata mereka penuh harap.Rendra Wijaya berdiri di samping Sari, luka di lengannya dibalut kain lusuh, darah merembes pelan. “Mbak Sari, loe yakin ngadepin Pak Darmo?” tanyanya pelan, matanya cemas. Gue dukung loe, tapi ini bahaya, pikirnya. Sari mengangguk, suaranya tegas. “Mas Rendra, ini demi Sidomulyo,” katanya. Aku gak akan nyerah, pikirnya.Sari mengangkat mikrofon, suaranya menggema di lapangan. “Warga Sidomulyo, Ardi gak bersalah! Pak Darmo jebak dia!” ter
“Kesetiaan itu seperti pohon di sawah, akarnya kuat meski badai datang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Tengah malam di Sidomulyo, penjara desa yang dingin dan lembap menelan Ardi Santoso. Borgol di tangannya menggigit kulit, lantai semen kasar menggores lutut. Cahaya lampu minyak tanah redup dari luar jeruji, bayang polisi bergerak pelan. Ayah, gue gak akan nyerah, pikirnya, matanya menatap dinding penuh lumut.Sari Wulandari berdiri di pematang sawah, batik birunya compang-camping, angin malam membekukan tulang. Ardi, loe gak boleh nyerah, pikirnya, air mata membasahi pipi. Dia menatap penjara dari kejauhan, tangannya mencengkeram ilalang. Ibu, aku harus selamatin bapak, pikirnya.Rendra Wijaya bersandar di pohon sawo dekat rumah Pak Lurah, luka di lengannya dibalut kain lusuh. Di, gue bikin loe masuk penjara, pikirnya, rasa bersalah menggerogoti. Dia mengepal tangan, wajahnya pucat di bawah bulan p
“Kebenaran itu seperti padi di sawah, tumbuh pelan tapi tak bisa ditekan.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo terasa mencekam, angin dingin menerpa rumah Pak Lurah. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di loteng, napas mereka tersengal. Kotak besi bukti korupsi Pak Darmo tergeletak di samping Ardi, kertas tua di dalamnya penuh rahasia. Ini nyawa kita sekarang, pikirnya, jantungannya kencang.Sari duduk di sudut loteng, batik birunya basah lumpur, matanya penuh ketakutan. Ibu, mimpimu hancur, aku gagal, pikirnya, tangannya gemetar. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue selamatin loe sama bukti ini, pikirnya, tangannya mencengkeram kotak besi.Rendra bersandar di dinding kayu, lengan masih berdarah dari luka golok. “Di, Mbak Sari, kita harus bawa bukti ini ke pasar besok,” katanya pelan, suaranya serak. Bapak gue mungkin dalang, tapi gue pilih kebena
“Cinta itu seperti air di sawah, jernih tapi mudah keruh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo gelap, angin dingin menyapu sawah luas. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di gudang tua dekat pematang. Bau jerami basah menyengat, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di tangan Ardi. Kita hampir ketahuan tadi, pikirnya, jantungannya masih kencang.Sari duduk di sudut, batik birunya lusuh, wajahnya pucat setelah bioskop keliling hancur. Ibu, mimpimu hilang di tanganku, pikirnya, matanya berkaca. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue gak akan biarin loe sendiri, pikirnya.Rendra bersandar di dinding kayu, jaket jeansnya robek, darah kering di pelipis. “Di, Mbak Sari, kita harus ke Pak Lurah malam ini,” katanya pelan. Bapak gue mungkin di belakang ini, tapi gue pilih kalian, pikirnya. Ardi mengangguk, tapi matanya ke Sari. Ren, loe berani, tapi Mb
“Kenangan itu seperti layar bioskop, redup tapi tak pernah hilang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Sidomulyo hening, hanya suara jangkrik dan angin menerpa sawah. Bioskop keliling Sari Wulandari berdiri di ujung desa, layar putih compang-camping berkibar pelan. Sari berdiri di depan proyektor, wajahnya pucat tapi tegas. Ini pemutaran terakhirku, pikirnya, hatinya perih.Ardi Santoso duduk di barisan depan, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di pangkuannya. Mbak Sari, loe gak boleh nyerah, pikirnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia melirik penonton, warga desa yang datang meski tahu ancaman Pak Darmo. Mereka percaya sama Mbak Sari, pikirnya.Rendra Wijaya tiba, jaket jeansnya berdebu dari Semarang. “Di, Mbak Sari, gue datang,” katanya pelan, duduk di samping Ardi. Gue taruhan semuanya buat kalian, pikirnya, ingat demo dan borgol polisi. Ardi menatapnya, lega. Ren, loe beneran bal
“Perubahan itu seperti angin di sawah, tak terlihat tapi mengguncang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Semarang ramai, suara demo mahasiswa menggema di jalanan. Bau asap dan teriakan penuh semangat memenuhi udara. Rendra Wijaya berdiri di trotoar, jaket jeansnya berdebu, matanya menatap spanduk bertuliskan “Lawan Korupsi”. Gue gak bisa diam lagi, pikirnya, hatinya bergolak.Rendra ingat dokumen yang ditemukan Ardi di sawah. Bapak gue terlibat, tapi gue gak bisa tutup mata, pikirnya, amarahnya membuncah. Dia mengepal tangan, melihat mahasiswa menentang pejabat. Di, loe bener, kita harus lawan Pak Darmo, pikirnya.Di Sidomulyo, Ardi Santoso bersembunyi di gudang bioskop, kotak besi di tangannya. Ren, loe di mana? pikirnya, cemas. Sari Wulandari duduk di sampingnya, batik birunya lusuh. “Ardi, Mas Rendra bakal bantu kita, kan?” tanyanya sopan, suaranya penuh harap.Ardi mengangguk, tapi ragu. “Mbak Sari, Ren