“Lumpur sawah ini bukan musuh, tapi teman yang bikin kita kuat.” — Peribahasa Jawa, lereng Merbabu
Siang itu, Sidomulyo penuh tawa dan lumpur. Festival Popokan, tradisi tolak bala khas desa-desa sekitar Magelang, berlangsung meriah di petak sawah dekat balai desa. Hamparan padi muda yang biasanya tenang kini jadi arena perang lumpur. Anak-anak muda desa ngumpul dan lempar-lemparan gumpalan tanah basah sambil teriak atau ketawa kencang. Gamelan dari panggung bambu kecil di pinggir sawah main lagu-lagu Jawa dan bikin suasana hidup. Warga bawa tumpeng atau ketan kuning dan duduk di tikar anyaman sambil nyanyi bareng atau cerita soal panen. Bau tanah basah bercampur aroma ketan kukus dan asap kayu dari dapur-dapur terdekat.
Ardi Santoso berdiri di tengah sawah dan bajunya udah basah kuyup penuh lumpur. Ini yang bikin hidup terasa bebas, pikirnya sambil nyeka muka yang penuh tanah. Dia jago di festival ini dan tangannya lincah bikin bola lumpur yang nempel kuat. Tapi hari ini, matanya sering nyuri pandang ke pinggir sawah. Dia nyari Sari Wulandari dan berharap dia beneran datang seperti janji di bioskop keliling minggu lalu saat mereka ngobrol di bawah lampu minyak temaram.
“Loe ngapain bengong, Di?” Rendra Wijaya muncul dari samping dan tangannya megang gumpalan lumpur besar. Dia nyengir lebar tapi matanya penuh waspada seperti elang ngintip mangsa. “Jangan bilang loe nyari cewek kota itu. Sari, kan?”
Ardi ketawa dan berusaha santai meski jantungnya mulai ngebut. “Loe aja yang parno, Rend. Ini festival, bukan tempat pacaran. Eh, loe gak takut motor loe kena lumpur di sini?”
Rendra ngejek dan lempar lumpur ke arah Ardi tapi meleset dan ngena padi di samping. “Motor gue aman di rumah. Tapi loe, Di, kayaknya lebih takut kalo Sari lebih suka ngobrol sama gue ketimbang loe yang penuh lumpur.”
Ardi ngerasa panas di dada tapi cuma nyengir dan balas lempar lumpur yang ngena pundak Rendra. “Loe banyak omong, Rend! Main aja, kalo menang gue traktir teh di warung Pak Haji!”
Mereka ketawa dan lari-larian di sawah sambil lempar-lemparan seperti waktu kecil dulu main di tanah berdebu. Tapi di tengah keramaian, Ardi ngeliat Sari di pinggir sawah dan berdiri bareng Mbok Siti yang lagi nyanyi lagu Jawa dengan suara serak tapi penuh semangat. Kebaya biru Sari sederhana dan rambutnya diikat longgar. Dia ketawa ngeliat anak-anak desa kejar-kejaran dan matanya kayak bikin dunia lebih terang. Ardi berhenti lari dan lupa sama lumpur di tangannya.
“Sari beneran datang,” gumam Ardi pelan dan jantungnya ngebut seperti mesin truk bioskop tua.
Rendra ngeliat arah pandang Ardi dan ngepal tangan pelan. Loe gak bakal menang, Di, pikirnya sambil menatap tajam. Dia melangkah ke arah Sari dan sengaja nyanyi keras biar diperhatikan. “Mbak Sari! Loe gak ikut lempar lumpur? Atau takut kebaya loe kotor?”
Sari menoleh dan ketawa ringan seperti angin yang nyanyi. “Mas Rendra, aku cuma penonton. Kalo kebaya ini kotor, Paman marah. Tapi aku dengar kamu jago lempar, bener gak?”
Rendra pamer senyum dan ngerasa menang. “Jago dong! Nanti kalo gue menang, Mbak Sari harus ikut nyanyi bareng di panggung!”
Ardi ngerasa dadanya sesak tapi nyelonong mendekat dan gak mau kalah. “Mbak Sari, jangan percaya dia. Rendra cuma pinter nyanyi, lempar lumpurnya payah. Aku yang bakal menang buat loe!”
Sari terkekeh dan matanya berbinar ke arah Ardi. “Wah, pemberani juga kamu, Ardi. Kalo menang, aku traktir ketan kuning. Tapi kalo kalah, kamu nyanyi di panggung bareng Mbok Siti!”
Ardi nyengir lebar dan ngerasa dunia cuma milik mereka berdua. “Deal, Mbak! Tapi awas, kalo lumpurnya nyasar ke loe, jangan marah!”
Mereka ketawa dan udara terasa hangat meski lumpur bertebaran. Warga lain ikut nimbrung dan teriak dukungan buat Ardi atau Rendra. Anak-anak kecil lari mendekat dan bawa ember kecil berisi lumpur sambil cekikikan. Tapi tiba-tiba, keramaian reda saat sosok besar muncul di pinggir sawah. Pak Darmo, preman pasar yang ditakuti, berdiri bareng dua anak buahnya. Topi capingnya miring dan matanya menyipit menatap warga seperti harimau ngintai. Dia ngomong keras ke Pak Karto, ketua panitia yang lagi ngatur tumpeng.
“Pak Karto, festival ini rame, ya? Tapi loe lupa bayar ‘pajak’ keamanan ke gue. Kalo gak, nanti sawah ini gak cuma kena lumpur tapi masalah lain.”
Warga berbisik dan suasana jadi tegang seperti udara sebelum petir. Pak Karto cuma menunduk dan gak berani jawab, tangannya gemetar megang piring tumpeng. Ardi ngerasa darahnya naik dan ingin ngomong sesuatu tapi dia tahu Pak Darmo bukan orang sembarangan. Dari cerita Pak Santoso, preman ini suka minta upeti dari pedagang pasar atau petani dan gak segan main kasar kalo ditentang.
Sari, di samping Mbok Siti, menatap Pak Darmo dengan muka serius. Dia gak takut, tapi kenapa matanya kayak menyimpan rahasia? pikir Ardi sambil nyuri pandang. Sari pegang lengan Mbok Siti pelan seperti menahan sesuatu. Mbok Siti cuma menggeleng pelan dan berbisik ke Sari, tapi Ardi gak dengar apa.
Rendra nyenggol Ardi dan berbisik. “Loe lihat, Di? Itu preman pasar yang ngatur desa ini. Kalo loe deket sama Sari, awas aja, Pak Darmo gak suka orang asing macem-macem.”
Ardi cuma diam tapi tangannya ngepal keras. Kenapa Sari kayak tahu sesuatu tentang Pak Darmo? Dia teringat obrolan di warung Pak Haji soal Pak Darmo yang pernah usir pedagang dari Solo karena gak bayar upeti. Apa Sari punya masalah sama dia? Festival berlanjut dan gamelan main lagi. Warga coba ketawa dan lempar lumpur seperti biasa. Tapi di hati Ardi, ada bayangan gelap yang mulai muncul. Dia ngeliat Sari balik ngobrol sama Mbok Siti dan ketawa kecil sambil nyanyi pelan. Tapi matanya sesekali melirik ke Pak Darmo yang masih berdiri di pinggir sawah dan ngobrol sama anak buahnya dengan suara rendah.
“Kebenaran itu seperti air di sawah, mengalir pelan tapi tak terbendung.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Siang di Sidomulyo terasa membakar, matahari menyengat lapangan desa. Sari Wulandari berdiri di depan warga, batik birunya berkibar di angin panas, keringat menetes di dahinya. Ardi masih di penjara, aku harus ungkap semua, pikirnya, tangannya mencengkeram kertas salinan bukti. Warga menatapnya, penuh harap meski wajah mereka cemas.Rendra Wijaya di sampingnya, luka di lengannya masih perih, kain balutannya kotor oleh debu jalan. “Mbak Sari, kita ke rumah Pak Darmo sekarang,” katanya pelan, matanya waspada ke gang-gang desa. Gue takut, tapi Di perlu kita, pikirnya. Sari mengangguk, jantungannya kencang. Ibu, aku lakuin ini buat Sidomulyo, pikirnya.Di penjara desa, Ardi Santoso duduk di lantai semen, borgol menggigit pergelangannya, memar di wajahnya membengkak. Cahaya lampu minyak tanah redup d
“Perjuangan itu seperti sawah kering, butuh hujan untuk tumbuh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Pagi di Sidomulyo ramai, warga berkumpul di lapangan desa di bawah sinar matahari yang terik. Sari Wulandari berdiri di tengah, batik birunya rapi meski matanya merah karena menangis semalaman. Aku harus selamatin Ardi dan bioskop, pikirnya, tangannya mencengkeram mikrofon tua berkarat. Warga berbisik, beberapa ragu, tapi mata mereka penuh harap.Rendra Wijaya berdiri di samping Sari, luka di lengannya dibalut kain lusuh, darah merembes pelan. “Mbak Sari, loe yakin ngadepin Pak Darmo?” tanyanya pelan, matanya cemas. Gue dukung loe, tapi ini bahaya, pikirnya. Sari mengangguk, suaranya tegas. “Mas Rendra, ini demi Sidomulyo,” katanya. Aku gak akan nyerah, pikirnya.Sari mengangkat mikrofon, suaranya menggema di lapangan. “Warga Sidomulyo, Ardi gak bersalah! Pak Darmo jebak dia!” ter
“Kesetiaan itu seperti pohon di sawah, akarnya kuat meski badai datang.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Tengah malam di Sidomulyo, penjara desa yang dingin dan lembap menelan Ardi Santoso. Borgol di tangannya menggigit kulit, lantai semen kasar menggores lutut. Cahaya lampu minyak tanah redup dari luar jeruji, bayang polisi bergerak pelan. Ayah, gue gak akan nyerah, pikirnya, matanya menatap dinding penuh lumut.Sari Wulandari berdiri di pematang sawah, batik birunya compang-camping, angin malam membekukan tulang. Ardi, loe gak boleh nyerah, pikirnya, air mata membasahi pipi. Dia menatap penjara dari kejauhan, tangannya mencengkeram ilalang. Ibu, aku harus selamatin bapak, pikirnya.Rendra Wijaya bersandar di pohon sawo dekat rumah Pak Lurah, luka di lengannya dibalut kain lusuh. Di, gue bikin loe masuk penjara, pikirnya, rasa bersalah menggerogoti. Dia mengepal tangan, wajahnya pucat di bawah bulan p
“Kebenaran itu seperti padi di sawah, tumbuh pelan tapi tak bisa ditekan.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo terasa mencekam, angin dingin menerpa rumah Pak Lurah. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di loteng, napas mereka tersengal. Kotak besi bukti korupsi Pak Darmo tergeletak di samping Ardi, kertas tua di dalamnya penuh rahasia. Ini nyawa kita sekarang, pikirnya, jantungannya kencang.Sari duduk di sudut loteng, batik birunya basah lumpur, matanya penuh ketakutan. Ibu, mimpimu hancur, aku gagal, pikirnya, tangannya gemetar. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue selamatin loe sama bukti ini, pikirnya, tangannya mencengkeram kotak besi.Rendra bersandar di dinding kayu, lengan masih berdarah dari luka golok. “Di, Mbak Sari, kita harus bawa bukti ini ke pasar besok,” katanya pelan, suaranya serak. Bapak gue mungkin dalang, tapi gue pilih kebena
“Cinta itu seperti air di sawah, jernih tapi mudah keruh.” — Peribahasa Jawa, Sidomulyo.Malam di Sidomulyo gelap, angin dingin menyapu sawah luas. Ardi Santoso, Sari Wulandari, dan Rendra Wijaya bersembunyi di gudang tua dekat pematang. Bau jerami basah menyengat, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di tangan Ardi. Kita hampir ketahuan tadi, pikirnya, jantungannya masih kencang.Sari duduk di sudut, batik birunya lusuh, wajahnya pucat setelah bioskop keliling hancur. Ibu, mimpimu hilang di tanganku, pikirnya, matanya berkaca. Ardi meliriknya, hatinya perih. Mbak Sari, gue gak akan biarin loe sendiri, pikirnya.Rendra bersandar di dinding kayu, jaket jeansnya robek, darah kering di pelipis. “Di, Mbak Sari, kita harus ke Pak Lurah malam ini,” katanya pelan. Bapak gue mungkin di belakang ini, tapi gue pilih kalian, pikirnya. Ardi mengangguk, tapi matanya ke Sari. Ren, loe berani, tapi Mb
“Kenangan itu seperti layar bioskop, redup tapi tak pernah hilang.” — Peribahasa Jawa, SidomulyoMalam di Sidomulyo hening, hanya suara jangkrik dan angin menerpa sawah. Bioskop keliling Sari Wulandari berdiri di ujung desa, layar putih compang-camping berkibar pelan. Sari berdiri di depan proyektor, wajahnya pucat tapi tegas. Ini pemutaran terakhirku, pikirnya, hatinya perih.Ardi Santoso duduk di barisan depan, kotak besi bukti korupsi Pak Darmo di pangkuannya. Mbak Sari, loe gak boleh nyerah, pikirnya, matanya penuh kekhawatiran. Dia melirik penonton, warga desa yang datang meski tahu ancaman Pak Darmo. Mereka percaya sama Mbak Sari, pikirnya.Rendra Wijaya tiba, jaket jeansnya berdebu dari Semarang. “Di, Mbak Sari, gue datang,” katanya pelan, duduk di samping Ardi. Gue taruhan semuanya buat kalian, pikirnya, ingat demo dan borgol polisi. Ardi menatapnya, lega. Ren, loe beneran bal