Home / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / Perbatasan Damar, Senja yang Tertahan

Share

Perbatasan Damar, Senja yang Tertahan

Author: Wahyu H
last update Last Updated: 2025-04-22 16:17:10

Senja mulai mengusap langit dengan warna tembaga. Iring-iringan kerajaan berhenti di sebuah tanah datar di pinggir hutan damar, dikelilingi semak dan pohon randu tua. Tempat itu memang sudah dipilih sebelumnya oleh Ki Jayasena—lokasi aman yang biasa digunakan pasukan Galuh saat perjalanan panjang.

Tenda utama untuk sang putri mulai didirikan di sisi timur, sementara tenda pengawal perempuan—dipimpin Nyi Kirana—dibangun tak jauh dari sana, menghadap jalur sungai kecil. Di sisi lain, para prajurit membentuk barisan melingkar, menyusun bivak sederhana dari daun pisang dan tikar gulung.

Raka kembali ke barisan pasukan, kudanya berderap pelan, wajahnya tertutup raut pikir yang belum selesai. Begitu ia turun, Ki Jayasena langsung menghampiri.

“Kau telat sepuluh menit dari batas waktu. Ada apa di dalam sana?” suara Ki Jayasena tegas tapi tenang, khas seorang panglima tua yang telah kenyang bertempur.

Raka menjawab sambil menyerahkan ikat kepala merah tanah yang sobek.

“Jejak kaki tak beralas, lurus menuju arah kita. Tak ada jejak keluar. Lalu ini—aku temukan di balik akar damar. Masih lembap, baru beberapa jam.”

Ki Jayasena memeriksa kain itu. Alisnya menyempit.

“Bukan kain kerajaan. Ini… dari daerah utara. Di luar batas Galuh.”

Raka mengangguk. “Aku khawatir... ada yang tahu rute kita. Tapi tak berani mendekat. Hanya mengintai.”

Ki Jayasena mendekat, menurunkan suaranya. “Jaga ini antara kita. Jangan buat pasukan panik. Apalagi... kereta utama.”

Raka melirik ke arah tenda putih yang perlahan berdiri sempurna—tenda sang putri. Ia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan.

Langit malam menggelap sempurna. Bintang-bintang yang biasanya berserakan kini tertutup awan tipis. Suara jangkrik bersahutan dari semak yang lembap, beradu dengan gelegak api unggun yang ditiup angin hutan.

Tenda-tenda telah berdiri rapi. Para prajurit bergiliran berjaga, sementara sebagian besar pasukan sudah beristirahat. Di dalam tenda utama, Dyah Pitaloka belum terlelap. Ia duduk di sisi pembaringan, rambutnya dibiarkan tergerai, matanya menatap langit-langit tenda.

“Apa kau tak mengantuk, Ratu?” tanya Nyi Kirana pelan.

“Tidak tahu... Rasanya aneh tidur di tengah hutan begini. Suaranya terlalu banyak.”

Nyi Kirana tersenyum tipis, lalu menyesap air hangat dari kendi kecil. Belum sempat ia menjawab, jeritan pendek terdengar dari arah belakang tenda logistik.

WRAAARGHHH!!!

Prajurit yang berjaga di sisi utara langsung meniup terompet kecil tanda siaga. Suara-suara bangkit terdengar dari semua arah. Di tengah kekacauan itu, seekor macan kumbang besar—hitam legam, dengan mata kuning menyala—melompat keluar dari semak dan mencakar tempat logistik yang terbuat dari kayu ringan.

Raka, yang baru saja duduk untuk makan, langsung melompat ke arah suara, tombaknya sudah di tangan.

“SEMUA MUNDUR! TINGGALKAN AREA LOGISTIK!”

Macan itu mendesis rendah, memperlihatkan taring dan kuku besarnya. Seekor hewan dewasa, kemungkinan tersesat... atau kelaparan.

Raka tidak menunggu. Ia berlari mendekat dengan kecepatan nyaris tak terlihat di kegelapan. Begitu macan itu berbalik ke arahnya, ia melompat dan memutar tombaknya, menancapkannya ke tanah sambil memutar bagian gagangnya ke arah leher si macan.

Binatang buas itu meraung keras, menggeliat, lalu melompat menjauh. Tapi Raka tak memberinya waktu. Ia tarik pisau kecil dari pinggang dan melempar tepat ke arah kaki belakang si macan.

Jeritannya terakhir membuat beberapa burung hutan beterbangan. Setelah beberapa detik, suara alam kembali tenang.

Raka berdiri di tengah kegelapan, keringat menetes di wajahnya. Ia menatap tubuh macan yang akhirnya roboh—tidak mati, hanya pingsan karena luka dan lelah.

Dyah Pitaloka menyibak tirai tenda. Dari celah kecil, ia menyaksikan semua itu dalam diam. Matanya menatap punggung Raka yang menjauh sambil memerintahkan prajurit untuk mengevakuasi barang-barang yang berserakan.

Tak ada kata. Hanya pandangan. Tapi itu cukup untuk membekas.

Pagi menjelang, didalam hutan damar. Kabut masih menggantung rendah, menutupi akar-akar besar dan ilalang yang memagari jalan setapak. Beberapa prajurit sibuk membersihkan bekas kegaduhan semalam. Macan kumbang yang menyerang perkemahan kini terbujur diam, ditutupi daun lebar sebagai bentuk penghormatan sebelum dikuburkan.

Raka berdiri di sisi barat kemah, diam-diam mengamati sekeliling. Bajunya masih ternoda darah dan lumpur, tetapi matanya tetap tajam—waspada.

Seorang prajurit muda menghampiri, membungkuk sedikit.

“Raka, hutan di sebelah selatan sudah kami periksa. Tidak ada tanda-tanda binatang lain.”

“Baik. Bagi penjagaan menjadi dua barisan. Jangan biarkan siapa pun tertidur,” jawab Raka tanpa menoleh.

Di balik tenda utama, Dyah Pitaloka mengintip ke luar. Pandangannya terpaku pada sosok lelaki yang malam tadi muncul dari kegelapan, berdiri di hadapan bahaya tanpa gentar. Nyi Kirana, yang sedang merapikan ikatan rambut sang putri, ikut mengintip.

“Sepertinya Putri tidak tidur semalaman,” gumamnya.

“Bukan aku saja yang terjaga,” jawab Dyah pelan, lalu kembali memandangi Raka dari celah tirai tenda.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang Takdir

    Langit Galuh pagi itu berpindah dari kelabu menjadi semburat keemasan. Matahari berjuang menembus kabut duka yang menyelimuti Istana Kawali.Di alun-alun dalam, bendera hijau tua berkibar pelan. Sulaman emas berbentuk matahari menghiasi kain, simbol kejayaan kerajaan. Namun, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti senar kecapi yang nyaris putus.Di ruang takhta, Prabu Linggabuana duduk di singgasana kayu jati. Ukiran rumit menghiasi kayu, dan mahkotanya berkilau di bawah sinar obor.Matanya, biasanya penuh wibawa, kini membawa bayang kelelahan. Beban kerajaan seolah menggerogoti semangatnya.Mahapatih Surawisesa berdiri di sisinya, memegang gulungan bambu. Laporan dari Sindangkasih tertera di dalamnya. Patih Gajah Langu menjaga posisi, tangan di gagang pedang. Wajahnya keras seperti karang.Dyah Pitaloka duduk di kursi kecil dekat ayahnya. Gaun biru lautnya disulam bunga kenanga. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh badai yang hanya Raka kenali.Raka berdiri di sudut ruangan, di a

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang yang Merangkak

    Langit Galuh pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah alam merasakan ketegangan yang kian mencekik istana. Angin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang gugur, seakan berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kerajaan. Di dalam ruang perang, Patih Gajah Langu berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja batu, menunjukkan garis-garis perbatasan Galuh dan kerajaan timur Majapahit, musuh lama yang kini dicurigai sebagai dalang serangan di Mandalawangi.Raka berdiri di sisi ruangan, di antara para prajurit senior yang jauh lebih berpengalaman. Jubah sederhananya kontras dengan zirah mengkilap yang dikenakan yang lain, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tak kalah kuat. Ia mendengarkan dengan saksama saat Patih Gajah Langu menjelaskan temuan terbaru: sebuah laporan dari mata-mata yang menyebutkan adanya pergerakan pasukan kecil di perbatasan timur, dekat hutan Sindangkasih.“Ini bukan serangan terbuka,” kata Patih Gajah Langu, suaranya berat. “Mereka ber

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Istana

    Langit Galuh mulai memerah saat matahari terbenam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di taman rahasia, Dyah Pitaloka dan Raka masih duduk di tepi kolam, tenggelam dalam keheningan yang nyaris suci. Angin malam membelai lembut, membawa aroma melati dan kenanga, seolah alam sendiri ingin memperlambat waktu untuk mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getar ketegangan yang tak terucapkan seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.Dyah memandang bayangan wajahnya di permukaan kolam, lalu menoleh ke arah Raka. “Kau tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tersapu angin, “di seluruh istana ini, hanya di sini aku merasa… bebas. Hanya bersamamu.”Raka tersentak. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti pukulan lembut yang mengguncang dadanya. Ia menunduk, tak yakin bagaimana menjawab. “Gusti, aku hanyalah seorang prajurit. Kebebasan yang kau rasakan… mungkin hanya ilusi sementara.”Dyah menggeleng, matanya menyala dengan tekad yang jarang ia tunj

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Kemenangan

    Langit Galuh pagi itu terasa lebih terang, seolah alam turut merayakan kembalinya Tim Elit Khusus dari misi berbahaya mereka. Burung-burung kecil berkicau riang di dahan-dahan pohon kelapa, dan embun pagi berkilau seperti permata di ujung daun. Namun, di balik kemegahan Istana Kawali, suasana tak sepenuhnya damai. Kemenangan atas perampok di hutan Mandalawangi membawa kelegaan, tetapi juga meninggalkan pertanyaan yang menggantung: siapa dalang di balik serangan itu? Dan apakah ancaman benar-benar telah berakhir?ruang takhta utama, Prabu Linggabuana duduk dengan wajah tegang. Jubah kebesarannya yang hijau tua tampak lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban kekhawatiran yang tak terucap. Di hadapannya, Patih Gajah Langu berdiri tegak, melaporkan hasil misi dengan suara yang tegas namun hati-hati.“Paduka, kami berhasil menghancurkan sarang perampok di lereng Mandalawangi. Pemimpin mereka telah tewas, dan sebagian besaranak buahnya telah ditangkap atau melarikan diri.Namun…”

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan deras, tapi terasa cepat. Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu. "Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat. Raka ragu. "Ke mana, Gusti?" Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu." Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga. Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil. Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah. Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri. "Tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status