Beranda / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / Perjalanan ke Mandalawangi II

Share

Perjalanan ke Mandalawangi II

Penulis: Wahyu H
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-22 16:14:26

Langit pagi di atas Galuh masih berwarna kelabu kehijauan, diselimuti kabut tipis yang menggantung malas di antara pepohonan aren dan beringin tua. Angin fajar meniup lembut, menggoyangkan panji-panji kerajaan yang berkibar tinggi di gerbang utama. Di bawahnya, deretan pasukan berkuda dan pejalan kaki berdiri tegap, membentuk formasi perlindungan sempurna di sekitar kereta utama kerajaan.

Iring-iringan pun mulai bergerak.

Roda-roda kereta utama berukirkan lambang bunga teratai emas itu mulai berderak, melewati jalanan batu berlumut yang membelah halaman istana. Bunyi lonceng kecil dari kereta pengiring berdenting pelan, bersatu dengan suara derap kaki kuda dan langkah para prajurit Galuh.

Di Dalam Kereta:

Di balik tirai tipis berwarna gading, Dyah Pitaloka duduk bersandar pada sandaran bersulam sutra. Pandangannya mengarah keluar, ke sela-sela tirai, menatap sinar mentari pagi yang mulai mencairkan kabut. Ia tak banyak bicara pagi ini. Dalam diamnya, ia merenungi apa yang dikatakan sang Prabu malam sebelumnya.

Di seberangnya, Nyi Kirana menyiapkan teh bunga kenanga dalam cawan perak kecil. Di sisi lain, Dayang Sari mengecek kembali wadah-wadah kecil berisi minyak kayu putih dan ramuan untuk perjalanan jauh.

“Apa Putri ingin beristirahat dulu sebelum kita menuruni lembah hutan Damar?” tanya Nyi Kirana lembut.

Dyah Pitaloka menggeleng pelan. “Tidak, aku ingin melihat perjalanan. Ini kali pertama aku keluar sejauh ini tanpa iring-iringan pesta. Rasanya... tenang.”

Di Luar Kereta:

Formasi pengawal terbagi menjadi tiga lapis. Di depan, pasukan penjejak jalan dipimpin oleh Ki Tumenggung Jayasena sendiri. Di baris kiri pengawal luar, Raka menunggangi kuda coklat kelabu miliknya. Ia fokus, tak menyadari bahwa kereta utama yang dikawal itu memuat sang putri yang kemarin sempat ia temui di taman belakang istana.

“Waspada! Kita akan memasuki hutan Damar sebentar lagi!” suara Ki Jayasena bergema lantang.

Raka melirik kanan-kiri. Di sisi barat, terlihat lembah terbuka dengan kabut yang belum sepenuhnya terangkat. Di sisi timur, hutan damar menjulang lebat, menjanjikan kesejukan... dan mungkin juga bahaya. Jalur ini dikenal sebagai tempat yang rawan, bukan karena musuh, tapi karena alamnya liar dan kadang tak bisa diprediksi.

Semakin jauh dari pusat Galuh, medan yang dilalui makin berubah. Tanah datar yang tadi dilapisi batu-batu mulus, kini berganti menjadi jalur sempit berlumpur, diapit pohon damar setinggi belasan depa. Cahaya matahari tersekat dahan-dahan tinggi, membuat jalur itu seperti lorong bayangan yang menggeliat di bawah langit yang tertutup dedaunan.

Udara berubah. Tidak lagi segar seperti tadi pagi, tapi mulai lembap, berat, dengan aroma kayu basah dan daun gugur. Suara jangkrik dan burung yang tadi ramai, kini perlahan menghilang, digantikan dengan desau angin yang bersiul di antara celah batang.

Ki Jayasena mengangkat tangan. “Perlambat langkah. Jalur di depan menurun dan berbelok tajam.”

Kereta kerajaan berdecit pelan saat rodanya menyentuh turunan tajam. Para kusir memperlambat laju, sementara pengawal kanan-kiri mulai lebih rapat, berjaga dari segala arah.

Raka, yang berada di sisi kiri, mulai merasa ada yang tidak biasa. Ia menurunkan posisi duduknya sedikit, tangan kanan menggenggam gagang golok di pinggang. Ia tahu, hutan damar kadang menyembunyikan sesuatu yang tak terlihat.

Dari balik pohon besar di kejauhan, terdengar gerakan cepat. Daun gugur bergetar. Seekor kijang kecil meloncat menyeberang jalan dan menghilang ke balik semak. Raka menarik napas lega. Tapi itu hanya awal.

Tak lama kemudian, suara pelan-pelan mencicit datang dari arah timur. Gerombolan monyet besar bergerak di dahan pohon, memandang ke bawah seolah mengikuti iring-iringan. Beberapa dari mereka melempar ranting dan batu kecil, membuat kuda-kuda di barisan belakang gelisah.

"Tahan barisan!" teriak seorang prajurit.

Kereta utama berhenti sejenak. Dari dalam, Dyah Pitaloka membuka tirai, menatap ke arah suara. Nyi Kirana langsung menutup tirai kembali.

"Biarkan para pengawal yang urus, Putri," ucapnya pelan.

Sementara itu, Raka turun dari kudanya, mendekati arah suara. Ia menajamkan mata, menatap bayangan gelap di antara akar damar tua. Di sana... samar, seperti ada jejak kaki manusia, tapi hanya satu arah—menuju mereka, lalu hilang.

"Ki Jayasena!" seru Raka, "Izinkan saya dan dua orang menyisir sisi kiri jalur."

Ki Jayasena mengangguk. "Cepat kembali sebelum kereta bergerak lagi. Waktu kita sempit."

Langkah Raka merayap pelan di bawah kanopi gelap hutan damar. Dua prajurit di belakangnya, Mahesa dan Nanta, berjalan tanpa suara, golok terhunus di sisi paha. Daun basah yang diinjak tak luput dari perhatian. Di tanah, bekas jejak kaki yang tadi dilihat Raka ternyata membentuk pola—arah masuk hutan, tapi tidak ada jejak keluar.

Raka jongkok, menelusuri bentuk jejak itu.

“Manusia. Tapi tanpa alas kaki,” gumamnya.

“Pemburu liar?” tanya Mahesa pelan.

“Tak mungkin,” Raka menggeleng. “Pemburu tidak masuk sedalam ini sendirian. Dan tidak berjalan lurus ke arah jalur kerajaan.”

Langit di atas meredup sejenak. Angin menderu lewat dahan. Daun-daun bergoyang. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar padahal belum sore.

“Maju lagi sedikit,” perintah Raka.

Langkah mereka membawa ke sebuah celah sempit antara dua akar damar tua. Di situ, mereka menemukan sesuatu—ikat kepala sobek, warna merah tanah, masih lembap.

Raka mengambilnya. “Baru jatuh... beberapa jam lalu. Tapi anehnya tak ada tanda orang itu terluka atau melawan.”

Mereka bertiga saling pandang. Diam. Suara alam terasa terlalu senyap.

Kemudian, semak di sisi kanan bergerak cepat.

“Siap!” seru Raka.

Mahesa dan Nanta mengangkat senjata. Tapi yang muncul hanya seekor burung jalak besar yang melompat keluar dan terbang melintasi kepala mereka. Nafas mereka turun perlahan, tapi waspada tetap menyala.

“Sudah. Kita kembali,” ucap Raka akhirnya. “Tak boleh terlalu jauh dari iring-iringan. Tapi ini harus kulaporkan.”

Saat mereka kembali ke jalur utama, langit sudah berganti warna jingga. Sinar matahari tembus di sela pepohonan seperti sulur cahaya.

Di kejauhan, kereta kerajaan sudah mulai bergerak perlahan. Raka kembali naik ke kudanya, tapi matanya masih menatap ke balik hutan.

Jejak itu... entah siapa yang tinggalkan. Tapi rasanya, ada sesuatu yang mengawasi perjalanan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang Takdir

    Langit Galuh pagi itu berpindah dari kelabu menjadi semburat keemasan. Matahari berjuang menembus kabut duka yang menyelimuti Istana Kawali.Di alun-alun dalam, bendera hijau tua berkibar pelan. Sulaman emas berbentuk matahari menghiasi kain, simbol kejayaan kerajaan. Namun, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti senar kecapi yang nyaris putus.Di ruang takhta, Prabu Linggabuana duduk di singgasana kayu jati. Ukiran rumit menghiasi kayu, dan mahkotanya berkilau di bawah sinar obor.Matanya, biasanya penuh wibawa, kini membawa bayang kelelahan. Beban kerajaan seolah menggerogoti semangatnya.Mahapatih Surawisesa berdiri di sisinya, memegang gulungan bambu. Laporan dari Sindangkasih tertera di dalamnya. Patih Gajah Langu menjaga posisi, tangan di gagang pedang. Wajahnya keras seperti karang.Dyah Pitaloka duduk di kursi kecil dekat ayahnya. Gaun biru lautnya disulam bunga kenanga. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh badai yang hanya Raka kenali.Raka berdiri di sudut ruangan, di a

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang yang Merangkak

    Langit Galuh pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah alam merasakan ketegangan yang kian mencekik istana. Angin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang gugur, seakan berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kerajaan. Di dalam ruang perang, Patih Gajah Langu berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja batu, menunjukkan garis-garis perbatasan Galuh dan kerajaan timur Majapahit, musuh lama yang kini dicurigai sebagai dalang serangan di Mandalawangi.Raka berdiri di sisi ruangan, di antara para prajurit senior yang jauh lebih berpengalaman. Jubah sederhananya kontras dengan zirah mengkilap yang dikenakan yang lain, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tak kalah kuat. Ia mendengarkan dengan saksama saat Patih Gajah Langu menjelaskan temuan terbaru: sebuah laporan dari mata-mata yang menyebutkan adanya pergerakan pasukan kecil di perbatasan timur, dekat hutan Sindangkasih.“Ini bukan serangan terbuka,” kata Patih Gajah Langu, suaranya berat. “Mereka ber

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Istana

    Langit Galuh mulai memerah saat matahari terbenam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di taman rahasia, Dyah Pitaloka dan Raka masih duduk di tepi kolam, tenggelam dalam keheningan yang nyaris suci. Angin malam membelai lembut, membawa aroma melati dan kenanga, seolah alam sendiri ingin memperlambat waktu untuk mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getar ketegangan yang tak terucapkan seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.Dyah memandang bayangan wajahnya di permukaan kolam, lalu menoleh ke arah Raka. “Kau tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tersapu angin, “di seluruh istana ini, hanya di sini aku merasa… bebas. Hanya bersamamu.”Raka tersentak. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti pukulan lembut yang mengguncang dadanya. Ia menunduk, tak yakin bagaimana menjawab. “Gusti, aku hanyalah seorang prajurit. Kebebasan yang kau rasakan… mungkin hanya ilusi sementara.”Dyah menggeleng, matanya menyala dengan tekad yang jarang ia tunj

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Kemenangan

    Langit Galuh pagi itu terasa lebih terang, seolah alam turut merayakan kembalinya Tim Elit Khusus dari misi berbahaya mereka. Burung-burung kecil berkicau riang di dahan-dahan pohon kelapa, dan embun pagi berkilau seperti permata di ujung daun. Namun, di balik kemegahan Istana Kawali, suasana tak sepenuhnya damai. Kemenangan atas perampok di hutan Mandalawangi membawa kelegaan, tetapi juga meninggalkan pertanyaan yang menggantung: siapa dalang di balik serangan itu? Dan apakah ancaman benar-benar telah berakhir?ruang takhta utama, Prabu Linggabuana duduk dengan wajah tegang. Jubah kebesarannya yang hijau tua tampak lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban kekhawatiran yang tak terucap. Di hadapannya, Patih Gajah Langu berdiri tegak, melaporkan hasil misi dengan suara yang tegas namun hati-hati.“Paduka, kami berhasil menghancurkan sarang perampok di lereng Mandalawangi. Pemimpin mereka telah tewas, dan sebagian besaranak buahnya telah ditangkap atau melarikan diri.Namun…”

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan deras, tapi terasa cepat. Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu. "Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat. Raka ragu. "Ke mana, Gusti?" Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu." Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga. Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil. Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah. Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri. "Tak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status