Home / Romansa / Cinta di Balik Singgasana / “Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

Share

“Dedaunan, Tatapan, dan Cerita yang Belum Selesai”

Author: Wahyu H
last update Last Updated: 2025-04-22 16:40:48

Matahari pagi mulai mengusir kabut tipis dari hutan damar. Aroma nasi hangat, sayur rebus, dan ikan bakar sederhana menyebar di perkemahan. Beberapa prajurit duduk bersila, makan cepat tanpa banyak bicara. Perjalanan hari ini masih panjang, dan malam tadi cukup mengguncang semua.

Di sisi timur kemah, di balik kain penutup khusus, Putri Dyah Pitaloka duduk dengan tenang bersama Nyi Kirana dan dua pengawal wanita lainnya: Nyi Merta dan Nyi Lintang. Sarapan mereka lebih terjaga—diatur khusus oleh juru masak istana yang dibawa dari Galuh.

Namun pagi ini, ada kegelisahan kecil di mata sang putri. Pandangannya sesekali melirik keluar tenda, mencari sosok yang tidak disebutkan.

Tak lama kemudian, Raka lewat dengan mangkuk kayu berisi makanan di tangannya. Ia hendak kembali ke tempat para pengawal duduk. Tapi suara lembut memanggilnya.

“Raka,” ujar Dyah pelan dari balik kain. “Sebentar saja.”

Raka menoleh, agak ragu. Namun saat Nyi Kirana mengangguk, ia pun melangkah mendekat, menjaga jarak hormat.

“Terima kasih untuk semalam,” ucap Putri Dyah, matanya jernih, suaranya tenang. “Tanpa kau, mungkin... suasana kemah akan jauh lebih buruk.”

Raka menunduk sedikit. “Itu sudah tugasku, Ratu.”

Dyah tersenyum kecil. “Kau tahu... aku baru pertama kali melihat pepohonan seperti itu,” katanya sambil menunjuk ke arah pepohonan damar di kejauhan. “Yang daunnya menjuntai seperti hujan, dan kulitnya mengelupas seperti sisik ular.”

Raka menoleh ke arah yang dimaksud, lalu menjelaskan dengan tenang. “Itu pohon damar. Getahnya bisa dijadikan pelita. Tapi kalau terlalu tua, kayunya rapuh. Binatang seperti macan suka bersembunyi di bawahnya karena lembap.”

Putri Dyah mengangguk, wajahnya mulai bersinar dengan rasa ingin tahu.

“Lalu yang di sampingnya, yang tumbuh rendah dan daunnya berbulu?”

“Itu pohon semar. Dedaunnya dipakai tabib kampung untuk mengompres demam. Tapi jangan terlalu sering dipegang, bisa gatal.”

Nyi Kirana melirik sang putri yang kini tampak hidup. Bukan sebagai seorang Ratu muda yang dibesarkan di balik tembok istana, tapi gadis remaja yang sedang mengenal dunia.

“Aku tidak tahu dunia seluas ini,” bisik Dyah. “Yang kutahu hanya ukiran dinding balairung dan naskah-naskah tua yang menjemukan.”

Raka hanya menatap sejenak, lalu kembali menunduk sopan. “Dunia di luar istana memang luas, Ratu. Tapi tidak semuanya indah. Kadang keras. Kadang berbahaya.”

“Tapi tetap menarik,” gumam Dyah Pitaloka, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Kabut pagi perlahan menguap, digantikan cahaya mentari yang mulai menembus celah pepohonan. Suara tenda dilipat, logistik dikemas, dan pelana kuda diperiksa bergema di seluruh penjuru perkemahan. Derap langkah para prajurit menciptakan ritme yang berirama—tepat, tegas, dan penuh persiapan.

Raka berdiri di dekat kudanya, memeriksa kembali ikatan perlengkapan. Ia tak lagi menoleh ke arah tenda sang putri, seolah tak ingin tergoda oleh bayangan lembut pagi tadi.

“Semua pasukan bersiap! Rombongan akan bergerak lima puluh tombak ke depan sebelum pembentukan barisan.”

Teriakan pimpinan regu menggema, membuat beberapa prajurit yang masih sibuk segera bergegas.

Prajurit pengawal berjalan ke posisi masing-masing. Sebagian besar membawa tombak panjang, pedang pendek, serta perisai rotan. Di sisi kanan, barisan pemanah sudah bersiaga. Di belakang, para penjaga logistik dan juru masak menggiring kereta perbekalan yang ditarik sapi hutan.

Raka berjalan cepat ke sisi pasukan pengawal depan. Ia tidak lagi membawa banyak beban—kecuali pikirannya sendiri yang entah kenapa terasa lebih berat dari hari sebelumnya.

Sementara itu, dari sisi kemah yang lebih dalam, tenda khusus sang putri mulai dilipat. Kereta utama—dihiasi ukiran motif bunga galuh dan singa perisai kerajaan—sudah menunggu. Di dalamnya, Putri Dyah Pitaloka duduk anggun, ditemani Nyi Kirana dan dua pengawal wanitanya.

“Semua siap, Ratu,” lapor Nyi Kirana lembut.

Dyah hanya mengangguk pelan, lalu melirik tirai jendela kecil kereta yang setengah terbuka.

Di kejauhan, ia melihat Raka sedang mengatur barisan depan. Tapi tidak sepatah kata pun terucap. Hanya tatapan tenang yang ia sembunyikan dalam hati.

Krek!

Kereta mulai bergerak. Roda-rodanya menggilas tanah basah hutan, meninggalkan bekas yang kelak mungkin akan hilang tertutup lumut dan daun gugur.

Pasukan perlahan meninggalkan tempat perkemahan. Suara peluit kayu ditiup—menandai awal perjalanan hari ketiga menuju Mandalawangi, melintasi jalur sempit di antara pepohonan damar yang makin rapat, makin sunyi.

Derap langkah kuda dan denting lembut logam persenjataan menciptakan irama yang memecah kesunyian. Suara burung pun terasa jauh, tergantikan oleh desir angin yang membawa aroma tanah basah, getah, dan daun busuk.

Raka berjalan paling depan bersama barisan pengintai. Mata elangnya menelisik setiap gerak di balik semak dan pohon. Sesekali ia memberi isyarat tangan, menyuruh pengintai lainnya menyebar lebih lebar, membentuk formasi setengah lingkaran yang menjaga jalur utama tetap aman.

Di tengah barisan, kereta sang putri berjalan pelan, berguncang pelan karena jalan tanah yang mulai dipenuhi akar-akar besar. Di dalamnya, Putri Dyah Pitaloka tak lagi hanya diam. Ia membuka tirai kecil, menatap keluar, seolah ingin tahu bagaimana bentuk dunia yang selama ini hanya dibacanya dalam naskah kuno.

"Hutannya pekat sekali, Nyi Kirana," katanya pelan.

"Memang, Ratu. Ini belum separuh dari wilayah Mandalawangi. Hutan damar memang dikenal menyimpan kabut sepanjang tahun," jawab Nyi Kirana, sambil memperhatikan arah jalur luar.

"Apakah aman?"

"Selama pengawal utama kita tetap siaga, tak akan ada yang mendekat."

Tapi rasa penasaran sang putri sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Dunia di luar istana ini… nyata. Liar. Tapi sekaligus… memesona.

Sementara itu di barisan depan, Raka menghentikan kudanya. Ia turun, mendekati sebuah bekas pijakan kaki di tanah lembek. Jelas bukan tapak manusia. Ia menyentuhnya, meraba bentuk dan kedalamannya.

"Jejak... tapi bukan rusa," gumamnya.

Salah satu pengintai mendekat.

"Macan tutul hutan, mungkin. Tapi sudah lewat semalam."

Raka mengangguk, memberi aba-aba untuk terus bergerak. Tapi perasaannya mulai tak tenang. Ia mengenal hutan, dan hutan ini... terasa sedang memperhatikan.

Perjalanan pun berlanjut. Akar-akar besar membuat laju kereta makin lambat. Beberapa kali pengawal harus turun tangan membantu mendorong atau menahan roda agar tak tergelincir ke sisi curam.

Hari mulai condong ke siang. Tapi cahaya tetap redup. Kanopi pohon damar membuat waktu seakan membeku di tengah remang yang abadi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang Takdir

    Langit Galuh pagi itu berpindah dari kelabu menjadi semburat keemasan. Matahari berjuang menembus kabut duka yang menyelimuti Istana Kawali.Di alun-alun dalam, bendera hijau tua berkibar pelan. Sulaman emas berbentuk matahari menghiasi kain, simbol kejayaan kerajaan. Namun, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti senar kecapi yang nyaris putus.Di ruang takhta, Prabu Linggabuana duduk di singgasana kayu jati. Ukiran rumit menghiasi kayu, dan mahkotanya berkilau di bawah sinar obor.Matanya, biasanya penuh wibawa, kini membawa bayang kelelahan. Beban kerajaan seolah menggerogoti semangatnya.Mahapatih Surawisesa berdiri di sisinya, memegang gulungan bambu. Laporan dari Sindangkasih tertera di dalamnya. Patih Gajah Langu menjaga posisi, tangan di gagang pedang. Wajahnya keras seperti karang.Dyah Pitaloka duduk di kursi kecil dekat ayahnya. Gaun biru lautnya disulam bunga kenanga. Wajahnya tenang, tetapi matanya penuh badai yang hanya Raka kenali.Raka berdiri di sudut ruangan, di a

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang yang Merangkak

    Langit Galuh pagi itu diselimuti awan kelabu, seolah alam merasakan ketegangan yang kian mencekik istana. Angin membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang gugur, seakan berbisik tentang rahasia yang tersembunyi di sudut-sudut kerajaan. Di dalam ruang perang, Patih Gajah Langu berdiri di depan peta besar yang terbentang di atas meja batu, menunjukkan garis-garis perbatasan Galuh dan kerajaan timur Majapahit, musuh lama yang kini dicurigai sebagai dalang serangan di Mandalawangi.Raka berdiri di sisi ruangan, di antara para prajurit senior yang jauh lebih berpengalaman. Jubah sederhananya kontras dengan zirah mengkilap yang dikenakan yang lain, tetapi matanya menyala dengan tekad yang tak kalah kuat. Ia mendengarkan dengan saksama saat Patih Gajah Langu menjelaskan temuan terbaru: sebuah laporan dari mata-mata yang menyebutkan adanya pergerakan pasukan kecil di perbatasan timur, dekat hutan Sindangkasih.“Ini bukan serangan terbuka,” kata Patih Gajah Langu, suaranya berat. “Mereka ber

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Istana

    Langit Galuh mulai memerah saat matahari terbenam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di taman rahasia, Dyah Pitaloka dan Raka masih duduk di tepi kolam, tenggelam dalam keheningan yang nyaris suci. Angin malam membelai lembut, membawa aroma melati dan kenanga, seolah alam sendiri ingin memperlambat waktu untuk mereka. Namun, di balik ketenangan itu, ada getar ketegangan yang tak terucapkan seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.Dyah memandang bayangan wajahnya di permukaan kolam, lalu menoleh ke arah Raka. “Kau tahu,” katanya pelan, suaranya hampir tersapu angin, “di seluruh istana ini, hanya di sini aku merasa… bebas. Hanya bersamamu.”Raka tersentak. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti pukulan lembut yang mengguncang dadanya. Ia menunduk, tak yakin bagaimana menjawab. “Gusti, aku hanyalah seorang prajurit. Kebebasan yang kau rasakan… mungkin hanya ilusi sementara.”Dyah menggeleng, matanya menyala dengan tekad yang jarang ia tunj

  • Cinta di Balik Singgasana   Bayang-Bayang di Balik Kemenangan

    Langit Galuh pagi itu terasa lebih terang, seolah alam turut merayakan kembalinya Tim Elit Khusus dari misi berbahaya mereka. Burung-burung kecil berkicau riang di dahan-dahan pohon kelapa, dan embun pagi berkilau seperti permata di ujung daun. Namun, di balik kemegahan Istana Kawali, suasana tak sepenuhnya damai. Kemenangan atas perampok di hutan Mandalawangi membawa kelegaan, tetapi juga meninggalkan pertanyaan yang menggantung: siapa dalang di balik serangan itu? Dan apakah ancaman benar-benar telah berakhir?ruang takhta utama, Prabu Linggabuana duduk dengan wajah tegang. Jubah kebesarannya yang hijau tua tampak lebih berat dari biasanya, seolah membawa beban kekhawatiran yang tak terucap. Di hadapannya, Patih Gajah Langu berdiri tegak, melaporkan hasil misi dengan suara yang tegas namun hati-hati.“Paduka, kami berhasil menghancurkan sarang perampok di lereng Mandalawangi. Pemimpin mereka telah tewas, dan sebagian besaranak buahnya telah ditangkap atau melarikan diri.Namun…”

  • Cinta di Balik Singgasana   Siasat Raja dan Bayangan Bahaya

    Suasana Istana Galuh berubah.Pagi itu, di alun-alun dalam, genderang besar dipukul bertalu-talu — irama keras yang hanya dibunyikan pada saat darurat.Seluruh prajurit bergegas, membentuk barisan panjang di hadapan pendopo megah.Raka, yang masih berjalan dengan tongkat pendek, berdiri di tepi kerumunan, mencoba menyembunyikan diri di balik bayangan tiang kayu.Dari jauh, ia melihat Raja Linggabuana — ayah Dyah Pitaloka — berdiri gagah di atas mimbar kayu, jubahnya berkibar tertiup angin.Di sisi sang Raja, berdiri seorang pria kekar berbaju zirah hitam: Patih Gajah Langu, komandan tertinggi Galuh.Wajahnya keras seperti batu, matanya tajam menelusuri barisan prajurit.Ketegangan menggantung di udara, tebal seperti kabut pagi."Aku tak akan membiarkan kehormatan Galuh diinjak-injak!" suara Raja menggema, membuat burung-burung beterbangan dari pohon-pohon di sekeliling alun-alun."Para perampok itu... yang berani menyerang darah bangsawan kita, harus dihukum! Biar dunia tahu: Tanah Su

  • Cinta di Balik Singgasana   Sang Putri dan Sang Rakyat

    Hari-hari bergulir seperti aliran sungai musim hujan deras, tapi terasa cepat. Raka, kini sudah mampu berjalan meski masih tertatih, mulai diajak Dyah Pitaloka keluar dari bilik sempit itu. "Ikutlah denganku," katanya suatu pagi, matanya berbinar penuh semangat. Raka ragu. "Ke mana, Gusti?" Dyah tersenyum misterius. "Kau akan tahu." Dengan langkah perlahan, keduanya berjalan menelusuri jalanan tersembunyi di belakang istana. Bukan jalan batu besar tempat para prajurit dan tamu agung lewat, melainkan lorong-lorong kecil yang hanya diketahui para pelayan dan penjaga. Mereka melewati kebun-kebun rahasia di balik tembok — tempat bunga kenanga, melati, dan kamboja bermekaran liar tanpa tatanan resmi. Melewati dapur besar di mana asap harum rebusan daging dan rempah menguar dari jendela-jendela kecil. Melewati gudang tempat para pedagang menitipkan beras, garam, dan kain-kain tenun dari berbagai daerah. Raka berjalan di belakang Dyah, merasa asing di dunianya sendiri. "Tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status