Share

Chapter 3

'Kau tidak boleh menyentuh apapun di apartemen ini!' kira-kira begitulah kalimat yang diucapkan Afsheen sesaat sebelum pergi dari hadapannya. 

Elisa hanya menggerutu kesal sambil berlalu dari depan intercom. Kedua matanya memandang seisi apartemen Afsheen yang indah, tak ada barang-barang mewah yang mengisi apartemen seindah ini, hanya ada guci kuno, keramik, piring porselen yang tersusun di atas lemari samping tempatnya berjalan. 

Elisa mengamati satu persatu benda-benda itu, menyentuhnya dan seketika tersenyum. Guci kuno di depannya ternyata jauh lebih indah saat dilihat dari dekat. 

"Hoam… " Elisa menguap. Ia mulai merasa bosan. Dihampirinya lemari buku yang terletak di ruang tengah. 

Sudah hampir satu jam ia menunggu, Afsheen tak kunjung kekuar dari kamar. Ia menaruh biola kecil di punggungnya ke atas meja, lalu beralih ke depan rak buku, mencari beberapa buku yang mungkin bisa di bacanya. 

Elisa membaca satu persatu buku yang tersusun di rak itu, sayangnya, tidak hanya ada deretan kitab berbahasa Arab, buku terjemahan, juga kumpulan syair dalam bahasa yang tidak ia mengerti. 

"Ya Tuhan… apa dia benar-benar membaca seluruh buku di lemari ini? Aku bahkan tidak bisa menemukan  satu buku pun dalam bahasa Spanyol." keluhnya. 

Elisa menutup pintu lemari lagi, mengurungkan niat membaca buku, hingga matanya tertuju pada sebuah buku yang tergeletak di samping meja televisi.

Buku berjudul 'Return' satu-satunya buku dalam bahasa Spanyol.

"Karya MN?" gumamnya lagi sambil tersenyum simpul. "Zaman sekarang masih saja ada penulis yang menggunakan inisial." gumamnya lagi. 

Dibukanya lembar demi lembar buku itu, tak ada ucapan terima kasih, pengantar penulis maupun biodata penulis.

'Aku terjebak dalam penyakit yang tidak bisa disembuhkan,

Yang tanpa disangka menarik jiwaku masuk lebih dalam kepadanya, 

Aku seakan meminum racun tanpa jeda, 

yang membuat hariku redup kala tak berjumpa dengannya,

Aku nyaris tak bisa bernafas saat memandang wajahnya, tubuhku seakan mematung dan tak bisa bergerak,

Inikah yang dinamakan cinta? 

Hingga tubuhku tak sadar telah dibuat mabuk olehnya, 

Hai pujaan hati, 

Sudikah kau menerima hatiku yang rapuh ini, 

Elisa terdiam. Buku di tangannya adalah sebuah Novel. Sebuah perasaan aneh tiba-tiba menyelinap ke relung hati terdalamnya. 

Sementara itu di dalam kamar, usai melaksanakan sholat dhuha, Afsheen melipat sajadah dan menaruhya ke atas lemari kecil di samping tempat tidur, hingga ia tak sengaja melihat seutas cahaya yang bersinar terang dari dalam laci itu. 

Bergegas Afsheen membukanya, seketika ia terperanjat, tatkala melihat sebongkah batu kristal bening berbentuk diamond di sebuah kotak yang ia simpan bercahaya. 

Saking terangnya cahaya itu hingga membuat kedua mata Afsheen silau. 

"Apa yang terjadi?" gumamnya bingung. Diambilnya kotak berisi kristal itu dari dalam laci, lalu dipandanginya kristal berbentuk diamond yang cahayanya perlahan meredup. 

"Benda ini tak pernah bercahaya lagi semenjak aku tiba di sini." lanjut Afsheen dengan heran.

Di saat bersamaan, angin menghempas jendela kamar hingga membuatnya terbuka, seketika hawa dingin masuk bersama bulir-bulir salju. Afsheen meletakkan kotak berisi kristal itu kembali ke dalam laci, lalu bergegas menutup jendela. 

"Mungkinkah ini suatu pertanda baik?" gumamnya lagi sambil memandang hamparan salju luas di luar jendela. Sudut bibirnya melengkung, sudah lama Afsheen menunggu detik-detik kristal itu bercahaya lagi. 

"Mungkinkah sudah saatnya aku pulang ke zamanku?" gumamnya pelan. 

Afsheen teringat pada gadis yang masih ada di apartemennya, ketika Afsheen baru saja membuka pintu tiba-tiba saja. 

PRANG

Sebuah benda terjatuh dan hancur berkeping-keping. Afsheen berlari keluar kamar menuju tempat gadis itu berada. 

Kedua matanya membelalak saat melihat guci yang sangat ia sayangi jatuh dan pecah berkeping-keping. 

Elisa berdiri mematung saat hendak menaruh buku ke samping TV dan tangannya tak sengaja menyenggol guci itu. 

"APA YANG KAU LAKUKAN!" teriak Afsheen sangat murka. 

Elisa ciut. Ia langsung berjongkok merapikan pecahan guci di bawah kakinya. 

Afsheen makin geram, sungguh kesalahan besar baginya membiarkan orang lain ada di apartemennya. 

"Maafkan aku, aku tak sengaja, sungguh maafkan aku." ucap Elisa dengan sangat menyesal. 

Afsheen sudah berdiri persis didepannya. Elisa mendongak,

"Bangun!" ucapnya lagi. 

Glek

Elisa terdiam, ia menelan liurnya. 

"KU BILANG BANGUN!" teriak Afsheen dengan kesal. 

Elisa pun menurut, ia berhadapan langsung dengan Afsheen. 

"Kau tahu berapa harga guci yang kau pecahkan itu?!" geram Afsheen makin menjadi. 

"Aku sungguh minta maaf, aku tidak sengaja, aku hanya ingin menaruh buku ini di tempatnya, tanganku tak sengaja menyenggol guci itu." ucap Elisa lagi. 

Kedua mata Afsheen beralih ke buku yang dipegang Elisa. 

"Kembalikan buku itu sekarang juga!" bentak Afsheen. "Bukankah sudah ku katakan, kau tidak boleh menyentuh apapun di Apartemen ku!" lanjutnya lagi. 

Elisa menunduk, ia segera menaruh buku di tangannya ke tempat semula. 

"Aku tidak suka ada orang lain yang menyentuh barang-barang ku, apalagi kau sampai memecahkannya!" sambung Afsheen masih dengan nada tinggi. 

"Aku sungguh minta maaf, aku akan menggantinya, berapa harga guci itu?" tanya Elisa datar. 

"LUPAKAN! KAU TIDAK AKAN MENEMUKANNYA DI TEMPAT INI! ASTAGHFIRULLAH YA ALLAH… " Afhseen beristighfar mencoba meredam emosinya. 

Elisa hanya bisa diam, ia merasa begitu bersalah. 

"Haruskah aku mengusirmu?" lanjut Afsheen lagi, sontak membuat kedua mata Elisa membelalak. 

"Ja—jangan! Please kumohon, maafkan aku, tunggulah sampai ketiga orang di depan sana pergi, aku tidak bisa keluar sekarang, aku janji akan mengganti guci mu yang pecah." Elisa memohon. 

Afsheen nampak acuh, ia hanya menjawab, 

"Aku tidak percaya padamu, bisa saja kau membuat yang lebih parah dari ini, atau membuat apartemen ku kacau balau." 

Kening Elisa berkerut. Ia sedikit kesal, padahal sudah berkali-kali ia meminta maaf pada Afsheen.

"Kenapa kau menyebalkan sekali?! Aku kan sudah bilang, aku minta maaf akan ku ganti gucimu itu, lagipula itu hanya guci kuno." ucap Elisa.

"Apa kau bilang, guci kuno?! Asal kau tahu ya, barang-barang ku, dan guci itu jauh lebih mahal dari yang kau kira! Sudah sana cepat keluar, aku pun ingin pergi sekarang, aku tidak bisa membiarkanmu disini saat aku tidak ada!" seru Afsheen sengit. 

Mendengar Afsheen mengusir, Elisa menciut, ia melihat interkom kembali, tiga pria tadi masih berjaga disana.

Afsheen ikut menoleh, rupanya ia juga melihat hal sama dengan Elisa.

“Aku tidak tahu apa yang kau lakukan sampai mereka mengejarmu, tapi sepertinya, kau harus menyelesaikan masalah mu sendiri, kau harus pergi, aku tidak bisa menyembunyikanmu lebih lama lagi.” lanjut Afsheen. Ia berjalan menuju pintu tanpa menghiraukan Elisa sedikitpun.

Elisa mulai panik, ia berlari mengejar Afsheen.

“Aku bukan penjahat, aku bisa memastikan itu, aku punya surat berkelakuan baik dari polisi Spanyol, kalau kau tidak percaya, saat mereka pergi akan ku tunjukkan suratnya.”

Afsheen berhenti, ia berdiri membelakangi gadis itu.

“Aku tidak butuh surat yang kau maksud, aku hanya ingin kau keluar,”

“Kalau aku keluar, lalu mereka menangkapku, memukulku, menyiksaku, apa kau tega?” lanjut Elisa mengiba 

Afsheen menghela nafas lalu berbalik menghadap gadis itu.

“Aku...” belum sempat ia meneruskan kata-kata. Sebuah bayangan buram masuk ke kepalanya. Tiba-tiba saja Afsheen merasa pusing saat sekelebat bayangan terngiang di otaknya, ia langsung memegang kepalanya dan berdiri agak gontai, ditatapnya Elisa lamat-lamat, mungkinkah, Gadis di depannya ini…

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Elisa heran saat melihat raut wajah Afsheen berubah. Afsheen tersentak begitu mendengar suara Elisa di depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status