Viola menggigit bibir bawahnya. Ia hanya bisa pasrah menerima perlakuan tamu pertamanya.
Mahkotanya yang paling berharga telah berhasil diambil oleh Frans. Viola memejamkan matanya, air mata menetes. Benda tumpul itu telah benar benar berhasil masuk ke bagian terdalamnya. Ia merasakan gerakan gerakan yang membuat bagian bawahnya seperti digelitik. Lama kelamaan nyeri yang ia rasakan berubah menjadi gelitikan panas yang membuat tubuhnya menggelinjang. Cairan kental terasa panas menyemburnya. Si pria terkulai lemas dan langsung tertidur di sebelahnya. Dari bagian mahkotanya, ia merasakan cairan hangat lain yang keluar. Viola mengusapnya dengan hati hati. Ia melihat cairan warna merah pada jemarinya. Kehormatan yang seharusnya dipertahankan hingga pernikahan, telah menghilang. Gadis yang telah kehilangan kep3rawan@n itu masuk ke dalam kamar mandi. Ia menyalakan shower. Membiarkan tubuhnya basah di bawah air. Ia menangis meratapi nasibnya, merasa jijik dengan apa yang baru saja terjadi padanya. "Kenapa aku harus dilahirkan jika akhirnya aku harus menjual keperaw@nanku sendiri demi bisa bertahan hidup!" Viola merutuki dirinya sendiri. Setelah meluapkan kekesalannya, Viola membalut tubuhnya menggunakan handuk. Ia berjalan pelan memasuki kamar yang dinginnya menembus sampai ke tulang. Viola melihat si pria yang masih tertidur lelap. Ia mengenakan pakaiannya dan bersiap untuk kabur. Viola melepas sepatu hak tingginya lalu menarik gagang pintu. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan sekelilingnya. "Semua orang sudah tertidur." Viola menarik nafas dalam dalam. Ia mulai berjalan pelan turun ke lantai bawah. Setelah melihat pintu besar yang akan membawanya keluar dari rumah mewah itu, Viola mempercepat langkahnya. "Menyebalkan sekali! Harusnya besok adalah hari liburku! Tapi Bos malah memintaku untuk bekerja lembur karena perempuan yang baru dibawanya!" Suara seorang perempuan yang tengah mengeluh, memecah keheningan malam. Viola dengan cepat bersembunyi di balik sofa yang menjadi tempat duduknya saat pertama kali masuk ke sana. Bayangan Viola sempat terlihat oleh asisten rumah tangga tersebut. Sang asisten menyalakan senter yang ada di tangannya. Mirip seperti seorang security, ia memeriksa setiap sudut rumah. "Aneh sekali, jelas jelas barusan aku melihat ada bayangan yang lewat. Sudahlah! Mungkin aku hanya kelelahan." Sang asisten pergi begitu saja. Suasana kembali kondusif, Viola dengan cepat berlari ke arah pintu keluar. Namun ketika ia menarik gagang pintu, pintu terkunci. Viola memundurkan langkahnya dan kembali bersembunyi di balik kursi sofa. "Bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari sini?" Viola melihat ke arah sekeliling. Tak ada celah baginya untuk kabur. Viola mulai putus asa. Ia akan kembali ke kamar Frans, namun pandangannya tertuju pada sebuah jendela. Viola berbalik arah. Ia menuju ke arah jendela. Menarik pengaman jendela ke atas, jendela pun terbuka. Angin segar menerpa wajah cantiknya. Viola pun keluar melalui jendela. Kini ia berjalan di halaman rumah yang cukup luas itu. Viola melihat ke arah pintu gerbang setinggi 6 meter. "Aku mungkin tidak bisa kabur," ucap Viola dalam hati sambil mendongakkan wajahnya ke atas mengamati seberapa tinggi pagar di depannya. Viola berdiri di balik pohon palem. Bersembunyi dalam kegelapan. Ia pasrah. "Tin!" Saat ia benar benar pasrah, suara klakson mobil membuatnya kembali memiliki harapan. Pintu pagar dibuka. Mobil hitam masuk ke halaman rumah. Penjaga pintu tampak sibuk berbicara dengan orang yang baru saja turun dari mobil. Viola menggunakan kesempatan ini untuk keluar dari rumah mewah itu. Ia berlari kecil hingga menemukan taksi yang berhenti di pinggir jalan. Viola meminta supir taksi mengantarkannya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Viola segera masuk ke dalam menggunakan kunci cadangan yang selalu ada di dalam tasnya. "Akhirnya, aku bisa pulang ke rumah." Ia bernafas lega. Viola meletakkan tas nya di atas meja. Lalu berganti pakaian. Ia tidur dengan nyenyak di atas tempat tidurnya sendiri. Keesokan paginya, kaburnya Viola dari istana mewah tersebut, membuat Frans marah. Frans menelepon rumah b0rdil. Ia memaki pemilik rumah b0rdil dan meminta ganti rugi. Mami Dona yang geram langsung menarik kembali sebagian uangnya yang telah ia berikan kepada ibu Viola. Keributan yang terjadi antara Mami Dona dan ibunya, membuatnya terbangun. Ia mengintip dari balik pintu kamar. "Dasar penip*! Kalian keluar misk*n dan tidak tahu diri! Jika kau tak mengembalikan uang itu dan mengirim putrimu kembali ke sana, kau harus membayar denda!" Mami Dona meludahi wajah wanita yang berdiri di depannya. Dengan terpaksa wanita itu mengembalikan semua uang yang ia terima. Mami Dona bergegas keluar dari rumah itu sambil membanting pintu. "Viola, benar benar membuatku malu!" Viola yang baru saja keluar dari kamar, langsung menjadi sasaran amukan ibunya. "Jika kau tak kembali ke rumah pria itu, maka aku akan memb*nuhmu!" Melihat ibunya berteriak sambil memaki dirinya, Viola memutuskan untuk pergi dari rumah. "Aku tak tahu harus pergi kemana." Viola berjalan dengan lemas di trotoar. Tiba tiba saja, seorang pemuda menabrak dirinya. Viola hampir tersungkur ke tanah. Pemuda itu dengan cepat menangkap tubuh Viola. Kedua mata mereka saling bertemu. Dalam satu kali pertemuan, pemuda itu sangat tertarik pada Viola. "Maafkan aku." "Tidak apa apa." Viola merapikan pakaiannya. "Apa aku boleh tahu siapa namamu?" "Viola Beverley." "Aku, Steven Pratama." Keduanya saling berjabat tangan. "Senang mengenalmu," ucap Viola. "Kau mau pergi kemana? Ehm maksudku, jika kau ada waktu, apa kita bisa sarapan bersama?" Tak ingin membuang waktu Steven langsung mengajak Viola untuk berkencan. Viola yang tak memiliki arah tujuan akan pergi kemana, langsung mengangguk setuju. Keduanya berjalan ke arah restoran yang letaknya ada di ujung jalan. Sepanjang perjalanan menuju ke restoran, mereka terus mengobrol. Saat hampir tiba di restoran, Viola melihat 2 orang pria botak anak buah Frans, sedang berdiri di depan restoran. "M@tilah aku! Mereka pasti sedang mencari ku!" Viola bermonolog dalam hati. Kedua lututnya mendadak kaku tak dapat digerakkan. "Ada apa? Kenapa berhenti berjalan?" tanya Steven sambil memperhatikan kedua lutut Viola yang gemetaran. "A aku sepertinya tidak bisa sarapan bersamamu." Viola berbalik badan. Viola jug menarik tudung hoodienya untuk menutupi kepalanya. Ia bermaksud untuk berjalan ke arah lain dan meninggalkan Steven. Tapi tangan Steven dengan cepat meraih tangan Viola. "Jangan pergi. Aku tak ingin kau pergi meninggalkanku begitu saja." Ucapan Steven membuat Viola terdiam. Ia masih memalingkan wajahnya. Steven menarik tangan gadis itu lebih keras. Hingga akhirnya tubuh Viola berputar ke samping menabrak tubuh kekar Steven. Viola dengan berani memeluk tubuh pria yang baru saja dikenalnya. Ia menenggelamkan wajahnya dalam pelukan si pria. Steven tersenyum, jantungnya berdebar kencang karena pelukan Viola. Seorang pria botak berjalan pelan di sisi kiri Steven. Pria botak mengawasi Steven dan Viola yang sedang berpelukan di tengah jalan. Steven melirik ke arah pria botak. "Kenapa melihatku seperti itu?" Pria botak mengeluarkan sebuah foto dari sakunya dan mengarahkannya pada Steven. "Apa kau pernah melihat wanita ini?" Wanita dalam foto adalah Viola, gadis yang sedang memeluknya saat ini. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa preman ini mencari Viola?" Steven bermonolog dalam hati. "Kenapa hanya diam?! Wanita ini membawa kabur uang milik Bos kami!" Pria botak melotot sambil meneriaki Steven. "Jadi Viola adalah seorang penipu? Bagaimana sekarang? Apakah aku harus menyerahkannya pada preman ini?" Steven mulai ragu dengan perasaannya sendiri.Bayangan Frans terasa makin mendekat. Viola memencet tombol yang ada di dekat pintu lift.Jantung berdebar makin kencang seperti hampir meledak. Akhirnya pintu lift terbuka. Viola dengan langkah kaki yang cukup lebar masuk ke dalam lift. Ia memencet tombol dengan angka paling kecil.Pintu lift segera tertutup. Sebelum pintu lift benar benar tertutup, Viola dapat melihat dengan jelas Frans sedang mengejarnya sambil meneriakkan namanya. "Viola! Kembali padaku!" Viola merasa lega, ia akhirnya sampai di basement dan segera menelepon Steven."Halo Steven, kau ada dimana? Aku sudah ada di basement.""Aku juga baru saja sampai di basement." Steven keluar dari mobil. Ia bersiul dan melambaikan tangan pada Viola.Viola berlari ke arah Steven dan dengan buru buru masuk ke dalam mobilnya."Ayo kita pergi dari sini," ucap Viola.Steven mengangguk. "Aku akan mengantarmu pulang ke rumah. Dan meminta izin pada ibumu untuk menikahimu.""Tidak!" Viola langsung menggelengkan kepalanya. Menolak usulan
"Brak!" Suara berisik terdengar jelas di telinga Viola. Gadis itu masih meringkuk. Menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia seakan sedang melindungi dirinya dari amukan lelaki yang ada di depannya.Namun kali ini Frans bukan hanya tidak memarahinya, ia juga tidak menyentuh Viola.Frans meluapkan kekesalannya pada meja kecil dan benda benda di atas meja itu. Frans menggebrak meja lalu melemparkan barang barang ke lantai dan menghancurkannya.Frans memukul dinding penuh emosi sambil berteriak. Suara teriakannya mirip seperti macan yang mengaum. Membuat ciut nyali orang orang yang berada di sana.Setelah beberapa saat, kondisi kamar kembali hening. Viola memberanikan diri untuk melihat apa yang terjadi.Kamar yang ia tempati terlihat berantakan. Benda benda berserakan di atas lantai. Frans sedang duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lurus ke arah Viola."Maafkan aku Om." Viola mengulangi kata katanya."Berdirilah Viola. Jangan meringkuk di pojokan seperti seekor tikus!" seru Frans
Ego bercampur dengan ketertarikan pada wajah cantik Viola, membuat Steven menggelengkan kepalanya dengan mantap. Ia tidak mau menyerahkan gadis itu pada preman di depannya.Si preman pelan pelan berjalan pergi, sambil terus memandangi gadis yang memeluk Steven. Si preman menaruh rasa curiga, tapi ia tak dapat bertindak anarkis di depan umum tanpa bukti yang kuat. Sebab jika ia salah mengenali orang, ia akan mendapat masalah di kantor polisi.Steven dan Viola akhirnya sampai di restoran. Jantung Viola masih berdegup dengan kencang, meski telah berhasil mengelabuhi preman yang mencarinya tadi."Dia mencarimu. Maaf aku tak ingin ikut campur. Tapi, dia bilang jika kau membawa kabur sejumlah uang." Steven yang penasaran mulai mencari kebenaran dari Viola."Tidak. Aku tidak membawa uang mereka. Jika aku membawa uang banyak, tentu aku akan menggunakan pakaian dari perancang terkenal." Viola membela dirinya.Steven menarik nafas dalam. Ia percaya dengan ucapan Viola. Mereka pun mulai memesan
Viola menggigit bibir bawahnya. Ia hanya bisa pasrah menerima perlakuan tamu pertamanya.Mahkotanya yang paling berharga telah berhasil diambil oleh Frans. Viola memejamkan matanya, air mata menetes. Benda tumpul itu telah benar benar berhasil masuk ke bagian terdalamnya. Ia merasakan gerakan gerakan yang membuat bagian bawahnya seperti digelitik.Lama kelamaan nyeri yang ia rasakan berubah menjadi gelitikan panas yang membuat tubuhnya menggelinjang.Cairan kental terasa panas menyemburnya. Si pria terkulai lemas dan langsung tertidur di sebelahnya.Dari bagian mahkotanya, ia merasakan cairan hangat lain yang keluar. Viola mengusapnya dengan hati hati. Ia melihat cairan warna merah pada jemarinya.Kehormatan yang seharusnya dipertahankan hingga pernikahan, telah menghilang. Gadis yang telah kehilangan kep3rawan@n itu masuk ke dalam kamar mandi.Ia menyalakan shower. Membiarkan tubuhnya basah di bawah air. Ia menangis meratapi nasibnya, merasa jijik dengan apa yang baru saja terjadi p
"Berdiri yang tegak!" Seorang wanita bertubuh sintal melotot ke arah wanita muda."Iya Mi!" sahut Viola dengan gugup."Tunjukkan senyum terbaik kamu." Wanita paruh baya yang mendapat julukan Mami Dona ini, tersenyum manja ke arah para tamu lelaki yang datang ke pondok hiburannya."Wah ada yang baru nih!" Seorang lelaki tua melirik Viola. Paras Viola yang cantik membuat semua lelaki tak bisa mengalihkan pandangan mata mereka."New! Dan yang ini barang bagus! Dijamin masih segel!" Mami Dona bicara dengan gayanya yang genit."Berapa Mi?""Dua puluh ribu US Dollar!" Para tamu lelaki mulai menawarkan harga terbaik mereka. Viola hanya diam saja melihat hal itu. Sebab ia tak memiliki pilihan lain.Ibu kandungnya memiliki tanggungan hutang kepada Mami Dona dengan jumlah fantastis. Hutang tersebut digunakan untuk membayar biaya rumah sakit adiknya, yang terkapar tak berdaya karena penyakit tumor otak yang menyerangnya."Lima puluh ribu US Dollar!" Frans Chandra, pengusaha tambang batu bara t