LOGINEgo bercampur dengan ketertarikan pada wajah cantik Viola, membuat Steven menggelengkan kepalanya dengan mantap. Ia tidak mau menyerahkan gadis itu pada preman di depannya.
Si preman pelan pelan berjalan pergi, sambil terus memandangi gadis yang memeluk Steven. Si preman menaruh rasa curiga, tapi ia tak dapat bertindak anarkis di depan umum tanpa bukti yang kuat. Sebab jika ia salah mengenali orang, ia akan mendapat masalah di kantor polisi. Steven dan Viola akhirnya sampai di restoran. Jantung Viola masih berdegup dengan kencang, meski telah berhasil mengelabuhi preman yang mencarinya tadi. "Dia mencarimu. Maaf aku tak ingin ikut campur. Tapi, dia bilang jika kau membawa kabur sejumlah uang." Steven yang penasaran mulai mencari kebenaran dari Viola. "Tidak. Aku tidak membawa uang mereka. Jika aku membawa uang banyak, tentu aku akan menggunakan pakaian dari perancang terkenal." Viola membela dirinya. Steven menarik nafas dalam. Ia percaya dengan ucapan Viola. Mereka pun mulai memesan sarapan dan terus mengobrol agar lebih mengenal satu sama lain. Setelah makanan di piring mulai habis, Steven mengeluarkan sebuah kertas dan menyodorkannya ke arah Viola. "Apa ini?" tanya Viola sambil memandangi kertas tersebut. "Surat kesepakatan." "Surat kesepakatan apa?" Viola tak paham dengan ucapan Steven. Ia mulai membaca surat itu. "Pernikahan kontrak denganku. Aku akan memberikanmu uang sebagai imbalannya." "Pernikahan kontrak?" Viola mengerutkan kening. Ia mulai membaca isi surat. "Kita memang baru saja bertemu. Tapi, saat pandangan pertama aku tertarik padamu. Aku harap kau menerima tawaran ini." Steven tersenyum. Viola terdiam. Ia benar benar tak mengerti dengan maksud dan tujuan Steven menawarinya pernikahan kontrak. Tapi waktu seakan tak memberinya kesempatan untuk berpikir. Ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk dari ibunya. "Viola! Kau ada dimana? Ibu perlu uang untuk biaya pengobatan adikmu! Uang yang seharusnya Ibu bayarkan ke rumah sakit hari ini, sudah dirampas oleh Dona lagi. Semua itu karena ulahmu!" Sang ibu menyalahkan Viola. "Maafkan aku Bu. Aku akan usahakan membayar tagihan rumah sakit. Ibu tidak perlu khawatir." Si penelepon mematikan sambungan telepon begitu saja. Steven mendengar percakapan yang terjadi antara Viola dan ibunya. "Kau sepertinya sedang kesusahan." Steven mengeluarkan uang 1 juta dari dompetnya dan memberikannya pada Viola. "Untuk apa uang ini?" Viola masih merasa gengsi. Ia berpikiran untuk menolak bantuan Steven. "Kau ambil saja. Gunakan uang itu untuk keperluanmu. Dan tawaranku untuk pernikahan kontrak, kau harus segera memberikan jawabannya. Aku harap kau tak menolaknya." Steven keluar restoran lebih dulu setelah membayar makanan. Ia harus pergi ke kantor untuk menghadiri rapat penting. Viola memasukkan uang yang diberikan oleh Steven ke dalam tas kecilnya. Ia pun berjalan pulang. Sesampainya di rumah, ia terkejut melihat semua pakaiannya sudah terbungkus rapi di dalam tas besar. "Kau harus kembali ke Rumah Bagnio, Dona sudah menunggumu." Amora bicara dengan tegas. "Tapi Bu, aku tidak mau kembali ke sana. Tempat itu penuh dengan laki laki hidung belang." Viola menolak. "Viola, memangnya kau tahu apa tentang laki laki hidung belang? Hah! Kau harus belajar bertahan hidup sendiri! Jangan menyusahkan aku. Apa kau ingin melihat aku mati karena kelelahan merawatmu!" Amora mendelik. Meluapkan kekesalannya pada putrinya. Viola hanya diam. Meski semua hal yang dikatakan oleh Amora adalah omong kosong baginya. Sebab sejak masuk ke bangku SMA, Viola sudah mulai bekerja paruh waktu di toko roti. Dan semua uang gajinya diambil oleh Amora. Viola menitikkan air mata ketika ibunya mengusirnya dengan paksa. Ia membuka tas dan mengambil handphone untuk menghubungi sahabat baiknya. Amplop coklat yang ada di dalam tasnya membuat Amora tertarik. Amora dengan paksa mengambil amplop coklat tersebut. Ia tersenyum lebar melihat isinya. "Bu, jangan ambil semua uangku. Aku juga membutuhkannya untuk hidup sampai aku mendapatkan pekerjaan yang layak." "PLak!" Tanpa diduga Amora malah menampar pipi Viola. Suara tamparan yang cukup kencang membuat telinga Viola berdenging. "Kau harus kembali ke Rumah Bagnio dan bekerja di sana! Kau sudah menerima uang dalam jumlah besar dari pelanggan di sana! Jika kau berani membantah, maka aku akan membun*hmu dengan tanganku sendiri! Apa kau paham!" Amora bicara pelan, namun dengan nada penekanan. Viola menangis, ia jijik mengingat keperawanannya yang telah hilang begitu saja. Sementara itu, Amora sudah menelepon taksi langganannya yang biasa mengantarnya pergi ke rumah sakit. Taksi dengan cat warna biru tiba di depan rumah. Amora keluar sambil menarik beberapa tas besar. Ia memasukkan 2 tas besar ke dalam bagasi. "Cepat Viola! Jangan membuang waktuku! Aku akan mengantarmu, lalu pergi ke rumah sakit!" Amora berteriak kencang. Viola berjalan pelan dengan wajah menunduk. Viola duduk di samping ibunya. Tak ada percakapan di sepanjang perjalanan. Sesampainya di depan Rumah Bagnio, Amora melemparkan tas tas milik putrinya ke tanah. Wanita yang bekerja di sana, segera membawa tas milik Viola masuk ke dalam. "Ingat, kau harus tetap berada di sini. Bekerja dan menghasilkan banyak uang!" Amora mendelik. Ia masuk ke dalam taksi dan pergi dari sana. Dona yang menyaksikan semua itu, tersenyum kecut. Ia meminta pekerja wanitanya untuk mengajak Viola masuk dan memberikannya sebuah kamar khusus. "Viola kau ini gadis bod0h! Frans memberimu banyak kemewahan, tapi kau malah kabur darinya!" Dona juga mengomeli Viola. Gadis itu masih diam. Ia merasa hidupnya terlalu pahit untuk dijalani. Dona mengunci Viola di dalam kamar. Lalu menelepon Frans. Frans yang mendapatkan kabar jika Viola telah ditemukan, tersenyum getir. Ia langsung pergi ke Rumah Bagnio untuk menemui Viola. Mobil hitam melaju kencang di jalan raya. Mata Frans terlihat seperti elang yang sedang memburu mangsa. Ia kesal dengan Viola yang pergi dari rumah mewahnya tanpa pamit. "BRooM! BRooM!" Suara pedal gas yang diinjak berulang kali, membuat Dona keluar dari kamarnya. "Frans sudah datang." Dona bicara dalam hati. Ia menyambut Frans dengan senyuman. "Selamat sore menjelang malam, Om." "PLak!" Frans meluapkan kekesalannya pada Dona. Ia men@mpar wajah Dona hingga tersungkur ke lantai. Semua pekerja wanita yang ada di sana merasa ketakutan melihat sikap Frans yang arogan. "Dimana Viola?!" tanya Frans dengan wajah garangnya. "Di dia ada di kamar paling ujung." Suara Dona terbata bata karena takut. Ia menyerahkan kunci kamar pada tamu VVIP nya tersebut. Frans meraih kunci dari tangan Dona. Lalu berjalan cepat menuju ke kamar tempat dimana Viola berada. Ia membuka kunci. Lalu menendang pintu kamar. Viola terjingkat. Ia melongo melihat sikap Frans yang kasar. "Ma maafkan aku Om." Satu kalimat permintaan maaf keluar dari bibir Viola. Frans mengerutkan kening menatap Viola dengan kesal. Kedua tangannya mengepal erat. Ia berjalan cepat mendekati Viola. Viola menggigil ketakutan. Ia memejamkan mata sambil meringkuk. "Ampuni aku Om. Jangan puk*l aku," erang Viola."PLak!" Satu tamp4ran yang cukup keras membuat telinga Viola berdenging. Ia mengaduh kesakit4n. Tapi kini, matanya tak lagi berkaca kaca. Mentalnya sudah diremukkan berkali kali, ia tak lagi sedih mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya."Ucapakan kata maaf, lalu aku akan mengampunimu." Steven menatap tajam."Aku tidak mau! Aku tidak merasa bersalah! Selama pernikahan kita, aku menjaga kesetiaan! Aku tidak pernah tidur dengan orang lain, seperti yang telah kau lakukan!" Viola menjawab dengan lantang. Gerakan tubuhnya mengi$yaratkan penolakan akan penind4san."PLak!" Kali ini Steven men4mpar wajahnya lebih keras. Hingga Viola jatuh tersungkur ke lantai. Kedua tangannya ditarik ke belakang, kepalanya diinj4k oleh suaminya sendiri."Cepat minta maaf! Atau aku akan meremukk4n tulang tengk0rakmu!" Steven tampaknya sudah gelap mata. Karena Viola tak lagi merengek dan mengemis perhatiannya.Setetes air mata keluar dari sudut mata wanita itu. Steven yang melihatnya merasa puas. Ia melepaska
Frans datang ke Rumah Bagnio bersama dengan orang penting yang dikenal sebagai seorang Gubernur, pemimpin tertinggi di bagian provinsi. "Sekarang tidak ada yang bisa menghentikan aku. Dimana Viola? Kembalikan dia padaku!" Frans bicara pada wanita penghib*r yang ada di sana."Mawar baru saja dibawa ke kantor polisi. Dan Viola serta anaknya sudah dibawa pulang oleh Steven." Salah satu wanita pengh*bur memberitahu Frans."Jadi Viola kembali ke rumah Steven?!" Mata Frans terbuka lebar."Iya, suaminya memaksa untuk membawanya pulang.""Bagaimana Frans? Apa kita masih perlu menutup rumah b0rdil ini?" Sang Gubernur akan menggunakan jabatannya untuk menutup tempat hiburan itu.Sang Gubernur merupakan sahabat dekat Frans. Keduanya saling mengenal sejak duduk di bangku SMP. Pertemanan yang mereka jalin didasari oleh rasa hormat dan pengertian.Para wanita penghib*r yang mendengar ucapan Gubernur, segera mengatupkan kedua tangan mereka. Mereka tidak mau tempat yang menjadi satu satunya tumpuan u
Mawar dan orang orang yang berada di sana terkejut mendengar ucapan Steven. Tak ada orang yang melerai pertengkaran tersebut. Mereka semua hanya menonton. Membiarkan Adrian dipuk*li berkali kali hingga wajahnya babak belur."Kau yang membuang istrimu demi tembikar dari desa! Dan aku hanya mengambil apa yang sudah kau buang!" sahut Adrian dengan suara terbata bata."Siapa yang membuangnya? Aku tidak membuang Viola!!" Steven berteriak penuh amarah. Ia berusaha untuk menc3kik adiknya sendiri. Kali ini, semua orang yang berada di sana melerai pertengkaran mereka."Dimana Viola? Akan aku bongkar tempat ini, jika aku tidak menemukan Viola." Steven berteriak sambil melotot memandangi satu per satu wajah yang ada di depannya."Kau tidak berhak memiliki Viola lagi! Dia sudah bebas sekarang! Dia bisa memilih dengan siapa dia akan menikah!" Adrian melud4hi wajah Kakaknya. Ia menarik tubuhnya ke samping lalu bangkit berdiri. "Dia bisa tidur dengan s
"BRak! BRak!" Frans mengetuk pintu dengan kencang hingga suaranya terdengar seperti orang yang sedang memukul mukul pintu dari luar."Siapa yang mengetuk pintu? Mengganggu sekali!" Adrian enggan membuka pintu. Ia terus memainkan wanita yang ada di depannya."BRak! BRak!" Sementara Frans terus saja memukul pintu dengan keras. Hal ini menarik perhatian Mawar."Om Frans? Apa yang anda lakukan di sini? Apa anda lupa jika kamar ini adalah kamar VVIP khusus untuk pelanggan yang telah membayar mahal. Mawar menegur sikap Frans. Ia tak ingin Frans mengganggu Adrian yang sedang bercumbu dengan Viola."Aku ingin Viola keluar! Dia tidak boleh melayani siapapun!" Frans menjawab dengan tegas."Viola tidak bisa pergi kemana mana! Dia harus tetap berada di sini! Dia adalah bintang di rumah b0rdil ini!" Mawar menjawab dengan mata melotot, mengisyaratkan bahwa ia tak mau berkompromi dengan Frans."Berapa uang yang dibayarkan pria itu padamu?" tany
"Selamat malam untuk kalian semua! Malam ini kita kedatangan wanita paling cantik di Rumah Bagnio." Mawar mulai memperkenalkan Viola di depan umum."Berapa harganya?" Salah satu tamu langsung bertanya pada Mawar. Raut wajahnya terlihat tidak sabar."Sabar Om. Sebentar lagi kita akan mulai acaranya." Mawar tersenyum genit. Wajahnya sumringah membayangkan banyaknya uang yang bisa ia dapatkan dalam semalam."Ayo buka harganya!" teriak pria yang lain lagi. "Aku tidak bisa! Aku tidak bisa melakukan ini." Viola menggeleng sambil bicara pelan. Wajahnya memelas, ia berusaha merayu Mawar agar tidak menju4lnya pada lelaki hidung b3lang."Jika kau mundur, maka aku akan membawa anakmu pergi dari sini. Dan selamanya, kau tak akan pernah bertemu dengan anakmu lagi." Mawar menunjuk ke arah sisi kirinya. Viola melihat ke arah yang ditunjuk oleh Mawar. Ternyata ada seorang wanita yang saat ini sedang menggendong putranya."Alvaro!" uca
Meski awalnya sempat ragu, tapi akhirnya ia tetap datang ke Rumah Bagnio untuk mencari Mami Dona. Saat ia baru sampai di sana, 2 orang wanita berbisik bisik sambil melihat ke arahnya. Setelah itu, salah satu dari mereka pergi masuk ke dalam Rumah Bagnio.Tak berselang lama, Mawar datang menemuinya. "Kau pasti datang ke sini untuk mencari Dona, iya kan?" "Dimana dia?" Viola mengangguk."Viola, aku penasaran apa hubunganmu dengan Dona?" Mawar berjalan mendekat."Kami berteman baik." Viola melihat gerak gerik Mawar yang terlihat berbeda."Hmm! Itu bagus! Kalau begitu, apakah Dona juga sudah memberitahumu perihal tunggakan uang pajak rumah b0rdil ini?" Mawar mengerutkan kening."Tidak! Untuk yang satu itu aku tidak tahu." Viola menggeleng."Kau tidak tahu?" Mawar bertanya sekali lagi. Dan Viola segera menggelengkan kepala."Aneh sekali!" seru Mawar."Dimana Dona? Aku ingin bertemu dengannya." Viola menatap







