Udah double yaaa ... huhu. Makin gemes nggak sih sama Aditama, pemain emang hahaha ...
“Pengen cucu,” celetuk Aditama. Senyum kecilnya tak dibalas. Kinara diam saja, kepalanya menunduk. Jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan, seolah sedang mencoba menahan sesuatu dalam dirinya.“Bercandaaa ....” Suara Aditama melembut, menyadari respons Kinara yang berbeda. Tapi tetap tak ada balasan. Tak ada tawa kecil. Kinara hanya diam. Dan diam yang ini … menakutkan.“Ra?” panggilnya ragu, tangannya hendak menyentuh jemari Kinara, tapi wanita itu buru-buru menarik tangannya.“Aku … aku mau keluar sebentar,” gumam Kinara pelan, hampir tak terdengar. Ia berdiri tanpa menoleh dan melangkah pergi keluar kamar.Langkah Kinara terus hingga keluar dari unitnya—berjalan tidak tentu arah hingga ia tersadar saat lift berdenting dan dia sudah berada di lobi. Kinara melangkah ragu menelisik sekitar. Pandangannya jatuh pada taman yang tidak jauh dari lobi.Sementara, Aditama merasa bersalah karena menyinggung hal itu. Kinara pasti teringat akan kehamilan dan kehilangan anak mereka.‘Bodoh
"Mas!" bisiknya, suara nyaris tak terdengar, pipinya sudah memanas.Aditama hanya mengangkat sebelah alisnya, matanya tak lepas dari rona merah yang menyebar di wajah Kinara. Ia mengusap pipi itu dengan lembut. Sekuat hati Aditama menahan diri, tidak ingin merusak momen langka ini. Sang istri sedang mode jinak, harus disayang-sayang sebelum berubah menjadi macan.Kinara mengangguk pelan.“Kita tertidur sampai lewat waktu makan siang. Mau makan di kamar saja atau pindah keluar saja?” tanya Aditama, masih membelai sayang rambut kesayangannya.“Di … kamar,” lirih Kinara, meringis tipis.Aditama mengangguk setuju. Aditama menyambut jawaban itu dengan menarik Kinara lebih dekat, kepalanya bersandar ringan di atas rambut perempuan itu. Wajah Kinara nyaris tenggelam di dadanya, dan ia tidak berniat melepaskannya dalam waktu dekat.Namun, tiba-tiba tubuh Kinara menegang sedikit.“Mas,” bisiknya sambil mendongak, “tangannya nggak sakit lagi?”Sekejap, Aditama terdiam. Ia baru ingat—sandiwarany
Mau tidak mau Kinara tetap menyuapi Aditama, ia melakukan ini karena lelaki itu sudah menyelamatkannya semalam. Harus balas budi ‘kan?Wajah Kinara datar menyuapi Aditama, sementara yang disuap sumringah.“Mau minum,” pintanya manja, menunjuk gelas air putih di atas meja. Tak terima disuruh-suruh Kinara mengerjakannya setengah hati.Ah, mimpi apa Kinara semalam hingga paginya begitu menyebalkan, pekiknya dalam hati. Berbeda dengan Aditama yang bahagia luar biasa.“Setelah ini mau bahas perihal audit sebentar, nggak?” tanya Aditama dan Kinara mengangguk setuju.Usai sarapan, Aditama duduk bersandar di sandaran ranjang, sementara Kinara duduk di sampingnya, menyilangkan kaki di atas kasur. Suasana kamar sepi, hanya terdengar dengus napas mereka dan hembusan angin dari celah balkon yang terbuka. Sesantai itu akhir pekan mereka, suasana ini sangat kontras dengan isi kepala mereka yang sama-sama dipenuhi dengan banyak pikiran.“Ra,” gumam Aditama, menoleh sebentar, menatap kesayangannya–mu
Jari-jari Kinara sempat ragu saat menyentuh kancing terakhir kemeja Aditama. Satu per satu terbuka, memperlihatkan kulit hangat dan garis-garis otot yang terbentuk sempurna di perut pria itu. Sekilas pandangnya terpaku—tak sengaja—sebelum buru-buru berpaling, wajahnya menghangat.“Sudah,” katanya singkat, suaranya sedikit tercekat meski ia berusaha terdengar biasa.“Celananya?” suara Aditama terdengar santai, tapi sorot matanya menyimpan usil yang sulit disembunyikan.Kinara sontak menoleh, alisnya terangkat tinggi. “Mas!” nada suaranya nyaris melengking, pipinya mulai menghangat.Aditama mengangkat bahu, seolah tak bersalah. “Aku harus ganti semuanya, Ra.”Tatapan Kinara menusuk, tubuhnya mundur setengah langkah. “Jangan aneh-aneh. Ganti sendiri atau pindah tidur ke sofa!”Mata Aditama membulat dramatis, lalu cepat mengangguk. “Aku ganti sendiri,” sahutnya cepat, seperti tahu batas aman telah dilewati. “Teganya kamu ini,” gerutunya.Aditama memperhatikan Kinara yang buru-buru merapik
“Melakukan apa?” tanya Aditama, bingung.Kinara memberikan map cokelat kepada Aditama—membuat lelaki itu menepikan mobilnya dan membuka map tersebut. “Karena ini?” tanya Aditama. “Kamu pantas mendapatkannya.”Kinara memberikan ponselnya kepada Aditama. Melihat apa yang Kinara maksud, Aditama mengembuskan napas pelan meraih tangan Kinara.“Apa lagi yang Mas lakukan?” tanya Kinara menoleh ke arah Aditama.“Apa pun … apa pun akan aku lakukan untuk kamu, Ra.”FlashbackSaat pertemuan dengan Dito …“Mas mencintai kamu, Ra. Sejak pertama kali datang ke rumah Ayah.”Kinara menggeleng pelan, matanya memerah. Ia sulit percaya—selama ini, perhatian Dito yang ia anggap sebagai kasih sayang kakak, ternyata adalah perasaan yang terlarang.“Maaf, Mas ... aku nggak bisa membalas perasaan Mas Dito,” balas Kinara tertunduk.“Karena Aditama?”“Mas ....” Kinara memprotes, suaranya tercekat.“Berhenti menyangkal, Ra,” ucap Dito, lirih tapi tegas. “Kamu sangat mencintainya. Seberapa dalam pun luka yang dia
Mana yang lebih dulu harus Aditama katakan. Mengabarkan bahwa Dito telah bebas dari segala tuduhan, atau menyampaikan bahwa lelaki itu ingin bertemu dengan Kinara. Dua hal yang sama-sama tak ia sukai, sama-sama mengusik pikirannya.Meski mereka bersaudara, entah kenapa Aditama tak pernah bisa menerima kedekatan Dito dan Kinara. Ada yang terasa ganjil. Ia yakin, Dito memang menginginkan istrinya.Aditama mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan emosi yang mendidih. Dari balik meja, Kinara mengamatinya dalam diam. Pria itu tampak gelisah sendiri, sibuk dengan pikirannya yang … entah apa. Kinara sempat mengalihkan pandangan ke berkas di hadapannya, tapi rasa ingin tahu membuatnya kembali melirik ke arah Aditama. Pandangan mereka pun tak sengaja bertemu.“Ba—bagaimana hasil pemeriksaan Mas Dito?” tanya Kinara pelan, sedikit ragu.Padahal Kinara hanya ingin mencari topik pembicaraan saja. namun, siapa sangka topik itu justru membuat Aditama kesa. Lelaki itu menyipitkan mata, memb
Kinara masih saja larut dalam sedihnya. Sejak pagi, ponselnya terus bergetar—pesan demi pesan dari Dito masuk, memohon agar ia mau mendengar penjelasan. Lelaki itu bersikeras, mengatakan bahwa dirinya tak pernah ikut campur dalam pengelolaan perusahaan, meski namanya tercantum sebagai salah satu pemegang saham.Namun Kinara tetap diam. Tak ada balasan. Ia terlalu letih untuk memilah mana yang jujur dan mana yang hanya sandiwara.Ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan menonton drama favorit-nya, meski matanya tak benar-benar fokus. Kinara tersentak ketika Aditama tiba-tiba keluar dari kamar utama, lalu dengan santainya merebahkan diri di sofa dan menjadikan pahanya sebagai bantal.“Mas—”“Biarkan seperti ini sebentar, Ra. Aku capek banget,” rajuknya, manja. Tapi Kinara tetap bisa melihat wajah lelah lelaki itu.“Ya sudah, tidur saja sana,” tolak Kinara. Ia sengaja melakukan itu karena saat ini detak jantung tidak baik-baik saja.“Tidur di kasur setipis itu bikin badan pegal semua, Ra,
‘Dito Prajasutra.’Nama itu terus berputar di kepala Kinara. Ia masih belum percaya dengan kenyataan satu ini. Ponselnya berdering sejak sore tadi. Nama penelponnya bergantian—Diani, Dita, dan ... Dito.Namun tak satu pun dari panggilan itu ia jawab.Bukan karena tidak ingin, tapi karena Aditama melarangnya. Lelaki itu tidak mengizinkan Kinara menerima telepon dari mereka. Mereka hanya boleh bicara dalam pertemuan resmi. Bukan tanpa alasan, Aditama hanya ini audit ini berjalan lancar tanpa drama.Kini, malam telah tiba. Udara terasa dingin menusuk, tapi bukannya berselimut hangat di ranjang, Kinara justru duduk diam di kursi dekat balkon kamar—menggenggam gelas berisi susu hangat sudah nyaris dingin. Pandangannya kosong, tertuju ke arah kegelapan.Aditama yang duduk di sampingnya, menatap layar laptop yang menampilkan laporan hasil audit hari ini. Meski mereka sudah di rumah, belum ada yang benar-benar bisa beristirahat.“Setelah ini, biar aku bantu kamu urus semuanya sampai tuntas. Sa
Dita melempar ponselnya ke atas kasur, wajahnya penuh frustrasi. Ia mengerang kesal usai bercerita dengan mamanya perihal apa yang terjadi hari ini. "Mama harus tanggung jawab! Aku kan nggak ikut-ikutan!"Diani yang duduk di sofa kamar pun mendadak ikut panik. Tangan kanannya memijat pangkal hidungnya, sementara tangan kirinya meremas keras, mencoba tetap tenang di hadapan anak sulungnya. Kekacauan hari ini terlalu besar untuk diabaikan. Nama mereka bisa hancur."Tenang dong, Dita," ujarnya, suaranya meninggi meski berusaha tetap terdengar stabil. “Jangan bilang nggak ikut-ikutan. Kamu bukain usaha cowok kamu itu uang dari mana, hah?”Dita mengernyit. “Tapi aku nggak tahu urusan uang itu, Ma. Semuanya ‘kan ujung-ujungnya ke Mama. Kita udah bayar mahal pengacara keluarga! Tapi kalau sampai terseret juga—” Dita berhenti, napasnya memburu. “Maaa … aku mau nikah loh ini!” Dita merintih, suaranya penuh ketakutan. Air matanya mulai menggenang.Diani memejamkan mata. Kepalanya seperti mau pec