Nasi telah menjadi bubur. Dosa terlaksana dan kini Nayla siap menanggung hukuman. Tidak ada lagi bahasa kelembutan, senyum yang teduh, apalagi perhatian hangat seperti hari-hari di saat dia dan suaminya tengah bersama-sama. Ingin mendapat pembelaan dari siapa? Kenyataan itu datang karena ulahnya sendiri, dia yang tidak berhati-hati. Kendati Sammy merupakan keluarga, tapi dia tetaplah seorang pria. Pria kesepian gemar bermain dengan banyak wanita.
Koper yang dipenuhi pakaian-pakaian miliknya dia geret perlahan menuruni anak tangga. Semua pelayan menunggu di bawah dengan ragam tatapan memprihatinkan; ada yang kecewa, ada pula yang terlihat geram. Tentu mereka semua turut merasakan kesedihan serupa atas pengkhianatan paling mengejutkan, bahkan tidak pula pernah diduga-duga. Mereka tahu betul seberapa idealnya Tuan dan Nyonya di rumah itu, indah dan serasi bagaikan siang dan malam.Matanya menelusuri penjuru ruang, mengulang kenangan di setiap sisi. Sejenak atensinya terpaut di sofa besar berwarna burgundy di seberang tv layar datar, merupakan saksi mati seluruh kemesraan mereka. Di ambang pintu utama, Nayla mendapati bayangan dirinya tengah dibopong oleh sang suami, lengkap dengan pakaian pengantin.'Selamat datang di rumah kita, Nay.'Embusan napasnya berbunyi cukup keras gara-gara penggalan kata tersebut menegur ingatannya.'Aku akan kembali, Juna. Kau sangat mencintaiku, aku tahu itu,' batin wanita itu seraya meneruskan langkah."Bibi, Aku minta maaf atas peristiwa kemarin." Perlakuan istimewa yang pernah dia dapatkan dari Bibi Siti, mau tak mau mendorong Nayla untuk menaruh rasa hormatnya pada si kepala pelayan itu."Saya tidak berhak menerima itu dari Anda. Entah ujian apa yang menimpa Tuan muda, sepantasnya maaf itu Anda tujukan kepadanya, Nyonya." Pandangnya menurun, sengaja mengalihkan perhatian dari raut tak terbaca di hadapannya. "Semoga Anda bisa belajar dari kesalahan ini dan mau memperbaikinya." Bibi Siti membungkuk sebentar. Tak tahu ekspresi jemu yang sedang dipampangkan Nayla, maniknya berotasi seiring dia mengerang keras.Enggan berlama-lama berdiri di depan para pelayan, dia pun melebarkan langkah meninggalkan keheningan di sana. Tiada kata perpisahan, melainkan semua pasang mata mengamati kepergiannya bersama ragam asumsi.Tungkainya menapaki halaman dengan tenang, menghampiri taksi yang lebih dahulu menunggunya di muka gerbang. Nayla memilih langsung duduk di kursi penumpang, mengenakan kacamata hitamnya sebelum mengawasi gedung yang sejak tiga tahun belakangan dia tempati."Kita lihat saja, kau bakal menjemputku pulang. Aku bisa memastikannya!"-----"Hei hei hei, hentikan itu! Kau minum anggur di pagi hari?" Dua botol anggur di atas meja kerja, Kenny terkejut menemukan minuman beralkohol itu saat dia baru saja masuk ke ruang pimpinan. "Ayo, duduklah! Tenangkan dirimu. Bakal merugikan jika sikapmu seperti ini. Bukan cuma terhadap dirimu, tapi juga perusahaan kita.""Jadi aku harus apa? Astaga...! Dia yang kupercaya, selalu kurindukan kehadirannya, dia yang tidak pernah hilang dari pikiranku, kau lihat apa yang sudah dia perbuat? Dia tidur dengan pamanku, bajingan tua itu menghancurkan kebahagiaanku." Mudah sekali kepedihan terpancing, akibat tidak tahu cara apa yang ampuh digunakan untuk menghapus jejak perselingkuhan kejam dari dalam benaknya. Tak lelah-lelahnya Juna meraung, menyesalkan nasib yang mencurangi. Keningnya menempel di permukaan meja, berikut sebelah lengannya sebagai alas dan bisa diamati bagaimana tangisan menyebabkan tubuhnya bergetar."Takdir yang menginginkan peristiwa ini. Kau boleh meratapinya, tapi bukan untuk menetapkan dirimu di ruang kekecewaan. Kau harus segera bangkit, masa depanmu tidak habis hanya di sini. Aku percaya, kelak akan ada hari-hari bahagia menyambutmu.""Aku tidak yakin." Jawaban itu parau, jelas mengiris hati bagi pendengar."Kau salah. Aku mengenalmu, lebih dari siapa pun. Kau tidak mungkin menghancurkan dirimu, impianmu, kenang-kenangan dari keluargamu, jeri payah ayah dan kakekmu, apa kau siap mengorbankan semuanya?""YA! Keburukan apalagi yang datang nantinya. Kau tidak mengerti sakit yang kuterima, bisa membekas dalam waktu lama. Aku merasa kalah dan terhina."Kenny menyorot prihatin. Sesaat dia terdiam, mengamati sosok teman karibnya dengan kesenduan serupa.-----Bimbang menekan niat Nayla untuk masuk ke dalam, menimbang-nimbang alasan logis yang sekira dapat melindungi dia dari rentetan tanya orangtua tunggalnya. Mustahil berkata jujur, mengumumkan kedatangan akibat reaksi keras Juna terhadap perselingkuhan yang dia perbuat.Amat memalukan saat ibunya menertawai, bahkan mungkin tak sungkan memaki-maki.Untuk ke sekian kali dia mendesau kesal, sedikit menyesali ketidakbecusannya dalam mengontrol diri. Juna sosok yang baik, mendekati sempurna seperti idaman para wanita. Dia tampan, kaya, penuh perhatian dan paling utama adalah pria itu mencintai dirinya.'Kau yakin suamimu setia? Mengencani beberapa wanita seksi bukanlah masalah bagi pebisnis. Aku ragu dia dapat menahan libidonya selama dua bulan. Pria yang sudah menikah lebih berbahaya daripada bujangan, kau mengerti? Makin sulit menjinakkan gairah.'Kalimat sekian merupakan bujuk rayu yang merasuki Nayla. Alkohol pula sedikit berperan melenakan kewarasan. Mudah sekali bagi Sammy menundukkan istri si keponakan. Hanya butuh sehari dan wanita berparas manis itu bersedia menyerahkan diri sepenuhnya. Bukan satu dua kesempatan, mereka menelan kenikmatan di setiap hasrat yang menggebu seolah nafsu telah mengambil alih kuasa."Apa yang kupikirkan? Aku hanya perlu merebut hatinya lagi. Dia tidak akan segampang itu melupakanku, tapi aku harus bersabar sampai dia memaafkan." Menyemangati diri demi sebentuk pertahanan, dia membangun kekuatan agar siap menghadapi respons yang dapat dicetuskan ibunya. Berujung Nayla mengangkat langkah hingga ke pintu, menangkap bunyi bel yang ditekan sebagai pengiring kemunculan ibunya."Nay, kau pulang? Di mana suamimu?" cecar ibunya usai mendapati koper besar berdiri tegak di samping putrinya. "Kau sendirian?""Iya, Bu.""Apa yang terjadi? Kenapa kau membawa koper? Dan di mana suamimu? Apa dia tahu kau pergi?"Bertubi-tubi cecaran berlanjut dan Nayla urung berterus terang, setidaknya menunggu saat pikiran betul-betul lapang. Dia tidak ingin salah bicara, lantas memperkeruh situasi bahkan mampu mengancam eksistensinya. Mendadak Nayla merasa jantungnya berdetak terlampau kencang. Kata-kata sang ibu menjadikan dirinya gugup setengah mati."Dia sibuk, Bu." Selintas senyum sumbang terukir di parasnya, "Aku rindu suasana rumah. Ehm—aku boleh menginap 'kan Bu?!"Secara naluriah Nayla mengenal watak ibunya yang keras dan ambisius. Termasuk terhadap suaminya, Juna. Pria itu tidak hanya kaya raya, namun cukup disegani dikancah dunia bisnis. Kendati, Nayla menyadari sejak dahulu bahwa sikap protektif ibunya cenderung mengarah pada keuntungan pribadi.Situasi yang semula terasa damai serta menyenangkan mendadak kaku. Si gadis manis bimbang apakah patut mengutarakan rasa penasaran yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Dia sekadar duduk diam di kursi di samping Amelia, menanti temannya ini memulai percakapan mereka. Sedang, Juna Janendra menyingkir sejenak seraya sibuk pula menyusun praduga di dalam pikirannya. Dia melihat gadis pemilik gummy smile itu ketika menyaksikan pertunjukan Jihan di kafe Tuan Beno bersama pemuda yang juga dia yakini berangsur-angsur berubah peran menjadi rivalnya untuk mendapatkan hati si gadis manis. "Aku dan Dave sudah putus," Amelia menengok ke sebelah, menemukan si gadis manis betah menundukkan wajahnya. "Kamu tidak terkejut 'kan, Jihan? Aku tahu kamu pasti memperkirakan hal ini akan terjadi." Kontan saja si gadis manis mendongak, mengerutkan kening tanda penolakannya terhadap penuturan barusan. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu, ataupun dia. Sejak awal akulah yang memaksakan kehendakku, walau aku sadar pe
"Kau senang?!" Walau yang terlihat bukanlah reaksi mencolok. Namun, Juna Janendra mendapati bibir gadis di sampingnya melengkung tipis. Baru sepuluh menit dia menyetir sejak mereka memutuskan pergi dari rumah sakit. Paman Beno tentu membutuhkan waktu istirahat lebih banyak agar bisa segera pulih. "Aku lega untuk Paman Beno. Tadinya aku pikir tidak akan secepat itu beliau sadar. Bibi juga sangat baik, bersedia merawat dan menemaninya seharian penuh." "Jika perkiraanku tidak meleset, Paman Beno bisa saja diperbolehkan pulang dalam dua atau tiga hari lagi." "Aku harap begitu. Aku rindu menyanyi di kafenya." "Aku pun sama, merindukan suaramu." Juna memperhatikan si gadis manis usai mengungkapkan perasaannya saat ini. "Kenapa kau hanya diam, Jihan? Apa kau tidak senang mendengar pengakuanku?" Senyumnya tertarik ringan, seakan memaklumi andai jawaban gadis itu tak seperti dugaan. "Kenapa aku harus marah padamu?!" Mereka berbalas senyuman sembari berpura-pura tidak menyadari bahwa getar
Semua kenangan itu seakan baru terjadi kemarin sore. Jihan Pitaloka kembali menyadari perasaan mendalam terhadap Dave Hardinata pernah ada di beberapa tahun silam dan dia benar-benar menikmatinya sebagai sesuatu ketertarikan emosional untuk lawan jenis. Bermula ketika dia baru menduduki bangku SMA. Jihan yang sekadar gadis yatim piatu masih memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah elit di Ibu Kota. Kendati dalam keterbatasan keadaannya, dia tetap mampu mempersiapkan diri agar terlihat pantas berada di gedung mewah bersama sekumpulan remaja kaya. Dia yang seorang pendatang memutuskan untuk memperjuangkan masa depan di antara keras dan sulitnya persaingan hidup. Bersama Daniel Wilman, si gadis manis mengira keberanian dan kekuatannya meningkat. Dia berpikir siap menapaki upaya demi upaya untuk meraih impiannya. Selain cerdas, Daniel dikenalnya sebagai sosok tumpuan pengganti kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Persis kebanyakan para remaja pada umumn
Radit kehilangan suara ketika dihadapkan dengan masalah pelik tak disangka-sangka seperti ini. Yang dapat dia lakukan hanya terdiam sambil logikanya menganalisa di dalam dugaan. Gerak kaki lebih terburu-buru daripada jalan santai yang kerap dia lakukan. Bersisian dengan Bastian yang betah pula mengoceh sejak mereka mendatangi ruang konseling sepuluh menit lalu. "Kenapa dia di-skors? Kita tahu apa yang dia lakukan—24 jam penuh aku bisa menjelaskannya. Ayo, kita harus mencoba cara ini." Cukup berat hawa napasnya berbunyi. Namun, tak ada sepatah kata yang Radit ucapkan. "Kau dengar aku 'kan? Kubilang kita perlu menerangkan apa yang kita tahu, terserah apa saja. Asalkan si Dave selamat dari hukuman itu." Tetap juga belum ada tanggapan sampai-sampai Bastian merasakan jemu menahan diri. "Kalau kau tidak mau, aku bisa sendiri!" "Bastian!!" Keduanya spontan berhenti usai kerasnya seruan Radit menyentak mereka bersamaan. "Maafkan aku." "Aku mengerti." Muncul penyesalan di raut Radit —buka
Sekotak es kubus baru saja diambil dari dalam freezer, Dave Hardinata memasukkannya ke wadah berisi air bersih. Dia melenggang ke ruang TV di mana Bastian dan Radit sudah duduk di sana, menyantap ayam goreng krispi yang mereka pesan lewat daring. "Si pengecut itu, aku jadi menyesal kita menerima tantangan dia." "Kita tidak bisa menghindari pertandingan itu. Dia sengaja memanas-manasiku sebelum balapan dimulai. Konon lagi jika kita menolaknya, mungkin baku hantam langsung kejadian di tempat." "Perkiraanku juga begitu, Dave." Radit menyambung jangka dia mengunyah paha ayam goreng pedas manis kesukaannya. "Tapi, dia memang tidak bisa juga dijadikan rival. Kemampuan standar, kesadaran diri kurang." "Cocok 'kan aku sebut dia pengecut?!" tekan Bastian lagi, mengulang perkataan dia sebelumnya. "Omong-omong, Dave—bukannya kau yang dikeroyok, justru mereka semua menyerah?" "Kecuali si rambut hijau. Aku tidak tahu dia memikirkan apa. Aku buru-buru kabur sebelum mereka semua bangun dan mal
Perlengkapan menulis, botol minuman, ramen cup, handuk kecil, kaus pendek, legging, semua benda-benda ini dimasukkan Jihan remaja ke dalam ransel. Bertepatan dia hendak menyandang tasnya, teriakan lembut oleh Daniel Wilman terdengar. "Iya, Kak. Aku segera turun." "Kasihan temanmu, Peri kecil. Dia sudah menunggu sejak tadi." "Tidak apa-apa, Kak. Salma memang sengaja datang lebih awal." "Pulang jam berapa?" "Sepertinya lumayan sore. Tapi aku usahakan sampai di rumah sebelum malam." "Kakak siapkan bekal, ya?" "Aku bawa ramyun." Daniel refleks menghela napas. "Ramyun saja tidak cukup. Tugas-tugasmu banyak 'kan? Otak perlu dikasih makanan bergizi supaya lancar buat berpikir. Jangan pergi dulu, Kakak tambah porsinya untuk dibagi ke temanmu." "Ya sudah, aku tunggu di depan, ya." Jihan remaja bergegas menjumpai Salma selagi Daniel mengemasi bekal di dapur. "Pergi sekarang?" "Tunggu, Kakak ingin menambahkan bekal yang aku bawa." "Ini ke mana dulu? Jadi ke perpustakaan sekolah?" "