Share

Sumber rasa senang Daniel

"Nay, katakan apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tiba-tiba pulang membawa koper? Suamimu mana?" Siska Admaji melipat kedua lengan di atas meja makan. Tatapan menuntut tak sekalipun beralih dari sosok putrinya di seberang dia.

"Bu, a-aku minta maaf. Aku mengacaukan semuanya."

"Bicara yang jelas, Nayla!"

"Aku akan bicara, tapi ibu jangan marah padaku. Sungguh, aku tidak sengaja."

Siska mengembus kasar napasnya, sejenak mata pun terpejam. "Katakan!" Itu adalah bentakan keras semacam peringatan, Nayla terperanjat di posisinya.

"Dia mengusirku ..."

Seketika Siska terbelalak.

"Aku tidur dengan Paman Sam." Suaranya mengecil di ujung kalimat, memalingkan muka tanda tak siap menerima reaksi ibunya.

"BODOH! Apa kau memang sedungu itu, Nayla? Hah?!" tahu-tahu Siska bangkit, cepat sekali segalanya berlangsung di mana dia menarik kerah baju putrinya untuk mendaratkan satu tamparan kencang ke pipi. "Aku tidak masalah dengan kelakuan rendahmu. Harusnya kau berpikir dua kali sebelum menghancurkan hidupmu sendiri!"

"Hidup Ibu maksudnya?!" Nayla menyangkal, menangkup pipi kirinya yang kini perih.

"DIAM! Kau pikir siapa dirimu? Jika bukan karena aku, kau tidak bisa menikahi si kaya itu. Jangan macam-macam denganku, Nayla! Setelah upaya keras yang kuperjuangkan untuk membuatmu masuk ke dalam keluarga Janendra, inikah caramu berterimakasih pada Ibumu? Sialan sekali, astaga ...! Kepalaku benar-benar pusing." Mengempaskan diri ke kursi, Siska menekan masing-masing pelipisnya dengan mata tertutup. Menit selanjutnya ia mengerang kesal, mengusap wajahnya yang kentara menahan amarah di situ. "Aku lupa seberapa murahnya putriku. Terserah siapa yang menidurimu, tapi bisakah sedikit saja kau menahan diri?!"

"Bu, tolong jangan begitu. Aku ini anakmu."

"Apa, kenapa?! Kata-kataku menyinggungmu? Sudahlah, Nay! Aku benci basa-basi. Pikirkan bagaimana caramu menyelesaikan masalah ini. Pakai otakmu yang pas-pasan itu."

.....

"Kau yakin dengan semua ini?"

"Tidak usah mempertanyakan keputusanku, Ken. Aku tahu apa yang perlu kuperbuat. Nayla tetap akan menerima kompensasi dari keluarga Janendra. Segera, usai aku meluruskan kerusuhan yang dia lakukan. Dia tidak hanya menghina harga diriku, tapi nama baik keluarga besarku. Bibi Siti menyaksikan betapa memalukannya tingkah mereka." Lagi-lagi terbentur rasa pening. Perselingkuhan istrinya pasti menimbulkan efek terburuk tiada disangka.

"Lalu Paman Sammy?!"

"Entahlah. Aku masih bingung harus bertindak bagaimana terhadap dia. Selama ini dia tidak pernah menunjukkan kejanggalan apa-apa, dia mencintai perusahaan ini sama besarnya sepertiku. Aku ragu dan sulit menerka-nerka tujuannya."

Kenny mengangguk, melipat bibir dengan kedua tangannya bertaut di bawah dagu. "Kau benar, kita tidak bisa gegabah dalam hal ini. Empat puluh persen saham perusahaan adalah miliknya dan dia adik kandung ibumu."

"Argh! Kenapa aku bisa jatuh hati dengan wanita seperti itu?! Aku jadi membenci semua yang terjadi."

"Tenangkan dirimu, untuk apa menyalahkan diri sendiri? Bahkan kau tidak dapat mengira-ngira peristiwa apa yang kelak terjadi."

"Aku ingin, sangat mengharapkan ketenangan. Tapi apa yang kuterima?! Di sini! Di kepalaku ini, terus-menerus mengulang kebejatan itu! Di kamarku, Ken! Di kamarku dia mengerang-ngerang hilang kendali. Dia, dia wanita yang kunikahi, kuangkat martabatnya, kemudian melempar kotoran ke wajahku. Ini lebih dari pengkhianatan! Ini merusak mentalku. Aku ingin sekali menyumpahi dia, membencinya setengah mati, aku—aku jijik."

"Manusiawi, kau pantas bersikap begini. Biarkan, kehidupan tidak berporos pada dia saja."

"Aku akan menceraikan dia, secepatnya! Tolong bantu aku, hubungi Daniel!"

"Kau yakin tidak berubah pikiran lagi? Maaf, bukan mau mendiktemu. Hanya mengingatkan bahwa dulu kau sangat mencintai—"

"Cukup! Satu-satunya yang paling kuinginkan adalah menyingkirkan dia dari hadapanku."

"Baiklah." Penegasan datang, Kenny pun beranjak keluar seraya meraih telepon genggamnya dari saku celana.

-----

"Kak Dan—"

"Hai, Jihan."

Yang disapa membagi senyum tercantik miliknya, Jihan Pitaloka.

"Kau tidak bertanya kenapa aku ke sini?" Daniel Wilman bertanya.

"Haruskah, Kak?! Kau mau mengajakku ke mana?"

"Blak-blakan sekali, tidak ada basa-basi manis untukku? Bagaimana kabarku hari ini, aku makan dengan baik atau tidak dan—"

"Aku tahu kau tidak suka hal-hal seperti itu."

"Dasar!" Daniel hanya bisa tersenyum lebar, menarik pintu mobil seraya mempersilakan Jihan untuk masuk. Seringai gembira si pria berparas teduh itu tak lekang dari wajahnya, mengiringi geraknya ke kursi kemudi.

"Dari mana Kakak tahu aku pulang jam segini?"

"Sejujurnya aku tidak tahu, biasanya juga hampir sore 'kan?"

"Ya, ada dosen yang tidak datang hari ini. Mata kuliahnya di jam terakhir. Karena malas berlama-lama di kelas, aku memilih pulang."

"Aku juga sedang malas di kantor. Mumpung lenggang, aku kepikiran dirimu dan langsung tancap gas ke sini."

"Kemari cuma untuk mengajakku duduk-duduk di mobil?!"

"Ah, kenapa mesinnya belum dinyalakan? Ya ampun—itu karena keasyikan mengobrol denganmu, aku jadi lupa segalanya." Nyaris Daniel salah tingkah. Dia menarik tuas persneling tergesa-gesa, mengabaikan Jihan yang sekarang cekikikan di sebelahnya. "Kita makan dulu, ya? Perutku keroncongan."

"Pasti karena belum sarapan."

"Aku tidak sempat memasak."

"Kakak 'kan bisa pesan lewat daring."

"Ehm—enaknya kita makan apa kira-kira?"

"Kak, jangan mengalihkan topik! Kalau lambungmu kambuh bagaimana? Sarapan pagi itu penting, Kak." Sejemang sunyi melintas semasih Jihan mengamati ekspresi tenang di muka Daniel Wilman. "Memangnya ucapanku lucu? Kakak malah cengengesan. Kau paham tidak, penyakitmu itu berbahaya?! Tapi kau selalu menyepelekannya."

"Aku hanya terlalu senang. Senang sekali saat kau begitu perhatian padaku, mencemaskan aku."

"Ck!" Jihan berdecak. Membuang pandangnya ke depan, bersandar ke punggung jok sambil bersedekap.

"Iya, iya, aku minta maaf. Cuma karena itu mukamu langsung masam." Daniel berkata seraya menyapu-nyapu puncak kepala Jihan. "Aku janji, besok-besok tidak kuulangi lagi."

"Aku bisa sangat marah bila kau berbohong. Jika kau sakit, tidak akan ada yang memperhatikan aku. Kakak satu-satunya yang peduli."

'Tapi itu tidak cukup buatku, Jihan. Tidak pernah cukup. Aku membutuhkanmu lebih dari yang kau pikir.' Daniel hanya mampu berucap dalam hati.

"Marah-marahlah sepuas hatimu andai benar aku berbohong. Aku siap menerimanya, bisakah pernyataanku ini meyakinkanmu, Nona Jihan?!"

Continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status