Beranda / Romansa / Cinta ke Dua Pak Direktur / Si cantik Jihan Pitaloka

Share

Si cantik Jihan Pitaloka

Penulis: Ceeri
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-20 18:24:36

"Tolong, cepatlah sedikit. Aku sudah telat. Mereka tidak akan membayarku karena ini."

"Tenanglah, Nona. Anda mengganggu konsentrasi menyetir Saya. Mobilnya tidak bisa lebih cepat lagi, ini batasnya. Duduk yang benar dan diam, agar saya bisa segera mengantar Anda sampai ke tujuan."

"Batas kau bilang? Oh, ya ampun! Apa kau tidak mengerti kata-kataku, Pak? Jika mobilmu selambat ini, maka habislah pencarianku. Kenapa orang-orang sangat susah memahami situasi orang lain? Pak ... ayolah! Waktuku cuma setengah jam lagi." Perempuan itu terus mendesak si sopir, menggoncang-goncang bahunya hingga kian mengacaukan fokus sang sopir.

Ban berdecit keras bergesekan dengan aspal, saat si sopir menginjak rem secara tiba-tiba. Spontan tubuh perempuan tadi tersentak ke depan, kepalanya membentur punggung jok penumpang dan dia mengaduh bising.

"Bapak bisa menyetir apa tidak? Aduh kepalaku ..."

"Turun!"

"Apa?!"

"Cepatlah turun, Nona!"

"Tujuanku masih jauh, untuk apa aku turun di sini? Jalan lagi, Pak! Tapi berhati-hatilah sedikit, kau mengancam keselamatan penumpangmu."

"KUBILANG TURUN, NONA! Penumpang sepertimu justru membahayakan bagi semua sopir. Perlu kuseret?"

"Kau!"

"CEPAT!"

Perempuan itu menggeram di belakang, mengembus napas berkali-kali sebelum dia keluar dan membanting pintu taksi dengan sengaja.

"TIDAK TAHU DIRI!" Sebelah sepatunya melayang bersama umpatan itu, menyaksikan si sopir taksi meninggalkannya begitu saja di tengah jalan. Dia tercengang saat sadar bahwa laju taksi naik dua kali lipat dari sebelumnya. "KURANG AJAR!" Jeritnya panjang sembari mengacungkan jari tengah entah ke siapa, pasalnya ... si sopir taksi pun tak lagi tampak di depan mata.

Napasnya berembus kesal, menyusul kedua tangannya menjambak helai rambut kuat-kuat. Raut penuh amarah itu lenyap, berganti air mata yang meluncur seakan berlomba, mencetak jejak garis hitam maskara di kedua pipinya.

"Tamat sudah riwayatku!" dia mengerang frustrasi, berjongkok dengan masih meremas rambutnya yang awut-awutan. "Ibu—karierku hancur gara-gara sopir taksi itu."

Jihan Pitaloka, si gadis cantik penyanyi keliling dari satu kafe ke kafe lainnya atau dari satu bar ke bar berikutnya, adalah jadwal manggungnya di pukul lima sore ini. Semua berjalan lancar, pada awalnya. Namun, gara-gara laju taksi yang dia naiki layaknya seekor siput sawah, mengambil lebih banyak waktu dari yang telah diperhitungkan. Sudah pasti dia telat, artinya hari ini dia gagal mendapatkan uang.

Di tengah perdebatan akal dan batinnya, kebisingan bunyi beruntun dari klakson total menyentak atensi. Suasana hati yang memang semula gusar, makin buruk karena kehadiran pengendara menyebalkan di belakang. Belum pernah Jihan mengutuk irama klakson di mana pun, tidak saat ini ketika nuraninya begitu menggebu-gebu untuk mengumpat.

Jihan bangkit tergesa-gesa, dengan memampangkan garis-garis galak nan judes di paras manisnya, dia berbalik seakan siap menantang si pengendara sekaligus mesin beroda empat miliknya. Sebelah tangannya menggebrak keras-keras kap mobil. "Hei, kupingmu tuli, ya?! Klaksonmu itu berisik, sadar tidak?! Menyebalkan, aku benci, membuat telingaku sakit. Percuma mobilmu bagus, tetap tidak ada yang suka dengan suara klaksonmu. Kau tahu, sungguh jelek suaranya, lebih mengerikan daripada lonceng kematian!"

Sedang, si pria penuai rentetan umpatan pedas tadi kontan siap meledak-ledak pula. Rahangnya mengetat, si pria dari keluarga Janendra ini tak kalah kalut kondisi pikirannya. Ia melongokkan kepala dari jendela mobil, menatap sengit pada iris lembut si gadis cerewet pelaku sabotase jalan di depannya. "Kau itu sedang demonstrasi atau apa? Mau mati? Minggir, sana!"

"Kalau aku tidak mau, kau mau apa?! Beraninya dengan perempuan. Kau kira aku takut? Maju, sini!" bukan Jihan namanya jika semudah itu dia gentar. Meski sejemang pandangannya terkunci akan pesona si pria bertampang songong, belum cukup mengganti pendirian dia yang memang luar biasa keras kepala.

"Kau pasien rumah sakit jiwa, ya?!" Juna menggerutu, sama dongkolnya. Dia bergegas turun, mungkin perlu sedikit memberi pelajaran mental bagi si perempuan aneh. Debam pintu terdengar nyaring, sempadan mengagetkan Jihan di posisinya. "Tolong ya, Nona antah berantah—jangan menularkan perilaku abnormalmu kepada orang lain. Kalau kau gila, ya gila sendiri saja. Tidak usah menjerit-jerit segala di tengah jalan begini, kelakuanmu itu mengganggu ketenangan lalu lintas."

"Memangnya kau siapa berani menggurui? Jika aku gila, maka tidak ada orang waras seperti dirimu. Kau memilih bertengkar denganku, padahal jalanan ini masih sangat lebar untukmu bisa lewat. Jadi, pantasnya aku atau kau yang disebut gila?!"

Penuturan tersebut kontan meresap ke saraf-saraf sensorik Juna, dia meneliti sekitar mendapati situasi konkret sesuai ucapan si perempuan yang dia anggap tidak main-main absurdnya.

Juna mematung di situ, melunakkan pancaran maniknya sekadar untuk menemukan sisi berbeda dari bias iris mata di hadapannya. Warna yang cantik, sekilat pujian dari alam bawah sadar dan dia berupaya menepisnya dengan menggeleng mantap.

Namun, terdapat satu lagi fakta berbeda hasil tilikannya, perempuan ini kentara berantakan. Rambut mencuat sana-sini, riasan hancur dilengkapi jejak air mata yang mengering. Diam-diam Juna meringis, rasa simpatinya datang tanpa diundang. Sepertinya dia benar-benar pasien rumah sakit jiwa. Apa dia kabur?

"Aku tidak suka tatapanmu! Jangan coba-coba menganggapku betulan gila, ya! Aku bisa sangat tega menggigit hidungmu yang besar itu."

Detik sekian pula Juna memegang hidungnya, memandang horor kepada Jihan.

"Ternyata kau kanibal." Refleks dia bergidik, meski tahu yang terlontarkan ialah sebatas perkataan asal-asalan.

"Kalian si kaya tidak akan mengerti penderitaan orang-orang sepertiku. Bergelut dengan waktu tanpa ada garansi cuma-cuma. Bila terlambat, maka hasil pun sirna dari genggaman." Sungguh mudah rasa haru terdesak, Jihan melepas ulang kesedihannya sembari dia seka lekas-lekas. Enggan tampak lemah di depan orang asing.

"Terus, kau mau menyalahkan aku?!"

"Kapan kubilang begitu? Klaksonmu yang sialan! Bunyinya merusak suasana. Aku jadi tidak bisa berpikir jernih dan karena berdebat denganmu, waktuku makin terkikis. Aku belum menjumpai satu pun taksi yang datang, waktuku tersisa dua puluh menit lagi." Jihan berdecak, melirik sepintas ke belakang ke aspal lenggang.

"Aku bisa saja membantu, mengantarmu sampai ke tujuan. Tapi, di zaman sekarang terlalu banyak kisah-kisah memprihatinkan berkedok penipuan. Siapa tahu di tengah jalan nanti, kau malah menggorok leherku, bisa juga menodongkan senjata tajam. Lalu, mobilku kau bawa kabur."

"Pergilah! Aku tidak bisa menjamin keselamatanmu setelah emosiku naik."

"Bagaimana kalau naik untuk naik ke mobil? Naiklah, aku akan mengantarmu. Tidak jamin sih dapat mengejar waktumu lagi, setidaknya keluar dari sini. Sia-sia menunggu taksi, ini jalur khusus untuk memotong jalan."

"Tiba-tiba kau berubah baik. Apa yang kau inginkan dariku?!" Jihan mendekap tubuhnya, mengancang-ancang perlindungan diri. Kontras terhadap pria di seberangnya yang spontan mendengkus jemu.

"Waktuku tidak banyak, Nona. Cukup dramanya! Aku tidak sebaik itu untuk bersedia menunggu, naik atau kau kutinggal."

Tentu Jihan mengambil opsi pertama.

"Aku ikut, sebentar." Dia berlari kecil guna memungut sepatunya tak jauh dari situ, kemudian segera masuk ke mobil Juna dengan napas tersengal-sengal.

Continue...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta ke Dua Pak Direktur   Keputusan Jihan untuk jujur

    Situasi yang semula terasa damai serta menyenangkan mendadak kaku. Si gadis manis bimbang apakah patut mengutarakan rasa penasaran yang sudah tertahan di ujung lidahnya. Dia sekadar duduk diam di kursi di samping Amelia, menanti temannya ini memulai percakapan mereka. Sedang, Juna Janendra menyingkir sejenak seraya sibuk pula menyusun praduga di dalam pikirannya. Dia melihat gadis pemilik gummy smile itu ketika menyaksikan pertunjukan Jihan di kafe Tuan Beno bersama pemuda yang juga dia yakini berangsur-angsur berubah peran menjadi rivalnya untuk mendapatkan hati si gadis manis. "Aku dan Dave sudah putus," Amelia menengok ke sebelah, menemukan si gadis manis betah menundukkan wajahnya. "Kamu tidak terkejut 'kan, Jihan? Aku tahu kamu pasti memperkirakan hal ini akan terjadi." Kontan saja si gadis manis mendongak, mengerutkan kening tanda penolakannya terhadap penuturan barusan. "Tidak apa-apa. Bukan salahmu, ataupun dia. Sejak awal akulah yang memaksakan kehendakku, walau aku sadar pe

  • Cinta ke Dua Pak Direktur   Mungkin ini kencan si Direktur

    "Kau senang?!" Walau yang terlihat bukanlah reaksi mencolok. Namun, Juna Janendra mendapati bibir gadis di sampingnya melengkung tipis. Baru sepuluh menit dia menyetir sejak mereka memutuskan pergi dari rumah sakit. Paman Beno tentu membutuhkan waktu istirahat lebih banyak agar bisa segera pulih. "Aku lega untuk Paman Beno. Tadinya aku pikir tidak akan secepat itu beliau sadar. Bibi juga sangat baik, bersedia merawat dan menemaninya seharian penuh." "Jika perkiraanku tidak meleset, Paman Beno bisa saja diperbolehkan pulang dalam dua atau tiga hari lagi." "Aku harap begitu. Aku rindu menyanyi di kafenya." "Aku pun sama, merindukan suaramu." Juna memperhatikan si gadis manis usai mengungkapkan perasaannya saat ini. "Kenapa kau hanya diam, Jihan? Apa kau tidak senang mendengar pengakuanku?" Senyumnya tertarik ringan, seakan memaklumi andai jawaban gadis itu tak seperti dugaan. "Kenapa aku harus marah padamu?!" Mereka berbalas senyuman sembari berpura-pura tidak menyadari bahwa getar

  • Cinta ke Dua Pak Direktur   Ada luka di samping kegembiraan mereka

    Semua kenangan itu seakan baru terjadi kemarin sore. Jihan Pitaloka kembali menyadari perasaan mendalam terhadap Dave Hardinata pernah ada di beberapa tahun silam dan dia benar-benar menikmatinya sebagai sesuatu ketertarikan emosional untuk lawan jenis. Bermula ketika dia baru menduduki bangku SMA. Jihan yang sekadar gadis yatim piatu masih memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di salah satu sekolah elit di Ibu Kota. Kendati dalam keterbatasan keadaannya, dia tetap mampu mempersiapkan diri agar terlihat pantas berada di gedung mewah bersama sekumpulan remaja kaya. Dia yang seorang pendatang memutuskan untuk memperjuangkan masa depan di antara keras dan sulitnya persaingan hidup. Bersama Daniel Wilman, si gadis manis mengira keberanian dan kekuatannya meningkat. Dia berpikir siap menapaki upaya demi upaya untuk meraih impiannya. Selain cerdas, Daniel dikenalnya sebagai sosok tumpuan pengganti kedua orang tuanya yang telah lama tiada. Persis kebanyakan para remaja pada umumn

  • Cinta ke Dua Pak Direktur   Perasaan Jihan remaja yang sesungguhnya, cinta untuk Dave Hardinata bagian VI

    Radit kehilangan suara ketika dihadapkan dengan masalah pelik tak disangka-sangka seperti ini. Yang dapat dia lakukan hanya terdiam sambil logikanya menganalisa di dalam dugaan. Gerak kaki lebih terburu-buru daripada jalan santai yang kerap dia lakukan. Bersisian dengan Bastian yang betah pula mengoceh sejak mereka mendatangi ruang konseling sepuluh menit lalu. "Kenapa dia di-skors? Kita tahu apa yang dia lakukan—24 jam penuh aku bisa menjelaskannya. Ayo, kita harus mencoba cara ini." Cukup berat hawa napasnya berbunyi. Namun, tak ada sepatah kata yang Radit ucapkan. "Kau dengar aku 'kan? Kubilang kita perlu menerangkan apa yang kita tahu, terserah apa saja. Asalkan si Dave selamat dari hukuman itu." Tetap juga belum ada tanggapan sampai-sampai Bastian merasakan jemu menahan diri. "Kalau kau tidak mau, aku bisa sendiri!" "Bastian!!" Keduanya spontan berhenti usai kerasnya seruan Radit menyentak mereka bersamaan. "Maafkan aku." "Aku mengerti." Muncul penyesalan di raut Radit —buka

  • Cinta ke Dua Pak Direktur   Perasaan Jihan remaja yang sesungguhnya, cinta untuk Dave Hardinata bagian V

    Sekotak es kubus baru saja diambil dari dalam freezer, Dave Hardinata memasukkannya ke wadah berisi air bersih. Dia melenggang ke ruang TV di mana Bastian dan Radit sudah duduk di sana, menyantap ayam goreng krispi yang mereka pesan lewat daring. "Si pengecut itu, aku jadi menyesal kita menerima tantangan dia." "Kita tidak bisa menghindari pertandingan itu. Dia sengaja memanas-manasiku sebelum balapan dimulai. Konon lagi jika kita menolaknya, mungkin baku hantam langsung kejadian di tempat." "Perkiraanku juga begitu, Dave." Radit menyambung jangka dia mengunyah paha ayam goreng pedas manis kesukaannya. "Tapi, dia memang tidak bisa juga dijadikan rival. Kemampuan standar, kesadaran diri kurang." "Cocok 'kan aku sebut dia pengecut?!" tekan Bastian lagi, mengulang perkataan dia sebelumnya. "Omong-omong, Dave—bukannya kau yang dikeroyok, justru mereka semua menyerah?" "Kecuali si rambut hijau. Aku tidak tahu dia memikirkan apa. Aku buru-buru kabur sebelum mereka semua bangun dan mal

  • Cinta ke Dua Pak Direktur   Perasaan Jihan yang sesungguhnya, cinta untuk Dave Hardinata bagian IV

    Perlengkapan menulis, botol minuman, ramen cup, handuk kecil, kaus pendek, legging, semua benda-benda ini dimasukkan Jihan remaja ke dalam ransel. Bertepatan dia hendak menyandang tasnya, teriakan lembut oleh Daniel Wilman terdengar. "Iya, Kak. Aku segera turun." "Kasihan temanmu, Peri kecil. Dia sudah menunggu sejak tadi." "Tidak apa-apa, Kak. Salma memang sengaja datang lebih awal." "Pulang jam berapa?" "Sepertinya lumayan sore. Tapi aku usahakan sampai di rumah sebelum malam." "Kakak siapkan bekal, ya?" "Aku bawa ramyun." Daniel refleks menghela napas. "Ramyun saja tidak cukup. Tugas-tugasmu banyak 'kan? Otak perlu dikasih makanan bergizi supaya lancar buat berpikir. Jangan pergi dulu, Kakak tambah porsinya untuk dibagi ke temanmu." "Ya sudah, aku tunggu di depan, ya." Jihan remaja bergegas menjumpai Salma selagi Daniel mengemasi bekal di dapur. "Pergi sekarang?" "Tunggu, Kakak ingin menambahkan bekal yang aku bawa." "Ini ke mana dulu? Jadi ke perpustakaan sekolah?" "

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status