Setelah kejadian terjebak lift Sabtu malam, tampaknya semua baik-baik saja. Emily memperhatikan semua petugas keamanan tetap bertugas seperti biasa. Tak ada berita menghebohkan seperti pemecatan atau apapun. Semua tenang terkendali seakan tidak pernah ada insiden lift macet.
Hingga dua pekan berlalu, saat di Jumat sore menjelang usai jam kantor, sebuah telepon dari sekretaris CEO meminta Emily untuk menghadap sang bos. “Aku?apakah beliau tidak memberitahumu tentang apa?”tanya Emily khawatir. Dua minggu ini ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tak ada komplain dari divisi lain. “Tidak ada nona Emily, tuan Jonathan hanya memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang,”Ernetta, sekretaris CEO menjawab singkat. “Baiklah, aku segera kesana.” Emily melangkah bergegas ke lantai 12, letak ruangan CEO berada. Dia hanya dua kali berkesempatan mengunjungi lantai 12 yang memang dkhususkan hanya untuk kantor CEO dan sekretarisnya. Ruangan itu begitu megah dan mewah. Di meja sekretaris, Ernetta, tampak berdiri mempersilahkan Emily dengan ramah. “Silahkan masuk, beliau sudah menunggu.” Sesaat setelah pintu ruangan ditutup oleh Ernetta dari luar, Emily terpaku diam di tempatnya. Kursi presdir berwarna coklat tua berputar, menampakkan wajah Jonathan di sana. Seperti biasa, ia hanya menampakkan senyum tipis. “Halo Emily,”sapanya sembari berdiri, “Halo, Sir. Apa kabar?” “Baik. Duduklah,”Jonathan berjalan ke arah sofa panjang di tengah ruangan, mempersilahkan Emily duduk. Dia tampak membawa sebuah tas kecil. Jonathan duduk di depan Emily dan meletakkan tas itu. “Ini untukmu,” Emily diam sesaat. “Sebagai rasa terima kasihku, kupikir hanya ucapan saja tidak cukup.” Emily menggeleng. “Tidak perlu. Itu…” “Aku memaksa, ”sela Jonathan. “Terimalah.” Emily ragu sesaat sebelum akhirnya mengambil tas itu “It’s pathetic, isn’t it?”ujar Jonathan beberapa saat kemudian. Ia tersenyum masam. “Aku phobia gelap,”ujarnya parau. “Setiap orang memiliki “monster” dalam dirinya, bukankan begitu, Sir?”Emily menjawab bijak. Ia bisa membayangkan betapa tidak nyamannya Jonathan mengetahui salah satu karyawannya tahu sisi kelemahannya. Jonathan menatap Emily sesaat, terpaku beberapa detik, kemudian mengangguk samar. “Ya, kau benar.” “Banyak orang yang mengalami phobia gelap, bukan hanya anda,”lanjut Emily lagi, benar-benar tidak tahu lagi harus bilang apa. Jonathan tersenyum, dan Emily mengakui jika saat ini, dengan jarak tidak lebih dari dua meter, dengan kondisi ruangan yang terang, ia bisa memastikan jika wajah Jonathan memang layak dijadikan “Lelaki paling tampan tahun ini”. Jelas Tuhan menyayangi lelaki ini. Wajahnya hampir sempurna. “Kau ada acara setelah ini?”tanya Jonathan tiba-tiba. Emily tergagap, semoga pria itu tidak menyadari jika sesaat tadi ia bengong menatap wajahnya.“Kurasa…” “Aku ingin kamu menemaniku makan malam, apakah kamu keberatan?” Sepertinya Jonathan tidak menerima segala bentuk penolakan. Tekanan di setiap katanya seperti menghipnotis Emily untuk mau tak mau harus mengangguk. “Tunggu di lobi, aku segera turun menjemputmu,”ujar Jonathan sembari melirik jam tangannya. Waktu memang menunjukkan jam kerja hari ini sudah berakhir. Emily pamit dan menuju ruang kantornya. Termenung sesaat di mejanya sebelum bergegas merapikan meja kerja. “Selamat berakhir pekan teman-teman,”Abigail melambaikan tangan kearah Cali dan Emily. Emily membalas lambaian tangan Abigail sebelum akhirnya Cali juga berpamitan. “Sampai jumpa hari Senin, Em.” “Hati-hati di jalan, Cali.” Hari ini Paula cuti. Suasana kantor langsung tampak sepi. Emily melangkah mengambil tasnya dan mengenakan mantel. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak ingin pekerja di Weston Corp melihat dirinya dan CEO baru berjalan bersama. Emily tidak ingin ada gosip buruk yang bisa mempersulit pekerjaannya ke depan. Ia butuh pekerjaan ini dan tak ingin menimbulkan masalah baru. Beberapa karyawan masih tampak berseliweran di lobi gedung. Emily berdoa dalam hati, tuan Jonathan tidak segera turun menjemputnya. Tapi doanya tidak terkabul. Dari dalam lift tampak keluar sosok lelaki menawan yang tentu saja menarik perhatian orang orang di sekitarnya. Beberapa pekerja menyapanya, Jonathan menjawab dengan anggukan singkat. “Sudah siap pergi?”tanyanya saat menghampiri Emily. “Yes, Sir.” Jonathan mempersilahkan Emily berjalan lebih dulu dengan dirinya pada akhirnya mengimbangi langkah Emily berjalan di samping wanita itu. Beberapa pasang mata tampak penasaran menatap keduanya. Duduk di samping Jonathan membuat Emily canggung dan pria itu tampaknya menyadarinya. “Kamu baik-baik saja?”tanya Jonathan menoleh ke arah Emily. “I’m good, Sir.” Jonathan mengulas senyum lebar. “Kita akan pergi makan, bukan ke pemakaman, chill out,”seru Jonathan, dan tiba-tiba saja Emily merasakan perubahan sikap pada diri Jonathan. Pria itu tampak lebih santai dengan senyum lepas, tidak seperti sebelumnya. “Apakah kamu memiliki tempat makan favorit?”tanya Jonathan sesaat sebelum mobil melaju membelah jalanan di tengah kota. “Dulu ada,”jawab Emily dalam hati. “saat bersama Oliver.” “Tidak ada, Sir.”Emily menghentikan lamunannya sesaat. “Khusus hari ini,”bisik Jonathan mendekat.”Panggil aku Nathan saja, oke?” Emily terkesiap dengan Jonathan yang berjarak begitu dekat dengannya. “Emm..saya…aku tidak bisa, Sir.” Jonathan tiba-tiba terkekeh melihat kegugupan Emily. “Kau membuatku merasa dua puluh tahun lebih tua, Em.”Jonathan menyebut sebuah nama restoran kepada sopirnya. Ia kembali menatap Emily. “Kita berada di luar kantor, aku sekarang bukan bosmu lagi.” Emily tidak merespon, ia mengurangi perasaan canggungnya dengan menatap jalanan di balik jendela mobil. Jonathan sungguh berbeda dengan penampilannya selama ini. Ia tampak ngobrol santai dengan sopirnya dengan sesekali disertai canda tawa. Sesaat kemudian mereka tiba di sebuah restoran yang diyakini Emily adalah salah satu tempat makan termahal di kota. Jonathan melepas jasnya sebelum membuka pintu mobil sementara dengan sopan, sang sopir membukakan pintu untuk Emily. “Terima kasih,”ucap Emily Emily menyejajarkan langkah dengan Jonathan. Dari pintu masuk restoran tampak kepala pelayan yang menyambut kedatangan keduanya. “Atas nama Jonathan,please.“ Setelah mengecek buku reservasi, kepala pelayan memerintahkan host restoran mengantar keduanya hingga ke meja yang telah dipesan. Dengan sopan, host pria itu menarik kursi untuk Emily. Jonathan menyebut beberapa menu makanan kepada waitress yang mendatangi meja mereka. Emily tampak ragu sesaat. Ia menatap Jonathan yang juga tengah menatapnya. Seperti mengerti keraguan Emily, Jonathan menyebut beberapa makanan untuk Emily. “Semoga kau tidak keberatan dengan pilihanku.” “No, Sir.” “Tolong Nathan saja,”ulang Jonathan. “Aku ingin kita menikmati makan malam ini dengan santai, Em.”Jonathan tersenyum menawan. Emily merutuk dalam hati. Bagaimana mungkin ia bisa santai menyantap makanan ditemani bos di depannya. Tidak itu saja. Ia beberapa kali menangkap basah beberapa pasang mata para perempuan mencuri pandang ke arah pria di depannya. “Harusnya aku memesan ruangan khusus untuk kita berdua, agar kamu bisa makan dengan tenang.”Jonathan memecah suasana canggung. “Maafkan aku,”Emily sadar ia telah membuat orang lain tidak nyaman dengan sikap gugupnya. “Aku hanya tidak terbiasa makan di tempat seperti ini.”Emily tersenyum. “Tidak apa-apa Emily, lain kali kamu yang tentukan tempatnya, oke?” Lain kali?Emily mengangguk samar disertai senyum tidak yakin. “Seperti yang kamu tahu, selama ini aku tinggal di Manchester. Aku bahkan tidak punya teman di sini,”Jonathan mengetukkan jarinya di meja makan. “Tidak lucu kan jika setiap hari aku mengajak Simon makan malam?”Jonathan menyebut nama sopirnya. Emily tersenyum. Berusaha menikmati sajian mewah di hadapannya. Sepanjang acara makan Jonathan sesekali berbincang santai dan mencoba membuat Emily lebih nyaman. Sejauh ini Kesan dingin lelaki itu sedikit berubah di mata Emily.Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi keuangan Weston Corp. Sudah hampir lima bulan. Beberapa kontrak perjanjian baru telah ditandatangani. Meski tidak dapat pulih sepenuhnya tapi setidaknya mampu menghasilkan laba yang diharapkan oleh semua pihak. Baik pemegang saham maupun jajaran manajemen dan karyawan Weston Corp. Jonathan pulang larut malam itu. Simon yang setia mengantarnya menuju apartemen sederhana di tengah kota. Emily tak ingin pindah. Ia lebih nyaman tinggal di sana karena selain lebih dekat dengan Weston Corp, Aldera lebih mudah mengunjunginya. Saat membuka pintu, tampak pemandangan yang selalu membuat Jonathan rindu pulang. Emily duduk di sofa sambil menimang putranya. "Hai, " sapa Jonathan hampir berbisik. Ia mencium lembut bibir Emily sembari berjongkok di depan istrinya, memandang wajah damai putranya yang tertidur pulas. "Mandilah, kamu tampak lelah, " ucap Emily seraya bangkit berdiri saat Jonathan mengambil Kenneth dari tangannya dan beranj
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung. “Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi. Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mu
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti