Tersisa lima belas menit lagi bagi Emily untuk menyelesaikan penataan ruang rapat untuk tim pemasaran. Emily memastikan lagi semua meja telah terisi dengan beberapa alat tulis dan botol air mineral. Memeriksa panel kontrol proyektor untuk menyesuaikan dengan layar. Emily juga menambah pengharum ruangan sesuai permintaan Caleb.
Dari arah belakang terdengar suara pintu terbuka. “Kurang lima belas menit lagi Cal. Biarkan aku bekerja dengan tenang,”ujar Emity tanpa menoleh. Siapa lagi manusia usil di perusahaan ini yang ketagihan untuk mengganggunya. Tak ada jawaban. Tumben. Emily menoleh. Dan demi Tuhan!Ada jelmaan dewa Apollo, melewatinya dengan tubuh berbalut jas dan kemeja berkerah. Rambutnya cokelat emas, matanya sempat menatap Emily beberapa detik sebelum mengarahkan pandangan ke meja paling ujung ruangan. Seumur hidupnya, Emily tidak pernah menemukan mata abu abu seindah itu. Dengan gugup, Emily berusaha mengembalikan kesadaran, ia mengamati kertas yang diberikan Caleb padanya. Ada sepuluh peserta rapat. Ia cukup mengenal nama-nama staf yang tertera di kertas itu. Tapi mengapa ia tidak menemukan nama pria yang baru saja melewatinya dengan tatapan dingin itu. Apakah pria itu salah ruangan? “Maaf, apakah anda tidak salah ruangan?ini ruang alpaka untuk divisi pemasaran, sebentar lagi rapat akan segera dimulai.” Pria itu melirik jam tangannya. Ia tampak gusar tidak menemukan tim pemasaran di dalam ruangan. Ia tidak mempedulikan pertanyaan Emily. Tiba tiba Emily sadar akan sesuatu. Pimpinan rapat adalah Mr Jonathan Walker. Ya Tuhan, dia CEO baru itu!serunya dalam hati. Emily bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Tepat lima menit sebelum waktu rapat dimulai, para staff divisi pemasaran mulai berdatangan. Suasana ruangan berubah canggung dan hening tatkala mereka menyadari CEO baru hadir dalam rapat lebih dulu. “Terima kasih, Em,”bisik Caleb sebelum Emily meninggalkan ruangan. Ia sempat akan berpamitan pergi saat dilihatnya CEO baru itu juga tengah menatapnya, seperti pandangan tak sabar untuk segera mengusirnya. “Aku pergi dulu, Caleb,”bisiknya diam-diam. Emily adalah karyawan yang sangat berhati hati dengan pekerjaannya. Ia tekun dan tidak suka jika pekerjaannya salah, karena itu ia rela bekerja lebih keras dibanding karyawan lainnya. Ia rela berkutat di depan komputer hanya untuk memastikan data yang akan diserahkan ke atasannya sudah lengkap dan benar. Mungkin karena itu mrs Paula menyukainya. Di samping wanita tua itu memang baik hati dan mengayomi bawahannya, ia juga tidak pelit pujian. Ia akan memberikan reward terhadap anak buahnya yang memang berprestasi. Seperti Emily, ia mendorong Emily untuk meneruskan kuliahnya yang sempat terhenti. “Sayang jika kamu tidak meneruskan kuliahmu, Em. Aku ingat kamu pernah belajar desain interior semasa kuliah dulu. Belajarlah hal ini, kamu bisa ambil jurusan bisnis manajemen, ”ucap Paula waktu itu. “Tiga tahun lagi aku pensiun, aku berharap engkau yang menjadi penggantiku kelak.” “Itu tidak mungkin, mrs. Masih ada Cali dan Abigail yang lebih lama dariku.” “Kuantitas bekerja tidak bisa dibandingkan dengan kualitas bekerja Em,”Paula menegaskan. “Aku sayang mereka berdua dan aku tahu mereka berdua tidak berambisi menggantikanku. Pikiran mereka sudah terbagi. Aku pernah ngobral dengan keduanya. Kurasa, dari pembicaraan kami, mereka lebih memilih keluarga jika harus mengorbankan waktu untuk pekerjaan.”Paula tersenyum memandang Emily yang duduk di depan mejanya. “Peluangmu masih terbuka lebar di perusahaan ini. Percayalah, di Western Corp, siapapun pemimpinnya, pasti akan bertumbuh dengan baik.” Emily merenungi kalimat Paula. Sampai hari ini pun, dia masih menjadikan obrolan singkat dengan Paula itu menjadi motivasinya untuk meningkatkan kinerja pekerjaannya. “Aku punya pengumuman penting.”Paula berdiri di depan pintu ruang kerjanya saat Emily baru saja masuk ke ruangan. Ia menatap satu persatu anak buahnya. “Sabtu ini akan ada pesta penyambutan presdir baru kita.” Ketiganya terdiam, menunggu ucapan Paula selanjutnya. “Jika sebelum-sebelumnya aku yang mewakili divisi umum untuk hadir, saat ini aku meminta salah satu dari kalian untuk datang.” Ketiganya saling memandang. Paula sebenarnya tidak berharap banyak kepada Emily, karena ia tahu Emily tidak suka menghadiri acara seperti itu dan pasti akan menolaknya. “Kukira engkau tidak lupa aku sudah mengajukan cuti Jumat ini, aku harus menghadiri ulang tahun keponakanku tersayang,”Abigail merajuk, mengingatkan Paula. “Aku juga tidak bisa hadir, ma’am, aku harus menjemput ibuku di bandara. Beliau datang untuk mengunjungi cucu-cucunya,”Cali memberi alasan. “Aku tahu, kalian sudah pernah ngobrol denganku masalah itu, tapi undangan ini mendadak, dan aku juga harus menghadiri pentas seni sekolah anak semata wayangku,”keluh Paula. Cali dan Abigail hampir bersamaan menoleh ke arah Emily. “Harapan kami hanya padamu, Em.” Emily terdiam sesaat. Ketiga wanita baik itu telah banyak mentolerir dan mengorbankan waktunya saat Emily enggan datang di acara pertemuan kantor yang memang jarang diadakan di akhir pekan. Dan ia tidak boleh egois. “Baiklah, aku yang akan hadir.”Emily berucap. Paula tersenyum lega. “Baiklah kalau begitu, masalah terselesaikan.”Ia bertepuk tangan sekali. “Jangan lupa berdandan, Em. Aku yakin kamu akan mengalahkan kecantikan Elora jika sedikit saja kamu mau berdandan,”puji Paula yang diamini Cali dan Abigail. Elora wanita tercantik di kantor pusat Weston Corp, Elora mantan model yang direkrut bukan hanya karena awalnya sebagai model iklan salah satu produk keluaran Weston Corp, akan tetapi Elora ternyata juga lulusan universitas unggulan di Philadelphia. Dan ternyata ia juga mumpuni bekerja di bidang keuangan. Emily hanya tersenyum samar. Ia tidak biasa berdandan, dalam keseharian, ia hanya menggunakan pemoles bibir warna natural. Ia tidak suka tampil menonjol. Ia menjadi pribadi yang berbeda semenjak perceraiannya dengan Oliver. Emily tidak lagi ceria dan percaya diri. Dan benar saja, saat menghadiri pesta Sabtu malam ini, ia tampak aneh di antara undangan yang lain, khususnya di kalangan perempuan. Ia mengenakan kemeja kerja harian dipadukan dengan rok A line sementara wanita lainnya bersaing memakai gaun terbaik mereka. Seperti biasa Emily memasang wajah acuh tak acuh, bentuk pertahanan diri dari rasa ketidak percayaan dirinya. “Hai, Em,”sapa Caleb dari arah belakang. Emily menoleh, mungkin hanya Caleb satu-satunya pekerja Weston Corp yang mau ngobrol dengannya. “Hai Cal,”Emily tersenyum tipis. “Acara akan segera dimulai. Kamu sudah pernah bertemu dengan Mr. Jonathan waktu itu kan?”Caleb mengingatkan saat Emily menyiapkan ruang rapat untuknya. “Ya, ya. Aku pernah bertemu dengannya.” “Sebenarnya tuan Jonathan menolak diadakan acara penyambutan seperti ini, tapi yah, demi direksi lain yang setengah memaksanya akhirnya dia bersedia datang.”Tanpa disuruh Caleb menjelaskan. “Menurutmu, apakah acara akan berlangsung sampai malam?”tanya Emily “Kukira begitu,”Caleb tersenyum menggoda. “Kenapa?Kamu ada kencan dengan seseorang?” Emily tidak menjawab. Ia mengambil gelas minuman yang ditawarkan oleh pelayan yang berjalan berkeliling ruangan. “Aku penasaran dengan kehidupanmu, Em. Kamu begitu tertutup.”Caleb mengamati Emily dengan seksama. “Tidak perlu. Hidupku biasa -biasa saja, Cal.”Kenyataannya lebih menyedihkan lagi, tambah Emily dalam hati. Dari kejauhan, di tengah ruangan terdengar suara Master Ceremony memperkenalkan diri dan mulai membuka acara. Caleb mengalihkan pandangan ke pusat acara. Pidato awal dibuka dengan perwakilan direksi hingga akhirnya acara puncak yaitu perkenalan CEO baru Weston Corp. Para undangan yang semula tidak peduli dan sibuk mengobrol dengan rekan kerjanya menjadi terhipnotis khususnya kaum hawa saat Jonathan berjalan kearah panggung. Lelaki itu mengenakan kemeja warna biru tua, semakin mempertegas postur tubuhnya yang tegap dan maskulin. Rambut cokelat keemasannya dibiarkan berantakan, seakan sengaja untuk menggoda kaum hawa yang mulai panas dingin menatapnya. Emily teringat kisah nabi Yusuf yang berjalan di antara wanita wanita yang tanpa sengaja mengiris jarinya karena meilhat ketampanan nabi Yusuf. Mungkin keadaannya sama seperti malam ini. Para undangan wanita tak berkedip menatap Jonathan, pun saat ia mulai mengenalkan dirinya. “Aku senang bisa berdiri malam ini, menjadi wakil dan penerus ayahku untuk memimpin Weston Corporation. Kuharap kerjasama kalian dan jangan segan memberi masukan untukku demi kemajuan perusahaan kita. Terima kasih.” Hadirin bertepuk tangan dengan pidato singkat dari CEO baru. “Apakah boleh memberi pertanyaan, sir?”Master ceremony maju mendekat. “Silahkan,”jawab Jonathan tersenyum tipis. MC acara membuka sebuah kertas, di tangannya tampak setumpuk kertas telah menunggu untuk dibaca. “Sepertinya ini semua dari para wanita, sir,”ucapnya setengah menahan tawa. “Dan rata-rata pertanyaannya sama.”MC acara tampak memasukkan semua kertas ke dalam saku jasnya. “Apakah anda sudah menikah, sir?” Ruangan pesta riuh dengan tawa. Jonathan tersenyum. “Belum,”jawabnya singkat. “Itu saja?” “Satu lagi, sir. Apa kriteria wanita idamanmu?” Jonathan tersenyum lagi, kali ini tersenyum geli dengan pertanyaan sang MC. “Sederhana saja, wanita yang tidak menyusahkanku,”jawabnya absurd, diselingi senyum , Jonathan seperti tidak ingin memberikan jawaban lainnya”Baiklah terima kasih dengan kehadiran kalian semua, nikmati pestanya. Selamat malam.”Jonathan turun dari atas panggung setelah berbicara dan memberikan mic nya kepada panitia pesta. Ia berjalan menuju ruangan lain yang berpintu dan sesaat kemudian menghilang di balik pintu. Lelaki yang minim senyum dan sedikit bicara. Emily bersyukur tidak usah berlama lama di acara pesta itu. Ia merasa menjadi manusia tak kasat mata. Ada tapi tidak tampak oleh yang lain, jadi ia memutuskan untuk pergi dari pesta. Setidaknya beberapa tamu undangan tahu jika ia sudah mewakili divisinya untuk datang di acara penyambutan CEO baru. Setelah pamit dengan Caleb dan membuat alasan yang masuk akal, ia segera meninggalkan ruangan dan menuju pintu lift. Emily merasa lega mendapati koridor menuju lift tampak sepi, hanya ada satu dua pria pelayan pesta yang sibuk dengan nampan di tangannya. Suasana tampak tenang, Emily hampir menutup pintu lift saat terdengar suara bariton memintanya untuk tetap membuka pintu lift. “Tunggu,” Emily menekan sebuah tombol untuk menahan pintu lift agar tidak menutup. Emily tertegun saat sosok pria itu sudah masuk ke dalam lift. Tuan Jonathan, sang Bintang pesta. Kenapa dia tidak menunggu pesta sampai selesai?Tidak sopan sekali. “Terima kasih.”ucapnya saat Emily telah menekan tombol dan pintu segera menutup. Jonathan melirik kearah angka satu di tombol lift yang disentuh Emily dan ia diam tak bergerak, tampaknya Jonathan memiliki tujuan yang sama dengan Emily. Pulang. Keduanya tak bersuara. Emily menatap pergerakan angka di atas pintu lift. Saat angka bergerak di angka tiga, tiba tiba lift berhenti mendadak dan suasana menjadi gelap. “Damn!”seru Jonathan tertahan. Emily meraba tasnya, mencoba mencari handphone. dan menyalakan lampu senter untuk mencari tombol berbentuk bel. “Halo, ada petugas di luar?Kami terjebak di dalam lift,”seru Emily mencoba untuk tidak panik. Ia pernah mengalami hal serupa dan belajar untuk tetap tenang di kondisi seperti ini. Tak terdengar suara jawaban, hanya suara di belakangnya yang terdengar panik. Emily menoleh. Ia terpaku di tempat saat melihat Jonathan terduduk lemas di lantai lift, pria itu tampak sangat ketakutan, dari mulutnya keluar suara desisan seperti orang yang kehabisan nafas. Jonathan mencoba membuka kancing atas kemejanya. Emily segera tersadar dengan apa yang terjadi. Pria itu tampaknya phobia dengan kegelapan. “Sir, are you okay?” Jonathan tak menjawab, ia tampak berusaha setengah mati untuk bernafas. Emily bersimpuh di depannya, sangat kuatir. “Sir, lift akan segera menyala kembali.” “Aku tidak bisa bernafas,”ucap Jonathan tersengal sengal. Emily meyakinkan diri untuk tetap tenang. Ia pernah menolong salah satu temannya dengan gejala yang sama. “Sir, bolehkah kupegang tanganmu?”tanya Emily. Jonathan tidak menjawab, ia seperti tidak sadar dengan sekelilingnya. Ia bergerak-gerak gelisah dan sesekali mengumpat dengan keluhan yang sama. “Aku tidak bisa bernafas.” Emily segera memegang tangan pria itu. Tangannya gemetar dan berkeringat dingin. “Sir, aku di sini, aku tidak akan meninggalkanmu, tarik nafas panjang.” “Aku tidak bisa bernafas,”ucap Jonathan berulang-ulang. Dengan satu tangan Emily menekan tombol senter di handphonenya. Ruangan sedikit bercahaya. “Look at me, Sir!”perintah Emily, ia mencoba membuat Jonathan fokus dengan dirinya dan mengalihkan perhatian Jonathan dari ketakutannya. “Lihat aku, semua akan baik baik saja, kamu tidak sendirian dan aku akan membantumu, okay?Sekarang ambil nafas panjang.”Emily sedikit meremas telapak tangan pria itu untuk mengalihkan perhatian Jonathan kepadanya. Dan pada akhirnya Jonathan seperti tersadar, ia mengerjapkan matanya sesaat. “Tarik nafas panjang, Sir,”pinta Emily lagi.”Dan keluarkan perlahan. Ikuti aku.”Emily memberi contoh. Sepertinya Jonathan mulai tenang. Ia mengikuti apa yang dilakukan Emily. “Bagus. Kita mulai lagi. Ambil nafas panjang, keluarkan perlahan.” Jonathan mengikuti aba-aba Emily. Dan mereka melakukan hal yang sama beberapa kali. Dengan satu tangan Emily mencoba membuat panggilan darurat di handphone nya. Gagal, tidak ada sinyal. “Aku akan meminta bantuan dari telepon lift.”Emily hendak bergerak menjauh saat tangan Jonathan meremas tangannya erat. “Jangan tinggalkan aku, please.”Suaranya terdengar memelas. “Sebentar saja, aku hanya akan melangkah satu jengkal, okay?”Emily mencoba menenangkan. Jonathan terdiam tidak segera melepaskan genggaman tangannya. Tapi perlahan ia mulai melonggarkan tangannya. “Kuletakkan senter handphoneku di dekat anda, Sir.” Setelah Jonathan tampak benar-benar tenang, Emily mulai bergerak menuju tombol bel di dinding lift. Ia menekan tiga kali dan mulai berbicara. “Halo, apakah ada orang di luar?Kami terjebak di dalam lift.” Emily mengulang beberapa kali saat di menit selanjutnya terdengar jawaban. “Halo, ada orang di dalam lift?Tunggu sebentar, kami akan segera mengeluarkan kalian.” Evakuasi penyelamatan berlangsung selama satu jam. Sepanjang waktu itu, Emily duduk di samping Jonathan yang sudah mulai tenang. Untungnya, Emily selalu membawa botol minuman di dalam tas. Jonathan hampir menghabiskan setengah botol tanpa suara, ia tidak lagi kesulitan bernafas. Emily menawarkan tissue kepada Jonathan untuk menyeka keringatnya yang membasahi wajah. Tubuh Jonathan juga basah oleh keringat. “Terima kasih,”ujar Jonathan sesaat sebelum pintu lift dibuka paksa oleh tehnisi gedung. “Anda harus ke rumah sakit, Sir,”pinta Emily saat keduanya benar-benar telah berada di luar lift. “Anda baik-baik saja, Sir?”Beberapa petugas keamanan tampak berkerumun dengan panik. Sang CEO terjebak di dalam lift, bagaimana nasib mereka selanjutnya jika amarah CEO tak terbendung dan memerintahkan pemecatan semua petugas keamanan. “Aku baik baik saja.”Jonathan berbicara sesaat dengan sopirnya yang dengan sigap segera mengawal Jonathan keluar gedung. Sebelum pergi Jonathan menatap ke arah Emily. “Terima kasih.”ucapnya tersenyum tulus sebelum berlalu pergi. Emily menghela nafas panjang. Lega. Drama malam ini benar-benar menguras tenaga. Ia memimpikan segera sampai di rumah dan segera beristirahat.Setelah kejadian terjebak lift Sabtu malam, tampaknya semua baik-baik saja. Emily memperhatikan semua petugas keamanan tetap bertugas seperti biasa. Tak ada berita menghebohkan seperti pemecatan atau apapun. Semua tenang terkendali seakan tidak pernah ada insiden lift macet. Hingga dua pekan berlalu, saat di Jumat sore menjelang usai jam kantor, sebuah telepon dari sekretaris CEO meminta Emily untuk menghadap sang bos. “Aku?apakah beliau tidak memberitahumu tentang apa?”tanya Emily khawatir. Dua minggu ini ia melakukan pekerjaannya dengan baik, tak ada komplain dari divisi lain. “Tidak ada nona Emily, tuan Jonathan hanya memintamu untuk datang ke ruangannya sekarang,”Ernetta, sekretaris CEO menjawab singkat. “Baiklah, aku segera kesana.” Emily melangkah bergegas ke lantai 12, letak ruangan CEO berada. Dia hanya dua kali berkesempatan mengunjungi lantai 12 yang memang dkhususkan hanya untuk kantor CEO dan sekretarisnya. Ruangan itu begitu megah dan mewah. Di meja sekretaris, E
Sudah hampir sebulan ini, Jonathan sering meminta bantuan Emily untuk menemaninya menghabiskan waktu luang di akhir pekan. Entah sudah berapa puluh alasan yang diberikan Jonathan hingga Emily tak bisa menolaknya. Hanya untuk sekedar jalan di taman kota, menemaninya berbelanja pakaian atau menikmati sunset di Pantai. Sebuah pesan pendek masuk di layar ponsel Emily. Dari Jonathan. “Aku jenuh, temani aku ke café malam ini” Emily melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Pukul 19.00. Harusnya dua jam yang lalu waktu kantor telah berakhir. Tapi ia harus lembur menyelesaikan laporan stok asset untuk persiapan audit akhir tahun. Emily mengetik pesan balasan “Aku harus lembur. ” Sesaat kemudian Jonathan mengetikkan sesuatu. “Siapa saja yang lembur di ruanganmu?” Meski satu divisi, tapi job desk pekerjaan Emily berbeda dengan Cali dan Abigail, jadi malam ini ia hanya sendiri. “Aku sendirian.” Tak ada jawaban. Emily merasa Jonathan memaklumi kesibukannya dan takkan tega
Pagi ini waktu terasa berjalan lambat. Emily duduk di samping ibunya, di ruang tunggu Harlem Hospital Center. Sang ayah, Robert Patterson harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Emily mengirim pesan kepada Paula Meyer jika dirinya tidak masuk kerja. Dan Paula mengijinkan. Nyonya Aldera menghapus air mata yang menggenang di sudut mata. Emily mempererat genggaman tangannya. “Ayah akan baik-baik saja.” “Kuharap begitu, Em. Penyakit ginjal ayahmu sudah kronis. Dokter bilang ini sudah stadium akhir. “ Emily mengangguk. “Tapi kita tidak boleh menyerah,bu.” “Tidak akan pernah. Aku akan berjuang bersamanya.” Emily memeluk bahu ibunya. Mencium sisi wajah Aldera. Berusaha memberikan kekuatan. “Ibu tidak sendiri. Aku dan Eden akan berjuang demi ayah.” Aldera tersenyum samar. Menatap lalu lalang pengunjung rumah sakit yang berseliweran di sepanjang koridor. Saat menjelang sore hari sebuah pesan pendek muncul di ponsel Emily. Dari Jonathan. “Kudengar ayahmu ada
Jonathan menyalakan fitur navigasi canggih di samping kemudi saat telah berada di dalam mobil. Mereka berkendara selama setengah jam saat Jonathan memarkir mobil di sebuah kawasan perbukitan. Dari tempat mereka berhenti, tampak pemandangan cantik lampu-lampu kota berada di bawah mereka. “Ayo,”ajak Jonathan sembari membuka pintu mobil. Emily menurut tanpa kata. “Kubantu duduk,”ucapnya kepada Emily. Jonathan meraih pinggang Emily, membantu wanita itu duduk di atas kap mobil. Ia menyusul duduk di samping Emily. Lama keduanya saling diam. Menikmati keindahan lampu kota. Emily berpaling ke arah Jonathan. “Terima kasih.” Jonathan menatap Emily. Ia tahu wanita itu tengah menyembunyikan perasaannya. Entah itu sedih atau marah. Jonathan merapat ke tubuh Emily. . Lengan kokohnya meraih kepala Emily, merengkuhnya dalam dekapan. “Aku tak pernah mengalami situasi seperti ini, jadi maaf aku tak bisa melakukan hal lain untuk menghiburmu.” Emily melingkarkan lengan di pinggang Jonathan
Caroline menepati ucapannya. Dua undangan tiba di meja sekretaris Jonathan siang itu. “Excuse me, sir. Ada undangan untukmu.” Jonathan menerima undangan itu dan membaca sekilas. Acara pernikahan Oliver dan Caroline Sabtu pekan ini. “Terima kasih,Ernette.” Wanita tua itu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan sang CEO. Jonathan berfikir sesaat sebelum meraih ponselnya dan mengirim gambar undangan itu kepada Emily. Beberapa menit kemudian muncul pesan balasan dari Emily. “Aku tidak perlu datang.” Jonathan mengetikkan sesuatu. “Tunjukkan padanya kamu baik-baik saja. Jangan biarkan mereka senang.” “Aku tidak perlu membuktikan apapun pada mereka.” “Kamu yakin?” Tak ada balasan dari Emily. Jonathan merasa tidak perlu memaksa Emily lagi. Keputusan Emily pasti telah dipertimbangkan dengan baik. Jonathan melanjutkan pekerjaannya kembali saat setengah jam kemudian muncul pesan dari Emily. “Menurutmu, apakah aku harus datang?” Jonathan tersenyum. Ia menge
Satu jam lagi acara pernikahan akan dimulai. Oliver dan keluarganya telah menyewa sebuah ruangan mewah di sebuah hotel bintang lima. Undangan terbatas di kalangan tertentu. Hanya rekan bisnis dan teman terdekat. Sementara di apartemen Jonathan, di salah satu kamar telah tertata rapi gaun-gaun malam koleksi terbaik musim ini. Jonathan telah mempersiapkan semuanya. Ia telah menyewa tim Make up artist terbaik yang diketahuinya dari salah satu rekan bisnis pemilik perusahaan kosmetik. Emily membeku di tempatnya berdiri saat beberapa orang berpakaian seragam mulai berdatangan di apartemen Jonathan. Mereka dengan sigap memperkenalkan diri dan memberitahu Emily untuk bersiap di kamar yang telah disediakan. “Tidakkah menurutmu ini sangat berlebihan?”gerutunya ke arah Jonathan sebelum menghilang dari balik pintu kamar. Jonathan tak berkomentar. Ia sendiri sibuk mempersiapkan diri di kamarnya. Jonathan mengenakan tuxedo hitam yang melekat erat di tubuhnya. Tuxedo shaw lapel yang dipaduk
Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan s
Kepala pelayan dengan ramah membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua. “Silahkan masuk tuan Jonathan, kami akan membawa barang bawaan anda segera.” “Terima kasih, Paul.” Paul mengangguk dan membungkuk hormat sebelum berlalu pergi. “Apakah kita akan tinggal dalam satu kamar, Sir?”tanya Emily gugup. Ia mengamati sekeliling. Lampu chandelier bergantung di tengah ruangan. Di samping tempat tidur tampak tirai mewah model overlay warna coklat senada dengan sprei ranjang. “Kita ini sepasang kekasih, Em, tak mungkin mereka memberi kita kamar berbeda.”Jonathan menahan senyum. Suasana hatinya telah berubah. “Dan biasakan memanggilku sayang seperti tadi, oke?”Ia tersenyum puas. “Oh come on, Sir,” “Hei..” “Sayang…” “Itu lebih baik,”seru Jonathan “Tapi dimana aku harus tidur?”Emily memperhatikan, meski kamar tidur itu tampak luas dan berinterior mewah, tapi hanya ada satu ranjang dan sofa kecil . “Tentu saja di ranjang, Sayang, ”goda Jonathan. “Berdua?” “Tenang, tidurku
Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi keuangan Weston Corp. Sudah hampir lima bulan. Beberapa kontrak perjanjian baru telah ditandatangani. Meski tidak dapat pulih sepenuhnya tapi setidaknya mampu menghasilkan laba yang diharapkan oleh semua pihak. Baik pemegang saham maupun jajaran manajemen dan karyawan Weston Corp. Jonathan pulang larut malam itu. Simon yang setia mengantarnya menuju apartemen sederhana di tengah kota. Emily tak ingin pindah. Ia lebih nyaman tinggal di sana karena selain lebih dekat dengan Weston Corp, Aldera lebih mudah mengunjunginya. Saat membuka pintu, tampak pemandangan yang selalu membuat Jonathan rindu pulang. Emily duduk di sofa sambil menimang putranya. "Hai, " sapa Jonathan hampir berbisik. Ia mencium lembut bibir Emily sembari berjongkok di depan istrinya, memandang wajah damai putranya yang tertidur pulas. "Mandilah, kamu tampak lelah, " ucap Emily seraya bangkit berdiri saat Jonathan mengambil Kenneth dari tangannya dan beran
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung.“Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi.Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mungil
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti
Jonathan terpaksa menjual penthousenya dengan harga di bawah pasar, itu dilakukan demi segera mendapatkan uang membayar gaji dan tunjangan pisah karyawan resort. Pihak asuransi properti masih dalam penyelidikan tentang penyebab kebakaran sehingga tidak bisa mengupayakan pencairan asuransi kebakaran dalam waktu dekat.Jonathan meminta James untuk memperkerjakan kembali Simon di Weston dan juga merekomendasikan Mateo untuk bekerja di sana.Jonathan dan Emily melakukan persiapan untuk berangkat ke Manchester setelah sebelumnya berpamitan pada Aldera.“Jaga diri baik-baik, Sayang.” Aldera memeluk Emily dan Jonathan saat keduanya berpamitan pergi“Ibu jaga kesehatan, ya.”Emily mengurai pelukan. “Tolong sampaikan Eden, untuk biaya kuliahnya, akan kutransfer setiap bulan ke rekeningnya seperti biasa, jadi dia tak perlu khawatir.”Aldera mengangguk dengan mata berkaca-kaca.“Jaga Emily, Jonathan.”“Aku janji,” kata Jonathan sebelum keduanya berlalu pergi.Saat tiba di mansion, hanya James d
Jonathan berdiri di depan puing-puing bangunan resort bekas kebakaran. Ia terdiam lama. Emily ingin mendekat dan memberi semangat untuk Jonathan tapi ia enggan untuk mengganggu Jonathan yang tengah merenung. Lelaki itu tangguh. Hanya masalah seperti itu takkan menggoyahkan jiwanya. Emily yakin itu. Jonathan berbalik menghadapnya. Dengan senyum. "Aku sudah mengasuransikan properti ini. Tapi untuk membangunnya kembali butuh waktu lama. " Ia berbicara tidak hanya pada Emily, tapi juga ditujukan pada Lucas. "Dengan berat hati, aku harus menghentikan operasional resort. Aku akan bertanggungjawab memberikan hak kalian sesuai kesepakatan. " Sekarang ia benar-benar berdiri di depan Lucas. Lucas menghormati keputusan Jonathan. Setelah keduanya memberikan briefing singkat pada seluruh karyawan dan memberikan kesempatan untuk berpamitan, Jonathan dan Emily berkendara pulang. "Setelah urusan pembayaran gaji selesai, aku ingin kita pergi ke Manchester atau Wales, " ucap Jonathan saat kedu
Emily dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap. Saluran pernapasan nya mengalami iritasi dan peradangan. Dalam kesempatan terakhir, Emily sempat hampir merasa dirinya telah mati. Kilasan kilasan peristiwa asing masuk ke dalam ingatannya dan Emily yakin mungkin inilah saat waktu nya telah berakhir di dunia. Tapi Tuhan masih menginginkan ia hidup. "Emily, kau sudah sadar? " Aldera yang pertama kali menyapanya. Emily mengerjapkan mata, suasana kamar yang serba putih dan bau khas rumah sakit membuatnya pening. "Ibu, apa yang terjadi? " "Kau pingsan saat resort kebakaran. " Emily terkesiap. "Kebakaran? " tanyanya panik. "Bagaimana orang-orang di dalam resort? " "Tak ada korban jiwa, Sayang. " Emily bersyukur dalam hati. "Kai yang membawa mu keluar dari ruangan. " "Kai?"Tiba-tiba ia teringat akan Kai. Juga sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jonathan yang meminta maaf atas perbuatan adiknya yang berusaha menceburkan nya ke dalam kolam dan yang berusaha