Jonathan menyalakan fitur navigasi canggih di samping kemudi saat telah berada di dalam mobil. Mereka berkendara selama setengah jam saat Jonathan memarkir mobil di sebuah kawasan perbukitan. Dari tempat mereka berhenti, tampak pemandangan cantik lampu-lampu kota berada di bawah mereka.
“Ayo,”ajak Jonathan sembari membuka pintu mobil. Emily menurut tanpa kata. “Kubantu duduk,”ucapnya kepada Emily. Jonathan meraih pinggang Emily, membantu wanita itu duduk di atas kap mobil. Ia menyusul duduk di samping Emily. Lama keduanya saling diam. Menikmati keindahan lampu kota. Emily berpaling ke arah Jonathan. “Terima kasih.” Jonathan menatap Emily. Ia tahu wanita itu tengah menyembunyikan perasaannya. Entah itu sedih atau marah. Jonathan merapat ke tubuh Emily. . Lengan kokohnya meraih kepala Emily, merengkuhnya dalam dekapan. “Aku tak pernah mengalami situasi seperti ini, jadi maaf aku tak bisa melakukan hal lain untuk menghiburmu.” Emily melingkarkan lengan di pinggang Jonathan. “ini saja sudah cukup, bos.” “Tapi maukah kau mengatakan sesuatu untuk menyemangatiku?”tanyanya kemudian “Berikan aku contoh,”ucap Jonathan. “Katakan kalau Oliver menyesal melepaskanku.” Jonathan tersenyum. “Dia pria bodoh. Dia pasti menyesal meninggalkanmu.” “Katakan kalau Oliver sebenarnya masih memikirkanku.” Jonathan menghela nafas panjang. “Baiklah,”Jonathan menjeda ucapannya. “Pria itu pasti memikirkanmu setiap saat.” “Katakan,”Emily mendongak. “Si Caroline itu gadis yang jelek.” Jonathan mengerutkan kening. “Mana mungkin?Dia cantik sekali, Em.”Jonathan menahan tawa. Emily melepas cubitan di pinggang Jonathan. Pria itu mengaduh kesakitan sembari tergelak. “Baiklah. Tak ada wanita yang bisa mengalahkan kecantikanmu, Emily.” Keduanya terdiam sejenak. Emily mencerna kembali perasaannya. Tidak tepat jika dikatakan patah hati. Itu terjadi empat tahun yang lalu. Tapi melihat Oliver kembali seperti melihat kegagalan masa mudanya. Ia merasa rapuh dan hancur. Air mata jatuh perlahan di pipinya. Semakin lama semakin terdengar isaknya. Pundaknya tampak bergetar Jonathan mempererat pelukan. “Kupikir aku sudah melupakannya, tapi melihatnya sekarang mengapa masih terasa sakit?” Jonathan mengusap rambut Emily. “Kau masih mencintainya?” Emily diam. Apakah ia masih mencintai Oliver?Setelah laki-laki itu menghancurkan hatinya?Membiarkannya sendirian membangun masa depan yang telah porak poranda? “Aku tidak tahu,”jawab Emily jujur. Jonathan mencium rambut Emily sekilas. Serumit itukah cinta? Jonathan tak pernah merasakan jatuh cinta kepada seorang wanita manapun. Kebersamaan dengan beberapa wanita hanya untuk bersenang-senang. Untuk kebutuhan masing-masing tanpa harus memiliki komitmen apapun. Jika berpisah, tak ada yang merasa dirugikan dan diuntungkan sepihak. “Bagaimana rasanya jatuh cinta, Em?”tanya Jonathan saat tangis Emily mereda. Emily diam mengenang awal bertemu Oliver. “Jika kamu jatuh cinta, kamu akan memikirkannya setiap saat.” Jonathan terdiam. Berfikir tentang sesuatu yang saat ini dirasakannya. “Kita ingin mengorbankan banyak hal untuknya. Merasa berempati dan menikmati semua kebersamaan.” Tanpa sadar Jonathan mempererat rengkuhan tangannya. “Merasa nyaman di dekatnya?”tambah Jonathan. Emily tersenyum. “Berapa banyak wanita yang telah kau buat jatuh cinta padamu?” “Aku tidak tahu, aku tak pernah menanyakan perasaan mereka,”jawab Jonathan jujur. “Hubunganku dengan mereka sebatas…kau tahu,”Jonathan mengedikkan bahu. “Puas dan terpuaskan,”Ia tersenyum. Emily mendongakkan kepala.“Ugh dasar playboy,”Emily bergerak menjauhkan diri. Tapi lengan Jonathan tak membiarkan wanita itu menjauh. “Ayolah Em, cuacanya mulai dingin. Aku butuh kehangatan sekarang.”Jonathan tertawa. “Kamu terasa hangat.” Emily berhenti bergerak. Merasakan pelukan Jonathan yang mulai terasa nyaman baginya. “Semenjak menikah aku sudah kehilangan teman-temanku, aku hilang kontak dengan mereka. Aku tidak punya teman untuk berbagi kesedihan seperti ini.”Emily melirik Jonathan. “Bos, maukah kamu menjadi temanku?” Alis Jonathan berkerut. “Teman?”Tiba-tiba dengan gerakan tak terduga ia mencium bibir Emily. Emily tersentak kaget. Dadanya berdebar kencang. “Bolehkan teman melakukan ini?”bisiknya di depan wajah Emily. Emily melepaskan lengan Jonathan dan merengut. “Tentu saja tidak.” “Kalau begitu aku tidak mau menjadi temanmu,”Jonathan terkekeh. Emily mendengus kesal berusaha berpaling, menutupi pipinya yang terasa memanas. “Kamu cantik, Em.”Jonathan menyentuh pipi Emily yang merona. “Come on, Sir. Rayuanmu tidak mempan untukku,”bohong Emily. Hatinya terasa hangat. Jonathan tergelak. “Aku tidak merayu, Em. Aku tidak suka merayu.” “Kamu baru saja melakukannya.” “Aku mengatakan kebenaran.” Emily menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Sudah berapa lama ia tidak mendengar rayuan seperti ini dari seorang laki-laki? “Terima kasih kalau begitu, kau membuatku merasa sepuluh tahun lebih muda,”kelakar Emily. “Kamu belum setua itu.”Tangan Jonathan bergerak mengelus pipi dan sudut mata Emily dengan lembut.”Lihatlah tak ada kerutan samasekali,”guraunya Emily menjauhkan wajahnya dari tangan iseng Jonathan. “Kamu sudah mulai menunjukkan sifat asli, pria playboy,”dengus Emily. “Apakah menurutmu aku playboy?” “Menurutmu apa istilahnya untuk mulut manis seperti ini?” “Kamu belum pernah merasakan mulut manisku, Em.”Jonathan mengerlingkan matanya, mendekatkan wajah. Emily tertegun dan baru tersadar arti ucapan Jonathan. Ia bergegas turun dari kap mobil. “Dasar playboy. Ayo pulang.” Jonathan tergelak. Emily memperhatikan pria itu. Tidak, ia harus tahu diri. Lihatlah saat lelaki itu tertawa seperti saat ini. Tawanya. Gestur tubuhnya. Sangat mempesona. Wanita mana yang tidak akan meleleh melihat pemandangan indah seperti itu. Tapi itu bukan untuknya. Jonathan turun dari kap mobil masih dengan tawa. Ia melepas jas, menyampirkan ke bahu Emily. “Pakailah, udara semakin dingin.” Emily mengenakan jas milik Jonathan. “Kamu tidak ingin menginap di apartemenku?”goda Jonathan lagi dengan menahan senyum. Mereka telah berada di dalam mobil. Emily memutar bola matanya lucu. “Untuk apa?Merasakan mulut manismu?” Jonathan terkekeh kembali. “Tidak itu saja, Em. Kita bisa melakukan banyak hal,”bisiknya merayu. Emily tertawa. “Cari gadis lain, jangan aku. Hidupku sudah susah.” Jonathan tertawa. Menyalakan mesin mobil sejenak sebelum berkendara menuju rumah sakit. Malam ini sungguh berkesan untuknya. Tiba-tiba saja kebersamaan dengan Emily seperti menjadi candu baginya. Ia tak ingin berpisah dengan wanita itu.Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi keuangan Weston Corp. Sudah hampir lima bulan. Beberapa kontrak perjanjian baru telah ditandatangani. Meski tidak dapat pulih sepenuhnya tapi setidaknya mampu menghasilkan laba yang diharapkan oleh semua pihak. Baik pemegang saham maupun jajaran manajemen dan karyawan Weston Corp. Jonathan pulang larut malam itu. Simon yang setia mengantarnya menuju apartemen sederhana di tengah kota. Emily tak ingin pindah. Ia lebih nyaman tinggal di sana karena selain lebih dekat dengan Weston Corp, Aldera lebih mudah mengunjunginya. Saat membuka pintu, tampak pemandangan yang selalu membuat Jonathan rindu pulang. Emily duduk di sofa sambil menimang putranya. "Hai, " sapa Jonathan hampir berbisik. Ia mencium lembut bibir Emily sembari berjongkok di depan istrinya, memandang wajah damai putranya yang tertidur pulas. "Mandilah, kamu tampak lelah, " ucap Emily seraya bangkit berdiri saat Jonathan mengambil Kenneth dari tangannya dan beranj
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung. “Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi. Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mu
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti