Jonathan menyalakan fitur navigasi canggih di samping kemudi saat telah berada di dalam mobil. Mereka berkendara selama setengah jam saat Jonathan memarkir mobil di sebuah kawasan perbukitan. Dari tempat mereka berhenti, tampak pemandangan cantik lampu-lampu kota berada di bawah mereka.
“Ayo,”ajak Jonathan sembari membuka pintu mobil. Emily menurut tanpa kata. “Kubantu duduk,”ucapnya kepada Emily. Jonathan meraih pinggang Emily, membantu wanita itu duduk di atas kap mobil. Ia menyusul duduk di samping Emily. Lama keduanya saling diam. Menikmati keindahan lampu kota. Emily berpaling ke arah Jonathan. “Terima kasih.” Jonathan menatap Emily. Ia tahu wanita itu tengah menyembunyikan perasaannya. Entah itu sedih atau marah. Jonathan merapat ke tubuh Emily. . Lengan kokohnya meraih kepala Emily, merengkuhnya dalam dekapan. “Aku tak pernah mengalami situasi seperti ini, jadi maaf aku tak bisa melakukan hal lain untuk menghiburmu.” Emily melingkarkan lengan di pinggang Jonathan. “ini saja sudah cukup, bos.” “Tapi maukah kau mengatakan sesuatu untuk menyemangatiku?”tanyanya kemudian “Berikan aku contoh,”ucap Jonathan. “Katakan kalau Oliver menyesal melepaskanku.” Jonathan tersenyum. “Dia pria bodoh. Dia pasti menyesal meninggalkanmu.” “Katakan kalau Oliver sebenarnya masih memikirkanku.” Jonathan menghela nafas panjang. “Baiklah,”Jonathan menjeda ucapannya. “Pria itu pasti memikirkanmu setiap saat.” “Katakan,”Emily mendongak. “Si Caroline itu gadis yang jelek.” Jonathan mengerutkan kening. “Mana mungkin?Dia cantik sekali, Em.”Jonathan menahan tawa. Emily melepas cubitan di pinggang Jonathan. Pria itu mengaduh kesakitan sembari tergelak. “Baiklah. Tak ada wanita yang bisa mengalahkan kecantikanmu, Emily.” Keduanya terdiam sejenak. Emily mencerna kembali perasaannya. Tidak tepat jika dikatakan patah hati. Itu terjadi empat tahun yang lalu. Tapi melihat Oliver kembali seperti melihat kegagalan masa mudanya. Ia merasa rapuh dan hancur. Air mata jatuh perlahan di pipinya. Semakin lama semakin terdengar isaknya. Pundaknya tampak bergetar Jonathan mempererat pelukan. “Kupikir aku sudah melupakannya, tapi melihatnya sekarang mengapa masih terasa sakit?” Jonathan mengusap rambut Emily. “Kau masih mencintainya?” Emily diam. Apakah ia masih mencintai Oliver?Setelah laki-laki itu menghancurkan hatinya?Membiarkannya sendirian membangun masa depan yang telah porak poranda? “Aku tidak tahu,”jawab Emily jujur. Jonathan mencium rambut Emily sekilas. Serumit itukah cinta? Jonathan tak pernah merasakan jatuh cinta kepada seorang wanita manapun. Kebersamaan dengan beberapa wanita hanya untuk bersenang-senang. Untuk kebutuhan masing-masing tanpa harus memiliki komitmen apapun. Jika berpisah, tak ada yang merasa dirugikan dan diuntungkan sepihak. “Bagaimana rasanya jatuh cinta, Em?”tanya Jonathan saat tangis Emily mereda. Emily diam mengenang awal bertemu Oliver. “Jika kamu jatuh cinta, kamu akan memikirkannya setiap saat.” Jonathan terdiam. Berfikir tentang sesuatu yang saat ini dirasakannya. “Kita ingin mengorbankan banyak hal untuknya. Merasa berempati dan menikmati semua kebersamaan.” Tanpa sadar Jonathan mempererat rengkuhan tangannya. “Merasa nyaman di dekatnya?”tambah Jonathan. Emily tersenyum. “Berapa banyak wanita yang telah kau buat jatuh cinta padamu?” “Aku tidak tahu, aku tak pernah menanyakan perasaan mereka,”jawab Jonathan jujur. “Hubunganku dengan mereka sebatas…kau tahu,”Jonathan mengedikkan bahu. “Puas dan terpuaskan,”Ia tersenyum. Emily mendongakkan kepala.“Ugh dasar playboy,”Emily bergerak menjauhkan diri. Tapi lengan Jonathan tak membiarkan wanita itu menjauh. “Ayolah Em, cuacanya mulai dingin. Aku butuh kehangatan sekarang.”Jonathan tertawa. “Kamu terasa hangat.” Emily berhenti bergerak. Merasakan pelukan Jonathan yang mulai terasa nyaman baginya. “Semenjak menikah aku sudah kehilangan teman-temanku, aku hilang kontak dengan mereka. Aku tidak punya teman untuk berbagi kesedihan seperti ini.”Emily melirik Jonathan. “Bos, maukah kamu menjadi temanku?” Alis Jonathan berkerut. “Teman?”Tiba-tiba dengan gerakan tak terduga ia mencium bibir Emily. Emily tersentak kaget. Dadanya berdebar kencang. “Bolehkan teman melakukan ini?”bisiknya di depan wajah Emily. Emily melepaskan lengan Jonathan dan merengut. “Tentu saja tidak.” “Kalau begitu aku tidak mau menjadi temanmu,”Jonathan terkekeh. Emily mendengus kesal berusaha berpaling, menutupi pipinya yang terasa memanas. “Kamu cantik, Em.”Jonathan menyentuh pipi Emily yang merona. “Come on, Sir. Rayuanmu tidak mempan untukku,”bohong Emily. Hatinya terasa hangat. Jonathan tergelak. “Aku tidak merayu, Em. Aku tidak suka merayu.” “Kamu baru saja melakukannya.” “Aku mengatakan kebenaran.” Emily menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Sudah berapa lama ia tidak mendengar rayuan seperti ini dari seorang laki-laki? “Terima kasih kalau begitu, kau membuatku merasa sepuluh tahun lebih muda,”kelakar Emily. “Kamu belum setua itu.”Tangan Jonathan bergerak mengelus pipi dan sudut mata Emily dengan lembut.”Lihatlah tak ada kerutan samasekali,”guraunya Emily menjauhkan wajahnya dari tangan iseng Jonathan. “Kamu sudah mulai menunjukkan sifat asli, pria playboy,”dengus Emily. “Apakah menurutmu aku playboy?” “Menurutmu apa istilahnya untuk mulut manis seperti ini?” “Kamu belum pernah merasakan mulut manisku, Em.”Jonathan mengerlingkan matanya, mendekatkan wajah. Emily tertegun dan baru tersadar arti ucapan Jonathan. Ia bergegas turun dari kap mobil. “Dasar playboy. Ayo pulang.” Jonathan tergelak. Emily memperhatikan pria itu. Tidak, ia harus tahu diri. Lihatlah saat lelaki itu tertawa seperti saat ini. Tawanya. Gestur tubuhnya. Sangat mempesona. Wanita mana yang tidak akan meleleh melihat pemandangan indah seperti itu. Tapi itu bukan untuknya. Jonathan turun dari kap mobil masih dengan tawa. Ia melepas jas, menyampirkan ke bahu Emily. “Pakailah, udara semakin dingin.” Emily mengenakan jas milik Jonathan. “Kamu tidak ingin menginap di apartemenku?”goda Jonathan lagi dengan menahan senyum. Mereka telah berada di dalam mobil. Emily memutar bola matanya lucu. “Untuk apa?Merasakan mulut manismu?” Jonathan terkekeh kembali. “Tidak itu saja, Em. Kita bisa melakukan banyak hal,”bisiknya merayu. Emily tertawa. “Cari gadis lain, jangan aku. Hidupku sudah susah.” Jonathan tertawa. Menyalakan mesin mobil sejenak sebelum berkendara menuju rumah sakit. Malam ini sungguh berkesan untuknya. Tiba-tiba saja kebersamaan dengan Emily seperti menjadi candu baginya. Ia tak ingin berpisah dengan wanita itu.Caroline menepati ucapannya. Dua undangan tiba di meja sekretaris Jonathan siang itu. “Excuse me, sir. Ada undangan untukmu.” Jonathan menerima undangan itu dan membaca sekilas. Acara pernikahan Oliver dan Caroline Sabtu pekan ini. “Terima kasih,Ernette.” Wanita tua itu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan sang CEO. Jonathan berfikir sesaat sebelum meraih ponselnya dan mengirim gambar undangan itu kepada Emily. Beberapa menit kemudian muncul pesan balasan dari Emily. “Aku tidak perlu datang.” Jonathan mengetikkan sesuatu. “Tunjukkan padanya kamu baik-baik saja. Jangan biarkan mereka senang.” “Aku tidak perlu membuktikan apapun pada mereka.” “Kamu yakin?” Tak ada balasan dari Emily. Jonathan merasa tidak perlu memaksa Emily lagi. Keputusan Emily pasti telah dipertimbangkan dengan baik. Jonathan melanjutkan pekerjaannya kembali saat setengah jam kemudian muncul pesan dari Emily. “Menurutmu, apakah aku harus datang?” Jonathan tersenyum. Ia menge
Satu jam lagi acara pernikahan akan dimulai. Oliver dan keluarganya telah menyewa sebuah ruangan mewah di sebuah hotel bintang lima. Undangan terbatas di kalangan tertentu. Hanya rekan bisnis dan teman terdekat. Sementara di apartemen Jonathan, di salah satu kamar telah tertata rapi gaun-gaun malam koleksi terbaik musim ini. Jonathan telah mempersiapkan semuanya. Ia telah menyewa tim Make up artist terbaik yang diketahuinya dari salah satu rekan bisnis pemilik perusahaan kosmetik. Emily membeku di tempatnya berdiri saat beberapa orang berpakaian seragam mulai berdatangan di apartemen Jonathan. Mereka dengan sigap memperkenalkan diri dan memberitahu Emily untuk bersiap di kamar yang telah disediakan. “Tidakkah menurutmu ini sangat berlebihan?”gerutunya ke arah Jonathan sebelum menghilang dari balik pintu kamar. Jonathan tak berkomentar. Ia sendiri sibuk mempersiapkan diri di kamarnya. Jonathan mengenakan tuxedo hitam yang melekat erat di tubuhnya. Tuxedo shaw lapel yang dipaduk
Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan s
Kepala pelayan dengan ramah membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua. “Silahkan masuk tuan Jonathan, kami akan membawa barang bawaan anda segera.” “Terima kasih, Paul.” Paul mengangguk dan membungkuk hormat sebelum berlalu pergi. “Apakah kita akan tinggal dalam satu kamar, Sir?”tanya Emily gugup. Ia mengamati sekeliling. Lampu chandelier bergantung di tengah ruangan. Di samping tempat tidur tampak tirai mewah model overlay warna coklat senada dengan sprei ranjang. “Kita ini sepasang kekasih, Em, tak mungkin mereka memberi kita kamar berbeda.”Jonathan menahan senyum. Suasana hatinya telah berubah. “Dan biasakan memanggilku sayang seperti tadi, oke?”Ia tersenyum puas. “Oh come on, Sir,” “Hei..” “Sayang…” “Itu lebih baik,”seru Jonathan “Tapi dimana aku harus tidur?”Emily memperhatikan, meski kamar tidur itu tampak luas dan berinterior mewah, tapi hanya ada satu ranjang dan sofa kecil . “Tentu saja di ranjang, Sayang, ”goda Jonathan. “Berdua?” “Tenang, tidurku
“Sialan!”Jonathan memaki pelan.”Emily.”Ia memanggil wanita di sebelahnya. Emily terbangun dari tidurnya saat tangan kokoh Jonathan mengguncang tubuhnya pelan. Suasana kamar gelap gulita. Emily ingat jika dirinya tidak pernah mematikan lampu kamar. Ia ingat kata-kata Jonathan jika saat tidurpun ia selalu menyalakan lampu. “Tunggu sebentar.”Emily sadar kepanikan yang mulai menyerang Jonathan. Entah sejak kapan lelaki itu berusaha membangunkannya. Emily mengambil handphone dari atas nakas di samping tempat tidur dan menekan tombol senter. Kamar sedikit terang. Emily menoleh ke arah Jonathan yang terduduk di ranjang sembari menyadarkan kepala di sandaran ranjang. Dengan sedikit terburu, Emily turun dari tempat tidur dan menyalakan saklar lampu. Tampaknya mati lampu. Ia segera bergerak perlahan menuju jendela, menyibakkan gorden untuk memastikan di luar juga mati lampu. Suasana taman gelap gulita. Hanya sedikit penerangan dari cahaya bulan. “Bagaimana keadaanmu?”Emily bergerak ke
Jonathan menyiram tubuhnya sebanyak mungkin berusaha meredam gejolak hasratnya. Menjelang pagi tadi ia terbangun dan menyadari Emily tertidur dengan memeluk lengannya. Sialnya itu membuat hasratnya tiba-tiba bangkit dan ia memaki berkali-kali berusaha menahan gairah. Ini pertama kalinya bagi Jonathan harus berjuang menekan hasratnya sendiri. Baginya sangat mudah mendapat wanita untuk penyaluran nafsu seks. Mereka juga dengan sukarela tanpa imbalan apapun melayaninya. Tapi dengan Emily tidak akan semudah itu. “Hidupku sudah seperti pastor,”keluhnya membatin. Sudah hampir enam bulan ia tidak berhubungan seks dengan wanita manapun. Bayangan Emily membuatnya tak berminat mencari wanita lain. Gila!Runtuknya lagi dalam hati. Perasaan apa ini? Jonathan keluar dari kamar mandi dan segera menyadari Emily tak ada di ruangan. Kemana wanita itu? Pintu kamar tertutup rapat tapi jendela menuju balkon terbuka lebar hingga membuat tirai kamar beberapa kali bergerak tertiup angin. Jonathan bergeg
Tak ada lagi yang bisa dilakukan Jonathan. Sepanjang pagi hingga menjelang siang ia tak sekalipun keluar kamar. Untuk makan siang pun, Jonathan meminta Paul membawakan makanan untuknya dan Emily. Sebuah ketukan terdengar saat waktu makan siang berakhir. Jonathan membuka pintu dan menemukan wajah khawatir Nyonya Averie, sang ibu “Sayang.”Averie memeluk putranya. “Aku khawatir sekali, kudengar tadi di bawah kekasihmu hampir tenggelam.” “Ya ma.”Jonathan mengurai pelukan .”Apakah kau baru datang?” “Iya, maaf kemarin aku ada acara di tempat lain jadi tak bisa kesini.”Avery melangkah masuk dan mendapati Emily yang tengah duduk berbaring di ranjang. “Apakah ini kekasihmu?Apakah dia Emily?”Wajah Averie masih cantik di usianya yang 60 tahun lebih. Pakaian yang dikenakannya sederhana tapi terkesan anggun dan mahal. Dia membuka kedua tangan lebar memeluk Emily. “Oh sayang, apakah kamu baik-baik saja?”Dia memeluk erat Emily. “Aku sudah membaik Nyonya Averie,”Emily balas memeluk. "Apa k
Jonathan memutuskan untuk mempercepat acara menginap. Malam itu ia mengajak Emily pulang. “Aku akan mengantarmu pulang,”ujar Jonathan singkat saat mereka berdua telah berada di dalam mobil. “Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja.”Emily berpaling ke arah Jonathan di sampingnya. “Bukankah acara malam ini penting untuk keluarga besarmu?” “Yang terpenting keselamatanmu, Em. Aku tak tahu lagi cara menemukan pelakunya. Apa kau tidak ingat apapun saat kejadian itu?” Emily mencoba mengingat sesuatu. “Maaf, saat itu aku panik, aku tidak ingat apapun.” “Tak apa, kita pulang sekarang.” Keduanya berkendara pulang. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Akhir tahun di Weston Corp. Kesibukan dimulai di awal bulan Desember. Mulai dari audit internal hingga persiapan libur Natal dan tahun baru. Padatnya jadwal meeting Jonathan dengan seluruh divisi membuatnya jarang bertemu Emily. Hanya menyempatkan mengirim pesan pesan singkat. “Kamu lembur lagi malam ini?”Jonathan mengi
Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi keuangan Weston Corp. Sudah hampir lima bulan. Beberapa kontrak perjanjian baru telah ditandatangani. Meski tidak dapat pulih sepenuhnya tapi setidaknya mampu menghasilkan laba yang diharapkan oleh semua pihak. Baik pemegang saham maupun jajaran manajemen dan karyawan Weston Corp. Jonathan pulang larut malam itu. Simon yang setia mengantarnya menuju apartemen sederhana di tengah kota. Emily tak ingin pindah. Ia lebih nyaman tinggal di sana karena selain lebih dekat dengan Weston Corp, Aldera lebih mudah mengunjunginya. Saat membuka pintu, tampak pemandangan yang selalu membuat Jonathan rindu pulang. Emily duduk di sofa sambil menimang putranya. "Hai, " sapa Jonathan hampir berbisik. Ia mencium lembut bibir Emily sembari berjongkok di depan istrinya, memandang wajah damai putranya yang tertidur pulas. "Mandilah, kamu tampak lelah, " ucap Emily seraya bangkit berdiri saat Jonathan mengambil Kenneth dari tangannya dan beran
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung. “Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi. Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mu
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti
Jonathan terpaksa menjual penthousenya dengan harga di bawah pasar, itu dilakukan demi segera mendapatkan uang membayar gaji dan tunjangan pisah karyawan resort. Pihak asuransi properti masih dalam penyelidikan tentang penyebab kebakaran sehingga tidak bisa mengupayakan pencairan asuransi kebakaran dalam waktu dekat.Jonathan meminta James untuk memperkerjakan kembali Simon di Weston dan juga merekomendasikan Mateo untuk bekerja di sana.Jonathan dan Emily melakukan persiapan untuk berangkat ke Manchester setelah sebelumnya berpamitan pada Aldera.“Jaga diri baik-baik, Sayang.” Aldera memeluk Emily dan Jonathan saat keduanya berpamitan pergi“Ibu jaga kesehatan, ya.”Emily mengurai pelukan. “Tolong sampaikan Eden, untuk biaya kuliahnya, akan kutransfer setiap bulan ke rekeningnya seperti biasa, jadi dia tak perlu khawatir.”Aldera mengangguk dengan mata berkaca-kaca.“Jaga Emily, Jonathan.”“Aku janji,” kata Jonathan sebelum keduanya berlalu pergi.Saat tiba di mansion, hanya James d
Jonathan berdiri di depan puing-puing bangunan resort bekas kebakaran. Ia terdiam lama. Emily ingin mendekat dan memberi semangat untuk Jonathan tapi ia enggan untuk mengganggu Jonathan yang tengah merenung. Lelaki itu tangguh. Hanya masalah seperti itu takkan menggoyahkan jiwanya. Emily yakin itu. Jonathan berbalik menghadapnya. Dengan senyum. "Aku sudah mengasuransikan properti ini. Tapi untuk membangunnya kembali butuh waktu lama. " Ia berbicara tidak hanya pada Emily, tapi juga ditujukan pada Lucas. "Dengan berat hati, aku harus menghentikan operasional resort. Aku akan bertanggungjawab memberikan hak kalian sesuai kesepakatan. " Sekarang ia benar-benar berdiri di depan Lucas. Lucas menghormati keputusan Jonathan. Setelah keduanya memberikan briefing singkat pada seluruh karyawan dan memberikan kesempatan untuk berpamitan, Jonathan dan Emily berkendara pulang. "Setelah urusan pembayaran gaji selesai, aku ingin kita pergi ke Manchester atau Wales, " ucap Jonathan saat kedu
Emily dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap. Saluran pernapasan nya mengalami iritasi dan peradangan. Dalam kesempatan terakhir, Emily sempat hampir merasa dirinya telah mati. Kilasan kilasan peristiwa asing masuk ke dalam ingatannya dan Emily yakin mungkin inilah saat waktu nya telah berakhir di dunia. Tapi Tuhan masih menginginkan ia hidup. "Emily, kau sudah sadar? " Aldera yang pertama kali menyapanya. Emily mengerjapkan mata, suasana kamar yang serba putih dan bau khas rumah sakit membuatnya pening. "Ibu, apa yang terjadi? " "Kau pingsan saat resort kebakaran. " Emily terkesiap. "Kebakaran? " tanyanya panik. "Bagaimana orang-orang di dalam resort? " "Tak ada korban jiwa, Sayang. " Emily bersyukur dalam hati. "Kai yang membawa mu keluar dari ruangan. " "Kai?"Tiba-tiba ia teringat akan Kai. Juga sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jonathan yang meminta maaf atas perbuatan adiknya yang berusaha menceburkan nya ke dalam kolam dan yang berusaha