Pagi ini waktu terasa berjalan lambat. Emily duduk di samping ibunya, di ruang tunggu Harlem Hospital Center. Sang ayah, Robert Patterson harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami sesak nafas. Emily mengirim pesan kepada Paula Meyer jika dirinya tidak masuk kerja. Dan Paula mengijinkan.
Nyonya Aldera menghapus air mata yang menggenang di sudut mata. Emily mempererat genggaman tangannya. “Ayah akan baik-baik saja.” “Kuharap begitu, Em. Penyakit ginjal ayahmu sudah kronis. Dokter bilang ini sudah stadium akhir. “ Emily mengangguk. “Tapi kita tidak boleh menyerah,bu.” “Tidak akan pernah. Aku akan berjuang bersamanya.” Emily memeluk bahu ibunya. Mencium sisi wajah Aldera. Berusaha memberikan kekuatan. “Ibu tidak sendiri. Aku dan Eden akan berjuang demi ayah.” Aldera tersenyum samar. Menatap lalu lalang pengunjung rumah sakit yang berseliweran di sepanjang koridor. Saat menjelang sore hari sebuah pesan pendek muncul di ponsel Emily. Dari Jonathan. “Kudengar ayahmu ada di rumah sakit sekarang. Bagaimana kondisinya?” Emily mengetik pesan balasan. “Sudah membaik. Sekarang berada di ruang perawatan intensif.” “Bolehkah aku datang menjenguk?” “Silahkan.” Setengah jam kemudian, Jonathan menelpon untuk menanyakan ruang kamar Robert Patterson. Tampaknya ia telah tiba di rumah sakit. “Ibu, aku akan ke bawah sebentar.”Emily meminta ijin. Aldera mengangguk Emily bergegas turun ke bawah melalui lift. Saat telah berada di lantai bawah rumah sakit tiba-tiba ia menabrak seseorang karena sibuk mengetik pesan pada ponselnya. “Maaf… saya .”suara Emily terhenti di udara. Ia terkesiap menatap pria yang tadi tak sengaja ditabraknya. Oliver. Oliver juga tampak terkejut mendapati Emily di depannya. “Emily?” Sesaat waktu seakan berhenti. Mereka saling menatap saat sebuah suara berat di belakang Emily menyadarkan wanita itu. “Em,”panggil Jonathan. Emily menoleh. Jonathan telah berdiri di sampingnya, menatap pria di depan Emily yang kini juga tengah menatapnya. Jonathan menyadari ada sesuatu yang salah karena wajah Emily tiba-tiba memucat “Maaf, “Emily kembali menemukan suaranya, ia berusaha tersenyum. “Hai Oliver.” “Hai, lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”Oliver juga berusaha bersikap wajar. “Baik.”Emily mati-matian meredam perasaannya yang kacau. “Oh ya, kenalkan, dia…”Emily menoleh ke arah Jonathan lagi. “Jonathan,”sela Jonathan merapat ke tubuh Emily, Ia tersenyum ramah, mengulurkan tangan. “Aku Oliver, aku mantan suaminya.”Oliver menjabat tangan Jonathan. Jonathan terdiam sesaat,mencoba mencerna apa yang terjadi. Tiba-tiba suara merdu terdengar dari belakang tubuh Oliver. “Ayo kita pergi sayang.” Tatapan mata Emily langsung tertuju pada wanita yang tengah menggandeng mesra lengan Oliver. “Oh, hai..” Wanita cantik itu menatap Jonathan dan Emily bergantian.. Sorot matanya tampak mengagumi Jonathan. “Kamu tidak ingin mengenalkan temanmu padaku, sayang.” “Iya, maafkan aku,”Oliver tergagap. “Mereka Jonathan dan Emily.” “Emily?!”seru wanita itu tampak terkejut, senyumnya seketika mengembang. Tapi pandangan matanya jelas merendahkan. Ia menatap Emily penuh penilaian. “Hai Emily, perkenalkan namaku Caroline. Aku tunangan Oliver, “ia menekankan kata tunangan agar Emily mendengar dengan jelas. Refleks, Jonathan melingkarkan lengannya di pinggang Emily. “Kami akan merayakan pernikahan kami bulan depan,”jelas Caroline dengan sikap berlebihan. Emily memaksa senyum. “Selamat untuk kalian berdua.” Oliver tersenyum samar, “Terima kasih.” “Aku takkan lupa untuk mengirimi kalian undangan,”Caroline mengambil handphone dari dalam tasnya. “Bisakah kusimpan nomer kalian?”Ia melihat layar ponselnya sembari menatap Jonathan dan Emily bergantian. “Kirim saja undangan nya ke Weston Corp, aku dan Emily bekerja di sana,”tegas Jonathan enggan menyebut nomer handphonenya. “Oh oke..baiklah,”Caroline memasukkan kembali handphone ke dalam tas. “Bagaimana, sayang?Apakah kita bisa pergi sekarang?”Ia menoleh ke arah Oliver yang terdiam kaku. “Oh ya…baiklah. Tapi ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di sini, Em?”tanya Oliver. Emily merangkai kebohongan. “Aku menjenguk teman,”jawabnya singkat. Meski ayahnya adalah mantan mertua Oliver, tapi ia enggan berbagi kabar dengan pria itu. “Kita juga sedang menjenguk teman,”sela Caroline. Wanita itu memeluk lengan Oliver. “Ayo sayang, kita ada janji untuk fitting baju pengantin,”ucapnya mesra. Oliver salah tingkah. “Baiklah sampai jumpa.” Oliver mengangguk ke arah Emily dan Jonathan sebelum keduanya pergi. “Kamu baik-baik saja?”tanya Jonathan saat mereka berdua berjalan menuju kamar perawatan tuan Robert Patterson. Emily mengangguk, berusaha bersikap wajar. “Aku baik-baik saja,” Jonathan diam. Tak bertanya lagi. Memberi ruang pada Emily untuk menenangkan hatinya. “Halo Nyonya Aldera,”Jonathan mengulurkan tangan menjabat tangan ibu Emily. “Aku turut bersimpati. Semoga tuan Robert segera pulih.” “Terima kasih.”Aldera tersenyum. “Anda teman kantor Emily?” “Benar, aku teman kerjanya.” Emily tak berniat meralat. Sepanjang malam ia membiarkan Jonatan dan ibunya berbincang sementara pikirannya masih belum teralihkan dengan kejadian sore tadi. Kenapa hatinya kembali remuk redam? “Bolehkah aku mengajak Emily keluar sebentar?”tanya Jonathan usai pamit pulang pada Nyonya Aldera. “Silahkan jika Emily tidak keberatan.” “Kemana?”tanya Emily Jonathan tak menjawab. Ia hanya tersenyum.Jonathan menyalakan fitur navigasi canggih di samping kemudi saat telah berada di dalam mobil. Mereka berkendara selama setengah jam saat Jonathan memarkir mobil di sebuah kawasan perbukitan. Dari tempat mereka berhenti, tampak pemandangan cantik lampu-lampu kota berada di bawah mereka. “Ayo,”ajak Jonathan sembari membuka pintu mobil. Emily menurut tanpa kata. “Kubantu duduk,”ucapnya kepada Emily. Jonathan meraih pinggang Emily, membantu wanita itu duduk di atas kap mobil. Ia menyusul duduk di samping Emily. Lama keduanya saling diam. Menikmati keindahan lampu kota. Emily berpaling ke arah Jonathan. “Terima kasih.” Jonathan menatap Emily. Ia tahu wanita itu tengah menyembunyikan perasaannya. Entah itu sedih atau marah. Jonathan merapat ke tubuh Emily. . Lengan kokohnya meraih kepala Emily, merengkuhnya dalam dekapan. “Aku tak pernah mengalami situasi seperti ini, jadi maaf aku tak bisa melakukan hal lain untuk menghiburmu.” Emily melingkarkan lengan di pinggang Jonathan
Caroline menepati ucapannya. Dua undangan tiba di meja sekretaris Jonathan siang itu. “Excuse me, sir. Ada undangan untukmu.” Jonathan menerima undangan itu dan membaca sekilas. Acara pernikahan Oliver dan Caroline Sabtu pekan ini. “Terima kasih,Ernette.” Wanita tua itu mengangguk dan berlalu pergi meninggalkan ruangan sang CEO. Jonathan berfikir sesaat sebelum meraih ponselnya dan mengirim gambar undangan itu kepada Emily. Beberapa menit kemudian muncul pesan balasan dari Emily. “Aku tidak perlu datang.” Jonathan mengetikkan sesuatu. “Tunjukkan padanya kamu baik-baik saja. Jangan biarkan mereka senang.” “Aku tidak perlu membuktikan apapun pada mereka.” “Kamu yakin?” Tak ada balasan dari Emily. Jonathan merasa tidak perlu memaksa Emily lagi. Keputusan Emily pasti telah dipertimbangkan dengan baik. Jonathan melanjutkan pekerjaannya kembali saat setengah jam kemudian muncul pesan dari Emily. “Menurutmu, apakah aku harus datang?” Jonathan tersenyum. Ia menge
Satu jam lagi acara pernikahan akan dimulai. Oliver dan keluarganya telah menyewa sebuah ruangan mewah di sebuah hotel bintang lima. Undangan terbatas di kalangan tertentu. Hanya rekan bisnis dan teman terdekat. Sementara di apartemen Jonathan, di salah satu kamar telah tertata rapi gaun-gaun malam koleksi terbaik musim ini. Jonathan telah mempersiapkan semuanya. Ia telah menyewa tim Make up artist terbaik yang diketahuinya dari salah satu rekan bisnis pemilik perusahaan kosmetik. Emily membeku di tempatnya berdiri saat beberapa orang berpakaian seragam mulai berdatangan di apartemen Jonathan. Mereka dengan sigap memperkenalkan diri dan memberitahu Emily untuk bersiap di kamar yang telah disediakan. “Tidakkah menurutmu ini sangat berlebihan?”gerutunya ke arah Jonathan sebelum menghilang dari balik pintu kamar. Jonathan tak berkomentar. Ia sendiri sibuk mempersiapkan diri di kamarnya. Jonathan mengenakan tuxedo hitam yang melekat erat di tubuhnya. Tuxedo shaw lapel yang dipaduk
Thanksgiving merupakan hari bahagia bagi sebuah keluarga untuk bisa merayakan tradisi dan berkumpul bersama. Tapi tidak dengan Jonathan, undangan yang diterimanya dari James siang itu benar-benar membuatnya sakit kepala. Keluarga besar William Walker akan merayakan Thanksgiving dan mengundang hampir seluruh keluarga dekat. “Aku mohon luangkan waktumu untuk datang, Nathan,”ucap James di seberang telepon. “Kita ini keluarga. Apapun yang terjadi. Apapun masalahmu dengan Pamela dan Jacob, kuharap tidak membuat kita terpisah sebagai keluarga.” Jonathan menghela nafas panjang. Satu hal yang paling dibencinya adalah berada di rumahnya dan mengenang berbagai kenangan buruk masa kecilnya. “Entahlah, James, Aku banyak kerjaan.” “Meskipun di hari libur?” Jonathan memaki dalam hati. Alasan yang buruk sekali. “Kau bisa mengundang temanmu juga, Nath,”bujuk James lagi. “Atau kekasihmu,”James sedikit menyelidik. Jonathan tidak bersuara. Ia tidak ingin berbagi kehidupan pribadi dengan s
Kepala pelayan dengan ramah membawa mereka ke sebuah kamar di lantai dua. “Silahkan masuk tuan Jonathan, kami akan membawa barang bawaan anda segera.” “Terima kasih, Paul.” Paul mengangguk dan membungkuk hormat sebelum berlalu pergi. “Apakah kita akan tinggal dalam satu kamar, Sir?”tanya Emily gugup. Ia mengamati sekeliling. Lampu chandelier bergantung di tengah ruangan. Di samping tempat tidur tampak tirai mewah model overlay warna coklat senada dengan sprei ranjang. “Kita ini sepasang kekasih, Em, tak mungkin mereka memberi kita kamar berbeda.”Jonathan menahan senyum. Suasana hatinya telah berubah. “Dan biasakan memanggilku sayang seperti tadi, oke?”Ia tersenyum puas. “Oh come on, Sir,” “Hei..” “Sayang…” “Itu lebih baik,”seru Jonathan “Tapi dimana aku harus tidur?”Emily memperhatikan, meski kamar tidur itu tampak luas dan berinterior mewah, tapi hanya ada satu ranjang dan sofa kecil . “Tentu saja di ranjang, Sayang, ”goda Jonathan. “Berdua?” “Tenang, tidurku
“Sialan!”Jonathan memaki pelan.”Emily.”Ia memanggil wanita di sebelahnya. Emily terbangun dari tidurnya saat tangan kokoh Jonathan mengguncang tubuhnya pelan. Suasana kamar gelap gulita. Emily ingat jika dirinya tidak pernah mematikan lampu kamar. Ia ingat kata-kata Jonathan jika saat tidurpun ia selalu menyalakan lampu. “Tunggu sebentar.”Emily sadar kepanikan yang mulai menyerang Jonathan. Entah sejak kapan lelaki itu berusaha membangunkannya. Emily mengambil handphone dari atas nakas di samping tempat tidur dan menekan tombol senter. Kamar sedikit terang. Emily menoleh ke arah Jonathan yang terduduk di ranjang sembari menyadarkan kepala di sandaran ranjang. Dengan sedikit terburu, Emily turun dari tempat tidur dan menyalakan saklar lampu. Tampaknya mati lampu. Ia segera bergerak perlahan menuju jendela, menyibakkan gorden untuk memastikan di luar juga mati lampu. Suasana taman gelap gulita. Hanya sedikit penerangan dari cahaya bulan. “Bagaimana keadaanmu?”Emily bergerak ke
Jonathan menyiram tubuhnya sebanyak mungkin berusaha meredam gejolak hasratnya. Menjelang pagi tadi ia terbangun dan menyadari Emily tertidur dengan memeluk lengannya. Sialnya itu membuat hasratnya tiba-tiba bangkit dan ia memaki berkali-kali berusaha menahan gairah. Ini pertama kalinya bagi Jonathan harus berjuang menekan hasratnya sendiri. Baginya sangat mudah mendapat wanita untuk penyaluran nafsu seks. Mereka juga dengan sukarela tanpa imbalan apapun melayaninya. Tapi dengan Emily tidak akan semudah itu. “Hidupku sudah seperti pastor,”keluhnya membatin. Sudah hampir enam bulan ia tidak berhubungan seks dengan wanita manapun. Bayangan Emily membuatnya tak berminat mencari wanita lain. Gila!Runtuknya lagi dalam hati. Perasaan apa ini? Jonathan keluar dari kamar mandi dan segera menyadari Emily tak ada di ruangan. Kemana wanita itu? Pintu kamar tertutup rapat tapi jendela menuju balkon terbuka lebar hingga membuat tirai kamar beberapa kali bergerak tertiup angin. Jonathan bergeg
Tak ada lagi yang bisa dilakukan Jonathan. Sepanjang pagi hingga menjelang siang ia tak sekalipun keluar kamar. Untuk makan siang pun, Jonathan meminta Paul membawakan makanan untuknya dan Emily. Sebuah ketukan terdengar saat waktu makan siang berakhir. Jonathan membuka pintu dan menemukan wajah khawatir Nyonya Averie, sang ibu “Sayang.”Averie memeluk putranya. “Aku khawatir sekali, kudengar tadi di bawah kekasihmu hampir tenggelam.” “Ya ma.”Jonathan mengurai pelukan .”Apakah kau baru datang?” “Iya, maaf kemarin aku ada acara di tempat lain jadi tak bisa kesini.”Avery melangkah masuk dan mendapati Emily yang tengah duduk berbaring di ranjang. “Apakah ini kekasihmu?Apakah dia Emily?”Wajah Averie masih cantik di usianya yang 60 tahun lebih. Pakaian yang dikenakannya sederhana tapi terkesan anggun dan mahal. Dia membuka kedua tangan lebar memeluk Emily. “Oh sayang, apakah kamu baik-baik saja?”Dia memeluk erat Emily. “Aku sudah membaik Nyonya Averie,”Emily balas memeluk. "Apa k
Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi keuangan Weston Corp. Sudah hampir lima bulan. Beberapa kontrak perjanjian baru telah ditandatangani. Meski tidak dapat pulih sepenuhnya tapi setidaknya mampu menghasilkan laba yang diharapkan oleh semua pihak. Baik pemegang saham maupun jajaran manajemen dan karyawan Weston Corp. Jonathan pulang larut malam itu. Simon yang setia mengantarnya menuju apartemen sederhana di tengah kota. Emily tak ingin pindah. Ia lebih nyaman tinggal di sana karena selain lebih dekat dengan Weston Corp, Aldera lebih mudah mengunjunginya. Saat membuka pintu, tampak pemandangan yang selalu membuat Jonathan rindu pulang. Emily duduk di sofa sambil menimang putranya. "Hai, " sapa Jonathan hampir berbisik. Ia mencium lembut bibir Emily sembari berjongkok di depan istrinya, memandang wajah damai putranya yang tertidur pulas. "Mandilah, kamu tampak lelah, " ucap Emily seraya bangkit berdiri saat Jonathan mengambil Kenneth dari tangannya dan beran
Proses persalinan Emily dibantu oleh seorang Widwife ramah bernama Adelle. Emily baru diperbolehkan masuk ke ruang bersalin setelah pembukaan lima. Jonathan mendampingi istrinya selama proses berlangsung. “Ma’am, anda harus berjalan-jalan untuk mempercepat proses kelahiran,” saran Adelle saat bukaan Emily tak kunjung bertambah. Emily telah menjalani serangkaian proses persalinan mulai mencek detak jantung bayi dalam kandungan hingga proses induksi untuk merangsang kontraksi. Jonathan membantu Emily berkeliling rumah sakit. Setelahnya proses induksi kedua kembali dilakukan. Ada beberapa pilihan pain killer yang ditawarkan Midwife untuk mengurangi sakit saat kontraksi dan Emily memilih mandi dengan air hangat. Jonathan dengan sabar mengganti bath tub dengan air hangat agar Emily bisa berendam dengan nyaman. Hampir empat jam hingga kontraksi semakin terasa luar biasa menyakitkan. Proses persalinan berlangsung sekitar satu jam. Jonathan hampir tak kuasa menahan air mata saat bayi mu
Jonathan mengantar Emily hingga ke dalam apartemen. "Kembalilah bekerja," ucap Emily sembari berjalan menuju kamar. "Aku tidak akan tenang sebelum kamu memaafkan ku. " Jonathan masih membayangi langkah istrinya hingga ke kamar. Emily ingin mengatakan sesuatu yang bisa menenangkan hati Jonathan, tapi entah mengapa lidahnya kelu, moodnya memburuk. "Sayang, " panggil Jonathan meraih pinggang Emily dan merapatkan ke tubuhnya. "bagaimana lagi aku harus menjelaskan, Em? " "Tidak perlu, aku tidak butuh penjelasanmu, aku ingin tidur. " Emily melepaskan tangan Jonathan dengan wajah cemberut. "Jangan begini, Sayang." "Sudah, pergilah." Emily beranjak menuju ranjang dan merebahkan tubuh Jonathan melirik jam tangan sekilas. Waktu tutup supermarket satu jam lagi. Ia bergegas pergi menuju tempat kerjanya. Membantu Thomas hingga waktu tutup toko. Setelah pamit pada Thomas, ia pulang dengan tergesa. Jonathan mandi sebentar sebelum merebahkan tubuh di samping istrinya. Emily ber
Jonathan datang lebih awal hari ini. Antrian panjang tampak di depan pintu masuk supermarket bahkan sebelum toko dibuka. Beberapa personel keamanan bersiap di pintu masuk memastikan pengunjung tetap mematuhi peraturan toko meski hari ini adalah hari khusus, dimana harga hampir semua barang yang ada di supermarket di diskon mulai empat puluh persen. "Kau lihat antrian di depan pintu, Jonathan? " tanya Thomas mengenakan jaket khusus toko. Ia bersiap pergi. "Ya, aku lihat." Jonathan melirik jam dinding. "sepuluh menit lagi, aku akan bersiap. " Jonathan mengenakan jaket yang sama seperti yang dipakai Thomas. Hari ini akan menjadi hari tersibuk sepanjang pekan ini. Meski pengunjung memadati supermarket, tetapi pengaturan yang telah dibuat Thomas membuat antrian tidak terlalu panjang. Area kasir ditambah dua lagi sehingga pengunjung toko bisa dilayani dengan cepat. Tak ada jeda waktu. Waktu makan siang pun dipercepat karena pengunjung tak juga berkurang hingga menjelang mala
Keesokan pagi ditemani Jonathan, Emily menyerahkan sampel urine ke laboratorium klinik sesuai arahan dokter Roberta. Setelah mengantar Emily pulang, Jonathan berangkat menuju tempat kerja. Hari ini hari tersibuk menjelang akhir pekan. Menjelang Black Friday banyak barang baru berdatangan, bertepatan dengan ketidakhadiran Thomas karena sakit. Jonathan menggantikan tugas Thomas sementara waktu. Ia memantau pekerjaan di gudang hingga penataan barang di rak-rak pajangan. Belum lagi beberapa komplain dari pelanggan yang mengomel karena antrian panjang di area kasir. Jonathan berinisiatif menambah area kasir darurat. Saat waktu makan siang, tiba-tiba muncul Claire di ambang pintu ruangan kantor Jonathan. "Hai, apa aku mengganggu? " tanya Claire ceria. Jonathan tersenyum. "Tidak, ada apa Claire? " "Aku hanya ingin mampir. " Jonathan teringat Brianna, Claire tampaknya seumuran dengan Brianna. "Bagaimana kabar Thomas?Apa dia sudah membaik? " Claire mendekat, tanpa diminta ia d
Dua bulan lagi adalah Black Friday. Dikenal dengan hari belanja besar-besaran dengan diskon sangat menarik. Black Friday jatuh pada hari Jumat setelah Thanksgiving di bulan November. Jonathan membuat proposal tentang penawaran menarik khusus di Black Friday. Siang itu sebelum makan siang ia menyerahkan proposal itu pada Thomas. “Aku membuat konsep tentang diskon saat Black Friday,” ucapnya. “Baik, akan kupelajari.” Thomas menerima lembaran kertas itu. “Kau makan siang di luar?” “Tidak, aku membawa bekal.” Jonathan meringis menahan kikuk. “istriku memaksaku membawa bekal untuk berhemat.” Thomas tertawa. Ia menunjukkan wadah bekal makan siangnya. “Tidak usah malu, aku selalu membawa bekal. Ayo makan bersama di sini,”ajak Thomas kemudian. Jonathan menurut. Keduanya makan bersama di meja Thomas saat setengah jam berlalu, terlihat wajah Claire muncul dari balik pintu. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa ketertarikannya saat mendekati Jonathan. “Hai, kudengar dari papa, kau pengganti
Jonathan terpaksa menjual penthousenya dengan harga di bawah pasar, itu dilakukan demi segera mendapatkan uang membayar gaji dan tunjangan pisah karyawan resort. Pihak asuransi properti masih dalam penyelidikan tentang penyebab kebakaran sehingga tidak bisa mengupayakan pencairan asuransi kebakaran dalam waktu dekat.Jonathan meminta James untuk memperkerjakan kembali Simon di Weston dan juga merekomendasikan Mateo untuk bekerja di sana.Jonathan dan Emily melakukan persiapan untuk berangkat ke Manchester setelah sebelumnya berpamitan pada Aldera.“Jaga diri baik-baik, Sayang.” Aldera memeluk Emily dan Jonathan saat keduanya berpamitan pergi“Ibu jaga kesehatan, ya.”Emily mengurai pelukan. “Tolong sampaikan Eden, untuk biaya kuliahnya, akan kutransfer setiap bulan ke rekeningnya seperti biasa, jadi dia tak perlu khawatir.”Aldera mengangguk dengan mata berkaca-kaca.“Jaga Emily, Jonathan.”“Aku janji,” kata Jonathan sebelum keduanya berlalu pergi.Saat tiba di mansion, hanya James d
Jonathan berdiri di depan puing-puing bangunan resort bekas kebakaran. Ia terdiam lama. Emily ingin mendekat dan memberi semangat untuk Jonathan tapi ia enggan untuk mengganggu Jonathan yang tengah merenung. Lelaki itu tangguh. Hanya masalah seperti itu takkan menggoyahkan jiwanya. Emily yakin itu. Jonathan berbalik menghadapnya. Dengan senyum. "Aku sudah mengasuransikan properti ini. Tapi untuk membangunnya kembali butuh waktu lama. " Ia berbicara tidak hanya pada Emily, tapi juga ditujukan pada Lucas. "Dengan berat hati, aku harus menghentikan operasional resort. Aku akan bertanggungjawab memberikan hak kalian sesuai kesepakatan. " Sekarang ia benar-benar berdiri di depan Lucas. Lucas menghormati keputusan Jonathan. Setelah keduanya memberikan briefing singkat pada seluruh karyawan dan memberikan kesempatan untuk berpamitan, Jonathan dan Emily berkendara pulang. "Setelah urusan pembayaran gaji selesai, aku ingin kita pergi ke Manchester atau Wales, " ucap Jonathan saat kedu
Emily dirawat di rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap. Saluran pernapasan nya mengalami iritasi dan peradangan. Dalam kesempatan terakhir, Emily sempat hampir merasa dirinya telah mati. Kilasan kilasan peristiwa asing masuk ke dalam ingatannya dan Emily yakin mungkin inilah saat waktu nya telah berakhir di dunia. Tapi Tuhan masih menginginkan ia hidup. "Emily, kau sudah sadar? " Aldera yang pertama kali menyapanya. Emily mengerjapkan mata, suasana kamar yang serba putih dan bau khas rumah sakit membuatnya pening. "Ibu, apa yang terjadi? " "Kau pingsan saat resort kebakaran. " Emily terkesiap. "Kebakaran? " tanyanya panik. "Bagaimana orang-orang di dalam resort? " "Tak ada korban jiwa, Sayang. " Emily bersyukur dalam hati. "Kai yang membawa mu keluar dari ruangan. " "Kai?"Tiba-tiba ia teringat akan Kai. Juga sesuatu yang terjadi di masa lalu. Jonathan yang meminta maaf atas perbuatan adiknya yang berusaha menceburkan nya ke dalam kolam dan yang berusaha