Share

Bab 2

Deg!!

Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.

Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.

Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.

Tok..Tok... Tok...

"Assalamu'alaikum," tuturku lembut.

"Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi.

"Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu.

"Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.

Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim.

"Silakan duduk dulu, Bim!"

Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di seberang meja Kiayi lalu duduk.

"Abah, Zahra ke asrama ya!" ucap santriwati itu.

Abah? Siapa sebenarnya santriwati satu ini. Aku rasa Kiayi tidak mempunyai anak perempuan. Tapi, kenapa dia memanggil Kiayi dengan sebutan Abah. Hatiku semakin bertalun-talun tak karuan.

"Abim, tunggu sebentar ya! Saya mau anterin Zahra keluar dulu."

"Ndak usah, Bah. Zahra bisa sendiri," tolaknya. Dia pun berlalu dengan menggulir roda dari kursi rodanya.

Selesai dari ruangan Kiayi yang mana membahas tentang kepengurusanku yang dipercepat, yang seharusnya tahun depan malah tugas diberikan padaku dua hari kedepan. Aku berjalan sembari menunduk dengan hati yang berkecamuk campur aduk. Ada rasa rindu yang tertahan dan ada rasa khawatir dan ketakutan yang tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam.

“Afwan, Akh.” Suara lembut itu membuatku terkesiap. Sedikit kuangkat kepalaku lalu dengan cepat menunduk kembali saat mataku tak sengaja melihat ujung abaya dari seseorang yang berada di depanku.

“Afwan, man anti? (Siapa kamu; perempuan)”

“Afwan, Akh. Ana hanya mau mengembalikan milik antum,” ucapnya sembari tangannya menyerahkan secarik kertas padaku.

Deg!

Kertas itu. Tanpa pikir panjang dan rasa takut jikalau ada yang melihat kejadian ini, aku langsung meraih kertas tersebut dari tangannya.

“Syukron katsir. (Terimakasih banyak)”

Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung beranjak pergi dengan mengantongi secarik kertas tersebut.

Saat jarakku mulai jauh dari perempuan berkursi roda itu, aku setengah berlari menuju asrama santri. Peluh dingin terkucur begitu saja dari pelipisku. Tidak lupa napas yang tersengal membuatku hampir kehabisan napas.

“Kenapa, Bim? Kayak habis dikejar setan aja,” celetuk Arka yang sedang memegangi kitabnya.

Asrama saat ini sedang sunyi, hanya ada Arka dan juga aku. Semuanya sedang sibuk mencuci pakaian mereka dan kegiatan lainnya karna hari ini adalah hari libur.

“Arka, antum tau ndak siapa di santriwati yang pakai kursi roda?” tanyaku yang masih ngos-ngosan.

Arka menutup kitabnya lalu mengerutkan dahinya sembari berpikir. “Yang ana tahu cuman satu orang sih, Bim.”

“Siapa?” selaku.

“Itu, anak Kiayi yang baru pulang dari Mesir,” jawab Arka dengan wajah tanpa ekspresi. “Emangnya kenapa?”

Mataku membulat tak percaya, rasanya tenagaku habis terkuras mendengar jawaban dari Arka.

“Namanya?” tanyaku lagi dengan harapan dia bukan orang yang sama.

“Kalau ndak salah, Zahra.”

Deg!

Aku teringat ucapan Kiayi waktu aku di ruangan beliau. Bahwa beliau menyebut perempuan berkursi roda itu dengan nama Zahra dan perempuan itu menyebut Kiayi dengan sebutan Abah. Argh, aku bisa apa sekarang?

“Emangnya kenapa, Bim?”

“Antum ingat ndak yang ana ceritain waktu di pendopo ujung tentang kertas ana yang ilang?”

“Jadi maksud antum, yang nemuin kertas itu Ning Zahra?” ujar Arka dengan suara lantang.

Dengan cepat aku menutup mulut Arka dengan telapak tanganku karna akan semakin gawat jika terdengar oleh orang lain selain kami.

“Jangan kenceng-kenceng, Akh!” sergahku setengah berbisik.

“Iya, afwan. Terus gimana?”

“Ana juga ndak tahu. Mana lusa nanti ana diangkat jadi pengurus.”

“Wih, keren lah, Bim!”

“Keren? Ana lagi bingung nih. Kenapa bisa dipercepat gini, ana jadi khawatir kalau ini ada sangkut pautnya sama anak Kiayi itu,” asumsiku kuat dan kokoh.

Arka menelaah pikirannya, mencoba mencari jawaban dengan kerutan pada dahinya yang nampak jelas bagai dilukis oleh tangan pelukis terkenal. Begitupun aku yang juga berusaha berpikir dalam kesunyian beberapa menit ini. Dengan debar di dada yang masih menggebu tanpa henti, rasa takut dan khawatir ini menjadi-jadi.

“Akhi Abim, antum dipanggil Al-'Ah Sofwan di asrama ujung!” Seseorang memecah kesunyian antara aku dan Arka, aku mendilikkan mataku pada Arka yang sedang menganga menatapku. Debar jantung ini semakin terbawa ketegangan yang ada dalam dada.

“Ada, a-da apa?” tanyaku gugup pada lelaki yang sedang berdiri di ambang pintu asrama ini.

“La adri, akhi (Saya tidak tahu, saudara).”

Peluh dingin kembali terkucur dari pelipisku, kusibak pelan dengan pergelangan tanganku yang mungkin saat ini sedang gemetar. “Syukron, Akh.”

Lelaki itu mengangguk pelan memberi jawaban lalu beranjak pergi dari ambang pintu.

“Arka, gimana ini?” tanyaku cemas.

“Ana juga ndak tahu, Bim. Coba antum temui aja Al-'Ah biar kelar urusannya!” Arka memberikan usulan.

“Iya, Arka. Antum benar. Kalau gitu ana ke asrama ujung dulu ya!” Meski dengan rasa takut, aku tetap harus menemui Al-'Ah. Bagaimanapun, aku harus mempertanggungjawabkan kesalahanku.

Dengan kaki yang melangkah dengan berat, dengan hati yang amat kacau ini. Aku melangkahkan kaki, menguatkan tekad berdiri di depan asarama ujung tempat perkumpulan para pengurus. Aku mendengkus kasar, dengan suara yang agak parau aku mengucapkan salam setelah mengetuk pintu asrama yang tidak tertutup rapat ini.

Setelah salam terlontar dari mulutku, seseorang dari dalam asrama menyambangiku ke dekat pintu dengan menjawab salam yang baru beberapa detik aku ucapkan. Senyuman simpul begitu berat terukir pada bibirku, karna rasa takut yang kini mendominasi seluruh pikiran dan hatiku.

“Akhi Abim, nyari Al-'ah Sofwan, toh?”

Aku mengangguk pelan membenarkan.

“Silakan masuk saja! Al-'ah Sofwan sudah menunggu di dalam!” ujarnya mempersilakanku dengan sangat sopan sembari melebarkan bukaan pintu asrama ini.

Dengan badan jangkungku, aku masuk dengan menundukkan badanku, menatap lantai keramik yang menjadi pusat penglihatanku. Seorang lelaki bersarung batik dengan corak warna merah dan hitam yang terpasang rapi dari pinggangnya menjulur sampai atas mata kakinya sedang menghentakkan kaki pelan ke lantai kramik.

“Akhi Abim, antum tahu tujuan antum dipanggil kemari?” Suara serak basah dari lelaki itu membuatku terhenyak. Tak tahu apa jawaban yang harus aku lontarkan saat ini padanya.

“La adri ya Al-'ah (Saya tidak tahu wahai pengurus),” jawabku dengan bibir yang tertahan gemetar.

Tepukan pelan dari bahuku hampir meruntuhkan keseimbangan badanku yang lemah karna rasa takut saat ini. “Jangan gugup Akh. Antum pasti sudah bertemu dengan Kiayi kan barusan? Pastinya Kiayi sudah membocorkannya.”

Aku mendesah lega, ternyata tentang ke pengurusku yang dipercepat, bukan tentang kertas bucin itu. “Na’am, Al-'Ah.”

“Nah itu, Nahnu(kami) para pengurus di pondok ini ingin mengucapkan selamat bergabung. Mulai hari ini, antum satu asrama dengan kami di sini. Semua barang-barang antum yang ada di asrama Mujahid akan dipindahkan ke asaram ujung ini!” jelasnya dengan sangat santai.

Getar di bibirku mereda, sekarang senyuman terasa lebih mudah melengkung di bibirku. Aku mengangkat sedikit kepalaku yang tadi hanya mentap lantai keramik yang dipijk oleh kakiku. Ku tatap manik matanya yang sedang berada di hadapanku. Uluran tangannya mengarah ke arahku, sontak saja tanganku meraih uluran tangannya dengan senyuman yang melebar. “Syukron, Al'Ah,” ucapku. Lalu Al'ah Sofwan memelukku seperti seorang teman.

“Mulai sekarang, antum resmi menjadi bagian dari kami.”

Aku berjalan di setiap lorong asrama bertingkat ini, senyuman masih terpapar lebar di bibirku. Aku berdehem pelan saat melihat Arka yang sedang duduk di bangku panjang yang ada di depan asrama Mujahid dengan air es teh yang ada dalam plastik transparan dengan sedotan yang ujungnya ada di mulut Arka.

“Abim, gimana?” Langsung saja dia bangkit dari bangku saat mendengar deheman dariku yang memang mencuri perhatiannya yang tadi fokus pada halaman depan asrama.

“Aman!” jawabku kegirangan. “Oh iya, Arka. Ana hari ini pindah ke asrama pengurus.”

“Widih, ninggalin ana nih. Btw selamat ya, semoga bisa jadi pengurus yang baik!”

“Aamiin. Syukron!”

Dengan hati yang mulai tenang ini, aku dan Arka masuk ke dalam asrama. Mengumpulkan semua barang-barangku yang akan dipindahkan ke asrama ujung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status