Share

4

Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya.

"Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian.

"Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam.

"Nggih, Yah. In syaa Allah."

Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta.

"Bismillah."

***

Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren.

Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya cukup memperlihatkan kartu pelajarku dan aku diantarkan menuju asrama yang berada di lantai dua. Suara penuntut ilmu menderu memenuhi ruangan di setiap lantai yang ada. Semangat mereka sungguh membara. Aku berada di asrama yang memang kebanyakan dari pelajar orang Indonesia namun tidak menutup kemungkinan juga terdapat pelajar dari negara lainnya.

Kamar yang nyaman. Aku langsung meletakkan dan menyusun barang-barangku.

"Assalamu'alaikum," sapa seseorang yang baru saja masuk ke kamar ini.

Aku terdiam, menatapnya sejenak yang sedang berdiri di depanku.

"Waalaikumussalam." Aku bangkit.

"Orang baru?" tanyanya dengan bahasa arab amiyah. Jujur saja, aku masih kurang mahir dengan bahasa yang satu ini karena memang di pondok tidak mengenakan bahasa yang satu ini, hanya dipelajari saja.

"Iya," jawabku pula dengan bahasa arab.

"Dari mana?" tanyanya lagi.

"Indonesia."

"Orang Indonesia, ma syaa Allah, saudaraku." Logatnya berubah seketika. Bahasa Indonesianya sangat pekat dengan logat batak.

"Antum Indonesia juga."

"Na'am. Ana dari Indonesia, tepatnya dari Sumatera Utara."

"Lumayan jauh, Akh. Ana dari Jakarta."

Kami pun berteman. Berbincang ringan bersama seperti teman yang sudah lama kenal. Namanya Agam, sudah satu tahun tinggal di sini.

"Nanti, kalau antum perlu bantuan tinggal datangi ana di kamar samping. Ketuk saja!" tawarnya.

"Alhamdulillah, syukron jaziilan(terima kasih banyak)."

Agam melenggang pergi, kembali ke kamarnya. Aku kembali melanjutkan merapikan barang-barangku. Tiba-tiba aku kembali terhenti saat mengeluarkan buku catatan kecil dari Aulia. Hatiku terketuk pelan, senyuman terukir kala teringat wajah cantiknya.

"Aulia. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisimu. Tidak akan pernah."

'Assalamu'alaikum. Ibu, ayah. Gimana kabarnya di sana?' tanyaku dari balik panggilan video.

'Alhamdulillah. Ibu sama Ayah, sehat. Kamu gimana di sana? Ada temennya?'

'Alhamdulillah, Bu. Abim di sini sehat. Abim juga banyak banget temennya di sini. Jadi nggak kesepian.'

'Alhamdulillah. Ngaji yang bener, Nak. Jangan macem-macem di sana!' Ayah muncul setengah wajah di layar. Dia sedang sibuk dengan palu yang ada di tangannya.

'Iya, Ayah.'

'Lihat tuh Ayahmu nggak mau diem. Ada aja yang dibuatnya di rumah.' Mama mengarahkan kamera pada ayah, ayah sibuk memukul paku menggunakan palu.

Setelah selesai berbincang dengan ibu dan ayah. Aku teringat pada Aulia. Aku belum memberitahunya.

[Aulia. Abim sudah di Mesir] Pesan singkat terkirim dan menunggu balasan. Perbedaan waktu antara Mesir dan Indonesia lima jam lamanya. Di sini saja sudah pukul 18.30, bisa dipastikan jikalau Aulia yang di Jakarta sudah lama tidur lelap dalam mimpinya.

***

Kemana-mana aku pergi ditemani Agam. Dia adalah teman yang asyik dan berpengetahuan luas serta tidak pelit dengan ilmu. Aku banyak sekali mendapatkan ilmu darinya meski hanya berjalan menuju tempat berbelanja, di perjalanan tidak luput apa yang terlontar dari mulutnya adalah ilmu yang sangat bermanfaat untukku.

Agam juga mengenalkanku dengan teman-temannya yang lain, ada dari Indonesia dan berbagai negara. Aku bersyukur mendapatkan teman seperti dirinya.

Ada hal yang unik darinya. Dia sangat terjaga dari yang namanya perempuan. Bukannya tidak suka, hanya saja tidak terbiasa berbaur dengan makhluk Tuhan yang indah itu dan yang paling penting dia sangat menjaga hafalannya.

Katanya: Aku rela kehilangan seribu wanita yang paling cantik di dunia ini daripada aku harus kehilangan satu saja dari hafalanku.

Tekadnya memang sangatlah kuat. Hanya satu hafalan dia menafikan seribu wanita cantik, bagaimana perbandingan untuk seluruh hafalannya?

"Syukron, Akhi Agam sudah mengantarkan ana dan mengenalkan ana tentang Mesir."

"Ana juga berterima kasih karena antum sudah mentraktir ana tadi. Maaf karena kalau sama ana antum harus jalan kaki dengan jarak yang jauh."

"Tidak masalh, Akh. Kalau gitu ana masuk ke kamar ya, mau siap-siap salat zuhur."

"Ana juga. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumussalam."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status