Share

5

Satu tahun di Mesir berlalu.

Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini.

"Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia."

Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah.

"Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur."

Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar.

"Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar.

"Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon.

'Assalamu'alaikum, Gus.'

'Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus penerbangan antum.'

Dadaku berdesir, ada apa ini?

'In syaa Allah bisa, Gus. Tapi, kenapa buru-buru sekali?'

'Abah jatuh pingsan di pondok, Bim. Abah minta buat antum pulang ke pondok.'

'Innalillahi wa innalillahi roji'un. Gimana keadaan Kiayi sekarang, Gus? Sudah dibawa ke rumah sakit?' tanyaku cemas. Mungkin inilah hal yang membuatku cemas sedari tadi.

'Belum, Bim. Abah ndak mau. Alhamdulilah Abah sudah sadarkan diri, katanya mau ketemu sama kamu.'

'Alhamdulillah. Baik, Gus. Ana bakal siap-siap buat pulang besok.'

'Na'am, akh. Kalau gitu sudah dulu. Ana mau nyiapin semuanya. Maaf mengganggu antum malam-malam gini. Assalamu'alaikum.'

'Waalaikumussalam.'

Aku membuka almari, mencari tas untuk membawa beberapa lembar pakaian untuk pulang ke Indonesia. "Ya Allah, sembuhkan sakit Kiayi. Semoga Beliau sehat kembali."

***

"Mau pulang, Akhi Abim" tanya Agam yang kebetulan baru datang dari masjid.

"Pulang ke Indonesia, Akh." Aku sibuk mengikat tali sepatu.

"Ke Indonesia? Ndak bilang-bilang ya."

Aku tersenyum seutas. "Afwan, akh. Ndak sempat berkabar karena mendadak."

Agam menepuk pundakku. "Ya sudah, hati-hati ya, Bim. Jangan lupa balik lagi ke sini."

"Aamiin, syukron Gam."

"Antum pulang bukan mau nikah kan?" tanyanya.

Aku mengangkat alis. "Apaan sih antum ini. Ana pulang karena permintaan Kiayi."

"Kali aja kan, antum pulang tau-tau dijodohkan sama anak Kiayi dan nikah. Sohib ana berkurang kalau antum nggak balik ke sini."

"Antum ini ada-ada saja." Aku menggelengkan kepala. "Anak berangkat ke bandara ya. Nanti kalau ada umur dan ana kembali lagi ke sini, antum harus ajarin ana semua pelajaran yang ketinggalan."

"Siap-siap."

Semalam tidurku tidak lebih dari sepuluh menit, kepikiran bagaimana keadaan kiayi di sana. Aku sudah berada di dalam pesawat dan siap terbang ke Indonesia.

Aku menatap tanah Mesir dari jendela pesawat. Tanah yang berbeda dengan Indonesia. Baru satu tahun berada di sini membuatku sangat mencintainya sama seperti aku mencintai tanah kelahiranku.

Karena kurang tidur, kantuk sudah menggerogoti mataku. Aku tertidur sangat pulas hingga aku tak tahu berapa lama perjalanan yang aku tempuh. Pengumuman membuatku terbangun, aku telah sampai di bandara Indonesia.

Setelah keluar dari pesawat, aku mengecek ponselku. Sebuah pesan dari Aulia menjadi notifikasi pertama yang aku lihat. "Astagfirullah, aku lupa ngasih tahu Aulia kalau hari ini aku pulang ke Indonesia."

Hampir saja jemariku menyentuh pesan dari Aulia, tiba-tiba panggilan masuk dari Gus Adnan membuatku lupa. Aku menekan tombol telepon berwarna hijau.

'Abim. Ana di luar, kamu cari saja mobil pondok.'

'Baik, Gus.'

Aku berjalan setengah berlari. Ku edarkan pandangan seluas mata memandang. Berusaha mencari mobil berlogo pondok pesantren kiayi Ja'far.

"Nah itu," ucapku.

"Assalamu'alaikum, Gus." Gus Adnan nampak sedang sibuk dengan ponselnya.

"Waalaikumussalam, Abim. Mari kita pulang. Kata Zahra Abah merasa sakit lagi. Antum nyetir ya, Bim"

"Iya, Gus."

Kami pun bergegas pergi dengan perasaan cemas. Kulihat jelas dari raut wajah Gus Adnan, dia pasti tidak tenang dan sedih dengan keadaan kiyai yakni orang tuanya sendiri. Kiayi sangat dicintai, aku sebagai murid beliau saja merasa sangat gelisah dan sedih apalagi anak kandungnya.

'Gimana keadaan Abah, Zah?'

'Sebentar lagi kami sampai ke pondok. Berkabar selalu!'

"Bim. Seisi pondok berduka atas keadaan Abah. Ana kalang-kabut, Bim. Untung kamu pulang."

"Semoga Kiayi baik-baik saja, Gus."

"Aamiin."

Perjalanan menuju pondok cukup jauh, kurang lebih empat puluh menit waktu tempuh dari bandara. Kami telah sampai ke depan rumah Kiayi.

"Adnan. Adikmu, Zahra." Nyai terlihat lesu.

"Zahra kenapa Ummah?"

"Zahra ngurung diri di kamar, kayaknya dia lagi nangis."

"Ummah tenang saja, ada Adnan di sini. Biar Adnan yang tenangkan Zahra." Gus Adnan memeluk dan menenangkan Nyai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status