Share

3

Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).

Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri.

Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu.

Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...

Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampir pada perjanjian dari aplikasi hijau dengan bentuk gagang telepon. Pesan sebuah pertemuan di taman dekat alun-alun kota.

"Abim." Kebahagiaan tergambar jelas dari manik matanya.

Langkah kakiku menderu mendatanginya yang sedang duduk di kursi kayu di bawah pohon rindang yang tersedia di taman.

"Aulia," ucapku yang telah berada di hadapannya. Desiran darah ini menjalur begitu derasnya, detak jantung kian berirama dengan hentakan napas yang amat bahagia ini. Garis wajahnya masih sama seperti dulu, telah lama tak bertemu hingga rindu benar-benar telah menggebu.

"Abim, Aulia rindu sama Abim," lirihnya dengan manik mata yang mulai berkaca-kaca.

Aku mengangguk dengan menautkan senyumanku. "Abim juga rindu sama Aulia."

"Abim beneran mau ke Mesir?" Bulir bening telah menganak sungai di pipinya. Ingin rasanya aku menyeka, tapi tak berani aku menyentuhnya. Dia memang kekasihku, tapi kami telah berjanji tidak akan bersentuhan sebelum terikatnya janji pernikahan.

"Iya, Aulia. Abim akan berangkat ke Mesir lusa nanti."

Jemarinya merogoh isi dari tas kecilnya yang tersandang di bahunya itu. "Ini buat Abim. Kenang-kenangan dari Aulia supaya Abim ga lupain Aulia di sana!" ujarnya sembari menyerahkan sebuah buku kecil berwarna merah muda kepadaku. Aku meraihnya dengan jeritan di dalam hatiku.

"Aulia minta, jika nanti di sana. Abim bertemu dengan seorang perempuan atau siapa pun itu yang membuat hati abim terbesit memburam tentang Aulia, secepatnya Abim tulis di dalam buku itu tentang kata hati Abim ataupun rasa penyesalan Abim pada Aulia," tuturnya gemetar. "Abim janji kan? Ga akan lupain Aulia?" sambungnya.

Aku menatap manik matanya dengan tulus dan mengangguk perlahan. "Abim janji, Abim ga akan pernah lupain Aulia."

Pertemuan yang amat singkat ini sangat berkesan pada kami berdua. Bagaimana tidak, rasa rindu menggebu ini seketika luruh saat menatap manik mata yang saling mencinta.

Aulia, sudah berada di akhir semester S1 Keperawatan.

"Abim. Doakan Aulia, semoga lulus dengan baik."

Aku mengangguk penuh dengan bangga. Aulia adalah perempuan yang cerdas dalam pelajaran apapun dan multitalent, dia bisa segalanya. Yang istimewa di mataku adalah dia bisa menjadi gadis kecil yang cerewet, menjadi penasihat handal, mengosongkan masakan, dan tentunya bisa membuatku jatuh cinta. Dia cinta keduaku setelah ibuku.

"Tentu, Aulia. Abim akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, untuk kita juga."

Senyuman itu mengembang lagi, sangat indah dipandang mata. Apalagi mata yang sudah lama menanti pemandangan indah ini.

Kami berdua berkeliling di alun-alun, kebetulan hari ini ada acara pameran yang sudah dilaksanakan sejak dua hari yang lalu, hari ini penutupan acara. Suasana ramai memenuhi alun-alun kota. Padahal lebih seru waktu malam, tapi tak apa yang penting bersama Aulia.

"Bim, Aulia mau naik kincir angin. Boleh?" tanyanya imut.

"Boleh."

Aulia kegirangan. Ini adalah kebahagian sebelum perpisahan untuk yang kesekian kalinya. Kami berdua mengantre di barisan para pengunjung yang ingin naik kincir angin.

Tepukan pundak mengagetkanku. Sontak saja aku menoleh ke belakang.

"Abim."

"Ilham. Lama nggak ketemu." Aku menjabat tangan Ilham. Ilham, temanku waktu sekolah dulu. Dia juga teman Aulia.

"Sudah selesai di pondok, Bim?" tanyanya.

"Belum. Cuman pulang sebentar ke rumah."

"Waduh Pak Ustaz kita ini. Sibuk banget ya di pondok, kita nggak pernah lagi ngumpul-ngumpul kayak dulu main bola di lapangan depan rumahku." Ilham memegangi pundakku. "Oh iya, sama siapa ke sini?" tanyanya.

"Tuh." Aku menunjuk pada perempuan yang berdiri di depanku, Aulia.

"Aulia?"

"Siapa lagi kalau bukan dia."

"Keren. Awet banget ya hubungan kalian. Kalau gitu aku pamit dulu ya, mau pulang nih."

Aku mengangguk. Tidak lupa sebelum perpisahan kami melakukan salam pertemanan terlebih dahulu.

Setelah menunggu lebih kurang sepuluh menit, akhirnya giliran kami yang naik. Aulia teramat senang. Dia memintaku selfi bersamanya berulang kali, katanya buat kenang-kenangan kalau misal kangen.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status