Share

Cinta untuk Suami Kedua
Cinta untuk Suami Kedua
Author: Anita

Merayakan Cinta

“Adinda Dwi Ersalina, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?”

Adinda tersipu mendengar pertanyaan indah yang diucapkan oleh laki-laki di hadapannya. Wajahnya berbinar bahagia mengalahkan sinar rembulan yang bertahta di langit malam. Dia tidak menyangka akan dilamar malam itu juga.

Ardiaz Alfarezel, selama beberapa bulan belakangan, nama itu sudah sering mengukir bahagia dalam jejak hidup Adinda. Perkara jodoh memang tidak bisa ditebak. Adin tidak menyangka hubungan mereka akan berlanjut sampai sejauh itu. Padahal awalnya pertemuan mereka terjadi sepintas ketika Adin melaksanakan tugasnya sebagai marketing di salah satu bank syariah.

Diaz adalah seorang pengusaha kuliner yang bergerak di bidang halal food. Interaksi sebagai nasabah dan karyawan bank membuat hubungan mereka perlahan berkembang lebih jauh. Lebih dari sekedar hubungan kerja sama dalam pekerjaan.

Adinda adalah seorang perempuan yang taat agama. Kecantikan budi pekerti dan kebaikan hatinya yang membuat Diaz selalu terpesona dalam setiap pertemuan mereka. Adinda cukup pandai dalam menjaga batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang membuat Diaz semakin menaruh hormat kepadanya.

Bagi Diaz, tak mudah menemukan spesies perempuan seperti Adinda di zaman sekarang. Seolah hanya satu di antara seribu. Oleh karenanya, tak sulit bagi Diaz untuk memantapkan hati dan memilih Adinda sebagai pasangan hidup. Diaz berpikir Adinda akan menjadi rekan yang tepat untuk sehidup sesurga.

Diaz tidak ingin menunda niat baik terlalu lama. Apalagi dia tahu Adinda tak menghendaki adanya komitmen sebelum pernikahan. Meski begitu bukan berarti mereka tak melewati proses sebelumnya. Hanya cukup dalam dua bulan melakukan taaruf, mereka pun sudah bisa memantapkan hati masing-masing.

Akhirnya hari itu, Diaz memutuskan untuk langsung melamar Adinda. Walau belum mendatangi orang tua secara resmi, tapi Diaz ingin mengetahui jawaban Adinda terlebih dahulu. Jika memang perempuan itu bersedia, maka dia akan langsung datang ke rumah Adinda dengan membawa serta tanggal pernikahan mereka.

“Berikan jawabanmu, Adinda. Jangan biarkan cincin ini menunggu jarimu terlalu lama,” tegur Diaz mengembalikan kesadaran Adinda yang sempat menerawang jauh mengingat kembali pertemuan mereka. Diaz masih dalam posisinya dengan tangan terulur menunjukkan sebuah kotak beludru berisi cincin yang dia suguhkan untuk gadis pujaan hatinya.

“Apa kamu yakin aku akan menerimanya?” ujar Adinda justru balik bertanya. Namun pertanyaan itu lebih mirip seperti candaan.

“Aku pasrahkan semuanya pada Allah. Apa pun jawabanmu akan aku terima,” jawab Diaz. “Proses demi proses yang aku lalui untuk mengenalmu sudah cukup membuatku yakin untuk menentukan pilihan. Aku percaya bersamamu agamaku akan sempurna. Ini adalah ikhtiarku, Adinda. Hasil selanjutnya tidak akan lepas dari kehendak dan kuasa Allah. Sebagaimana kuasa-Nya pula yang mempertemukan kita dan menuntun hatiku untuk memilihmu,” imbuhnya membuat hati Adinda semakin bergetar mendengarnya.

“Kita hanya mengenal dalam rentang waktu yang singkat. Bagaimana jika ternyata aku memiliki kekurangan yang tidak mudah untuk kamu terima nantinya?” tanya Adinda.

“Setiap manusia tidak ada yang sempurna, Din. Bahkan manusia diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Aku tidak menuntut kesempurnaan dirimu. Dengan dirimu yang seperti ini saja sudah cukup bagiku. Aku akan ikhlas menerima segala kekuranganmu karena dalam rumah tangga ini nantinya yang aku harapkan hanyalah ridha Allah. Aku tidak akan mengeluhkan apa pun kondisimu,” jelas Diaz.

Adinda tersentuh mendengar ketulusan laki-laki yang baru sekitar dua bulan dia kenali. Sebenarnya tak sulit menerima pinangan seorang Ardiaz Alfarezel. Wajahnya yang tampan, karirnya yang mapan, serta budi baik yang dimiliki Diaz sudah menjadi alasan yang cukup untuk dijadikan seorang suami yang ideal.

Adinda sudah pernah melihat sendiri bagaimana Diaz selalu berusaha mengejar shalat di awal waktu. Diaz juga begitu hati-hati dalam mengelola usahanya dan memastikan mendapatkan pendapatan yang halal dari setiap pekerjaannya. Sejauh ia mengenal Diaz, Adinda percaya Diaz bisa menjadi seorang imam yang baik untuknya.

“Bismillah...dengan mengharap keridhaan Allah, insyaallah aku siap menerima lamaran Mas Diaz,” ucap Adinda mantap diikuti tatapan dan senyum sumringah di wajah Ardiaz.

Hari itu mereka berdua sangat bahagia. Hati rela untuk saling menerima satu sama lain. Bahkan Ardiaz tak ragu memberikan cincin yang dia bawa. Meski Adinda harus menyematkan sendiri cincin itu di jarinya karena mereka belum halal untuk saling bersentuhan.

Setelah kesepakatan itu, Adinda mempertanyakan kapan pastinya Ardiaz akan datang melamar secara resmi ke rumah dan menemui kedua orang tuanya. Ardiaz pun mengatakan akan melakukannya dengan segera. Adinda sempat khawatir tentang restu. Tapi Ardiaz meyakinkan bahwa orang tuanya sudah menyerahkan semua pilihan kepadanya.

“Lagi pula kalau tahu calonnya secantik dan sebaik kamu, aku yakin orang tuaku tidak akan menolaknya. Kamu akan menjadi menantu yang ideal di mata mereka,” kata Ardiaz membuat Adinda mengulum senyumnya.

“Jangan memuji berlebihan seperti itu,” balas Adinda. Setiap orang pasti ingin mendapatkan keluarga mertua yang bisa menerimanya dengan baik. Begitu pula dengan Adinda. Dia ingin memiliki orang tua kedua yang bisa menyayanginya seperti anak sendiri.

Tidak hanya tentang rencana lamaran resmi, pada pertemuan kali itu mereka juga sempat membicarakan tentang karir ke depannya. Adinda bertanya apakah dia masih boleh bekerja atau tidak setelah menikah. Bagaimana pun juga setelah berstatus sebagai istri seseorang maka dia harus patuh dan melakukan segala sesuatu atas izin sang suami.

Ardiaz paham sejak awal Adinda adalah seorang perempuan yang berwatak mandiri. Dia memberikan kebebasan pada Adinda untuk tetap menjalankan pekerjaannya. Dengan catatan tidak melalaikan tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Adinda tersenyum lega. Dia memang yakin bahwa Ardiaz adalah laki-laki yang bisa memahaminya. Terbukti Ardiaz tidak mempersulit keinginannya untuk tetap bekerja. Bukan khawatir nafkah yang tak cukup, hanya saja Adinda merasa pekerjaan itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Malam itu tidak sekedar lamaran, mereka berdua seolah sedang merancang garis besar haluan rumah tangga mereka nantinya. Tentang karir, tempat tinggal, keturunan dan sebagainya. Mereka sepakat hal tersebut penting untuk dibicarakan sebelum pernikahan.

Setelah malam semakin gelap, mereka pun memutuskan untuk pulang. Ardiaz tidak mengantar Adinda pulang karena Adinda pun tidak akan setuju. Mereka hanya berdua dan tidak ada mahram lain yang menemani. Adinda tidak ingin hanya berduaan saja di dalam mobil.

Adinda memutuskan untuk pulang dengan taksi online. Ardiaz hanya bisa mengantarkan gadis pujaannya hingga masuk ke dalam taksi yang akan membawanya pergi. Lambaian tangan pun mengakhiri pertemuan mereka. Tak lupa pula janji Ardiaz untuk mendatangi kedua orang tua Adinda.

Adinda merasa sangat bahagia. Bahkan dia tetap tersenyum-senyum sendiri di dalam mobil sembari memandangi cincin yang sudah melingkar di jarinya. Bahagianya membuncah membayangkan saat Ardiaz melamarnya beberapa jam yang lalu.

Belum usai senyum merekah di bibirnya, Adinda tiba-tiba dikejutkan oleh dering notifikasi ponsel. Adinda merogoh dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ada satu pesan masuk dari nomor yang masih tersimpan dalam daftar kontaknya.

“Rafli?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status