“Adinda Dwi Ersalina, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?”
Adinda tersipu mendengar pertanyaan indah yang diucapkan oleh laki-laki di hadapannya. Wajahnya berbinar bahagia mengalahkan sinar rembulan yang bertahta di langit malam. Dia tidak menyangka akan dilamar malam itu juga.
Ardiaz Alfarezel, selama beberapa bulan belakangan, nama itu sudah sering mengukir bahagia dalam jejak hidup Adinda. Perkara jodoh memang tidak bisa ditebak. Adin tidak menyangka hubungan mereka akan berlanjut sampai sejauh itu. Padahal awalnya pertemuan mereka terjadi sepintas ketika Adin melaksanakan tugasnya sebagai marketing di salah satu bank syariah.
Diaz adalah seorang pengusaha kuliner yang bergerak di bidang halal food. Interaksi sebagai nasabah dan karyawan bank membuat hubungan mereka perlahan berkembang lebih jauh. Lebih dari sekedar hubungan kerja sama dalam pekerjaan.
Adinda adalah seorang perempuan yang taat agama. Kecantikan budi pekerti dan kebaikan hatinya yang membuat Diaz selalu terpesona dalam setiap pertemuan mereka. Adinda cukup pandai dalam menjaga batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Hal itulah yang membuat Diaz semakin menaruh hormat kepadanya.
Bagi Diaz, tak mudah menemukan spesies perempuan seperti Adinda di zaman sekarang. Seolah hanya satu di antara seribu. Oleh karenanya, tak sulit bagi Diaz untuk memantapkan hati dan memilih Adinda sebagai pasangan hidup. Diaz berpikir Adinda akan menjadi rekan yang tepat untuk sehidup sesurga.
Diaz tidak ingin menunda niat baik terlalu lama. Apalagi dia tahu Adinda tak menghendaki adanya komitmen sebelum pernikahan. Meski begitu bukan berarti mereka tak melewati proses sebelumnya. Hanya cukup dalam dua bulan melakukan taaruf, mereka pun sudah bisa memantapkan hati masing-masing.
Akhirnya hari itu, Diaz memutuskan untuk langsung melamar Adinda. Walau belum mendatangi orang tua secara resmi, tapi Diaz ingin mengetahui jawaban Adinda terlebih dahulu. Jika memang perempuan itu bersedia, maka dia akan langsung datang ke rumah Adinda dengan membawa serta tanggal pernikahan mereka.
“Berikan jawabanmu, Adinda. Jangan biarkan cincin ini menunggu jarimu terlalu lama,” tegur Diaz mengembalikan kesadaran Adinda yang sempat menerawang jauh mengingat kembali pertemuan mereka. Diaz masih dalam posisinya dengan tangan terulur menunjukkan sebuah kotak beludru berisi cincin yang dia suguhkan untuk gadis pujaan hatinya.
“Apa kamu yakin aku akan menerimanya?” ujar Adinda justru balik bertanya. Namun pertanyaan itu lebih mirip seperti candaan.
“Aku pasrahkan semuanya pada Allah. Apa pun jawabanmu akan aku terima,” jawab Diaz. “Proses demi proses yang aku lalui untuk mengenalmu sudah cukup membuatku yakin untuk menentukan pilihan. Aku percaya bersamamu agamaku akan sempurna. Ini adalah ikhtiarku, Adinda. Hasil selanjutnya tidak akan lepas dari kehendak dan kuasa Allah. Sebagaimana kuasa-Nya pula yang mempertemukan kita dan menuntun hatiku untuk memilihmu,” imbuhnya membuat hati Adinda semakin bergetar mendengarnya.
“Kita hanya mengenal dalam rentang waktu yang singkat. Bagaimana jika ternyata aku memiliki kekurangan yang tidak mudah untuk kamu terima nantinya?” tanya Adinda.
“Setiap manusia tidak ada yang sempurna, Din. Bahkan manusia diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Aku tidak menuntut kesempurnaan dirimu. Dengan dirimu yang seperti ini saja sudah cukup bagiku. Aku akan ikhlas menerima segala kekuranganmu karena dalam rumah tangga ini nantinya yang aku harapkan hanyalah ridha Allah. Aku tidak akan mengeluhkan apa pun kondisimu,” jelas Diaz.
Adinda tersentuh mendengar ketulusan laki-laki yang baru sekitar dua bulan dia kenali. Sebenarnya tak sulit menerima pinangan seorang Ardiaz Alfarezel. Wajahnya yang tampan, karirnya yang mapan, serta budi baik yang dimiliki Diaz sudah menjadi alasan yang cukup untuk dijadikan seorang suami yang ideal.
Adinda sudah pernah melihat sendiri bagaimana Diaz selalu berusaha mengejar shalat di awal waktu. Diaz juga begitu hati-hati dalam mengelola usahanya dan memastikan mendapatkan pendapatan yang halal dari setiap pekerjaannya. Sejauh ia mengenal Diaz, Adinda percaya Diaz bisa menjadi seorang imam yang baik untuknya.
“Bismillah...dengan mengharap keridhaan Allah, insyaallah aku siap menerima lamaran Mas Diaz,” ucap Adinda mantap diikuti tatapan dan senyum sumringah di wajah Ardiaz.
Hari itu mereka berdua sangat bahagia. Hati rela untuk saling menerima satu sama lain. Bahkan Ardiaz tak ragu memberikan cincin yang dia bawa. Meski Adinda harus menyematkan sendiri cincin itu di jarinya karena mereka belum halal untuk saling bersentuhan.
Setelah kesepakatan itu, Adinda mempertanyakan kapan pastinya Ardiaz akan datang melamar secara resmi ke rumah dan menemui kedua orang tuanya. Ardiaz pun mengatakan akan melakukannya dengan segera. Adinda sempat khawatir tentang restu. Tapi Ardiaz meyakinkan bahwa orang tuanya sudah menyerahkan semua pilihan kepadanya.
“Lagi pula kalau tahu calonnya secantik dan sebaik kamu, aku yakin orang tuaku tidak akan menolaknya. Kamu akan menjadi menantu yang ideal di mata mereka,” kata Ardiaz membuat Adinda mengulum senyumnya.
“Jangan memuji berlebihan seperti itu,” balas Adinda. Setiap orang pasti ingin mendapatkan keluarga mertua yang bisa menerimanya dengan baik. Begitu pula dengan Adinda. Dia ingin memiliki orang tua kedua yang bisa menyayanginya seperti anak sendiri.
Tidak hanya tentang rencana lamaran resmi, pada pertemuan kali itu mereka juga sempat membicarakan tentang karir ke depannya. Adinda bertanya apakah dia masih boleh bekerja atau tidak setelah menikah. Bagaimana pun juga setelah berstatus sebagai istri seseorang maka dia harus patuh dan melakukan segala sesuatu atas izin sang suami.
Ardiaz paham sejak awal Adinda adalah seorang perempuan yang berwatak mandiri. Dia memberikan kebebasan pada Adinda untuk tetap menjalankan pekerjaannya. Dengan catatan tidak melalaikan tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga.
Adinda tersenyum lega. Dia memang yakin bahwa Ardiaz adalah laki-laki yang bisa memahaminya. Terbukti Ardiaz tidak mempersulit keinginannya untuk tetap bekerja. Bukan khawatir nafkah yang tak cukup, hanya saja Adinda merasa pekerjaan itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Malam itu tidak sekedar lamaran, mereka berdua seolah sedang merancang garis besar haluan rumah tangga mereka nantinya. Tentang karir, tempat tinggal, keturunan dan sebagainya. Mereka sepakat hal tersebut penting untuk dibicarakan sebelum pernikahan.
Setelah malam semakin gelap, mereka pun memutuskan untuk pulang. Ardiaz tidak mengantar Adinda pulang karena Adinda pun tidak akan setuju. Mereka hanya berdua dan tidak ada mahram lain yang menemani. Adinda tidak ingin hanya berduaan saja di dalam mobil.
Adinda memutuskan untuk pulang dengan taksi online. Ardiaz hanya bisa mengantarkan gadis pujaannya hingga masuk ke dalam taksi yang akan membawanya pergi. Lambaian tangan pun mengakhiri pertemuan mereka. Tak lupa pula janji Ardiaz untuk mendatangi kedua orang tua Adinda.
Adinda merasa sangat bahagia. Bahkan dia tetap tersenyum-senyum sendiri di dalam mobil sembari memandangi cincin yang sudah melingkar di jarinya. Bahagianya membuncah membayangkan saat Ardiaz melamarnya beberapa jam yang lalu.
Belum usai senyum merekah di bibirnya, Adinda tiba-tiba dikejutkan oleh dering notifikasi ponsel. Adinda merogoh dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Ada satu pesan masuk dari nomor yang masih tersimpan dalam daftar kontaknya.
“Rafli?”
Pertemuan dua keluarga sudah berlangsung. Bahkan tanggal pernikahan Adinda dan Ardiaz juga sudah ditetapkan. Namun sayang belakangan ini wajah Adinda justru sering tampak muram. Bukannya tak bahagia karena sebentar lagi dirinya akan menjadi istri seseorang. Dia gelisah memikirkan beban lain yang datang.Banyak yang mengatakan beberapa ujian seringkali terjadi pada seseorang yang akan segera menikah. Termasuk dengan kehadiran sosok dari masa lalu. Itulah yang sedang mengganggu kebahagiaan Adinda. Rafli, mantan kekasihnya datang dan menghubunginya kembali.Dua tahun yang lalu saat masih menginjak semester akhir di salah satu perguruan tinggi, Adinda sempat menjalin hubungan dengan Rafli yang merupakan teman kuliahnya. Dulu Adinda belum berhijrah seperti sekarang ini. Dia masih sempat mencicipi keindahan hubungan tak halal dengan lawan jenis yang berlabel pacaran.Saat itu Adinda mengalami musibah dalam hidupnya. Ketika dirinya disibukkan dengan tugas akhir skripsi, ayahnya pun mengalami
“Pamali lho, Din. Calon pengantin sedang dipingit kok mau keluar rumah,” tegur Salma, ibu dari Adinda. Bukannya mendengar nasihat dari sang ibu, Adin justru melempar senyumnya dengan tenang.“Insyaallah tidak akan terjadi apa-apa, Ma. Adin hanya keluar sebentar karena ada keperluan,” bantah Adinda tak mau menuruti pemikiran sang ibu.“Tapi…”“Apa yang dikatakan putri kita itu benar, Ma. Jangan terlalu khawatir. Tidak perlu terbelenggu dengan pemikiran-pemikiran seperti itu. Perbanyaklah berdoa agar semuanya baik-baik saja,” sambung Ahyan, ayahnya Adinda. Dia menghampiri istrinya dengan kursi roda dan menengahi perbincangan ibu dan anak itu. Senyum semakin mengembang di wajah Adinda lantaran merasa memiliki dukungan dari ayahnya.“Baiklah kalau begitu,” jawab Salma mengalah. “Kamu boleh keluar. Tapi ingat! Jangan terlalu lama,” imbuhnya memperingati.“Iya, Mama sayang,” balas Adinda sembari menaruh sebelah tangannya di kepala dengan posisi hormat. “Kalau begitu Adinda pamit dulu ya. As
“Ya Allah…bukankah aku perempuan baik-baik? Aku sudah berusaha menjadi hamba-Mu yang baik. Lantas mengapa Engkau berikan takdir seburuk ini kepadaku? Mengapa Engkau timpakan cobaan yang merusak kesucian diriku di hadapan-Mu? Bukankah dosa besar ini tidak Engkau sukai? Aku yang selama ini berlari untuk semakin dekat kepada-Mu, kenapa Engkau berikan jarak berupa dosa besar yang semakin membentang. Sekarang mungkinkah aku masih bisa meraih ridha-Mu dengan kondisi yang sudah berada dalam kubangan lumpur seperti ini? Bahkan untuk bersanding dengan salah satu makhluk terbaikmu saja aku merasa malu.”Perempuan itu terus termenung menatap kosong pada langit gelap yang berbintang. Dia berdiri di dekat jendela kamarnya yang terbuka. Dia sedang sibuk berdialog dengan dirinya sendiri mengenai kejadian buruk yang baru saja ia alami. Memikirkan tentang nasib dirinya dan rencana pernikahannya.Semakin wajah Ardiaz berkelindan di pelupuk mata, semakin pula Adinda terbayang kejadian buruk yang sudah m
“Apakah kamu sudah mendapatkan rekaman CCTVnya?” tanya pemuda yang masih duduk di kursi kebesarannya. Sementara laki-laki lain yang turut berada di ruangan itu langsung melangkah mendekat dengan tangan memegang laptop yang terbuka. Dia siap menunjukkan rekaman yang diinginkan oleh sang atasan.“Itu adalah rekaman CCTV di Hotel Gardenia kamar nomor 304 pada hari kejadian. Bos bisa melihatnya sendiri,” ujar laki-laki itu setelah meletakkan laptopnya tepat di hadapan atasannya.Tanpa membuang waktu lebih lama, gemetar tangan pemuda itu langsung menekan tombol untuk memutar isi rekaman. Dia bisa melihat segala adegan dalam ruangan persegi empat itu. Segala yang terjadi antara dirinya dengan perempuan yang bahkan tidak dia kenali dengan baik identitasnya.Kedua mata laki-laki itu tak lepas memperhatikan tontonannya. Sesekali dia menelan ludah kasar dan menghembuskan napas berat jika mengingat kesalahan yang sudah dia lakukan. Terlebih saat melihat bagaimana sosok perempuan itu menangis his
“Mungkin dengan mudahnya orang lain akan berkata, untuk apa mengejar setangkai bunga layu jika masih bisa mendapatkan bunga yang baru. Tapi aku tidak begitu. Bagaimana pun juga aku lah penyebab bunga itu menjadi layu dan aku berjanji akan mendapatkan bungaku itu. Setidaknya mungkin aku bisa membuatnya tidak terlalu menderita karena perbuatanku yang sudah merusaknya.”Rasya gelisah menanti kabar lanjutan dari Andre. Asistennya itu baru saja mengabari bahwa dia sudah menemukan identitas perempuan yang menjadi korban Rasya. Rasya pun segera memanggil Andre ke ruangannya.“Jadi katakan, siapa sebenarnya perempuan yang membersamaiku di hotel malam itu?” tanya Rasya sangat penasaran.“Saya sudah menyelidikinya, Bos. Perempuan itu bernama Adinda Dwi Ersalina. Dia bekerja sebagai marketing di salah satu perbankan. Dia adalah putri tunggal dari sepasang suami istri. Ayahnya mengalami kelumpuhan karena sebuah kecelakaan. Selama ini dia yang membantu roda perekonomian keluarga. Selain itu dia d
Hari itu Adinda dihubungi pihak butik terkait fitting baju pengantin untuk pernikahannya dengan Ardiaz. Hampir delapan puluh persen persiapan telah terlaksana. Hari demi hari yang terlewati juga semakin mengikis waktu hingga sampai pada hari yang seharusnya bahagia itu. Semua orang begitu bahagia dan tak sabar menantikan hari besar bagi dua keluarga. Tapi berbeda bagi Adinda yang dipenuhi dengan ketakutan dalam batinnya. Harapan terlaksananya akad nikah perlahan dia hapuskan dari angan. Belum tentu impiannya untuk menjadi istri Ardiaz akan menjadi kenyataan setelah kejujuran yang akan dia sampaikan. Setelah menimbang berkali-kali, Adinda memutuskan hari itu akan menyampaikan segalanya pada sang calon suami. Dia dan Ardiaz berjanji akan bertemu langsung di butik. Adinda berniat menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan kebenaran dirinya pada Ardiaz. Adinda bahkan tidak terlalu bersemangat untuk pergi ke sana. Dia takut dirinya belum benar-benar siap dengan kemungkinan buruk yang
Ardiaz menatap lekat perempuan bergamis abu-abu yang sedang terisak di hadapannya. Dia sadar butuh keberanian yang besar bagi Adinda untuk mengutarakan kejujuran seburuk itu pada laki-laki yang merupakan calon suaminya.Ardiaz bisa mengerti ketakutan Adinda. Hanya saja dia tidak menyangka jika ternyata pakaian longgar dan panjang itu bahkan tak mampu melindungi kehormatan calon istrinya. Sesungguhnya tanpa membutuhkan penjelasan dari Adinda, Ardiaz sudah bisa memahami bahwa semua itu terjadi tanpa keinginan dari Adinda sendiri.Ardiaz sudah cukup mengenal pribadi baik Adinda. Tapi tetap saja kali ini dia ingin mendengar cerita hingga kejadian naas itu menimpa Adinda. Ardiaz pun bertanya dengan hati-hati karena tak ingin semakin menyinggung perasaan Adinda yang jelas sedang terluka.“Bagaimana semua itu bisa terjadi padamu, Din?” tanya Ardiaz setelah memberikan jeda yang cukup lama bagi Adinda untuk mengurai tangisnya.“Aku tidak berniat untuk mengkhianatimu dengan sengaja, Mas. Maafka
“Gawat, Bos! Saya baru saja mendapat informasi terbaru mengenai perempuan bernama Adinda itu,” ujar Andre yang tiba-tiba datang dengan tergesa ke ruangan Rasya.Rasya yang sedang memeriksa beberapa berkas laporan pun mengalihkan perhatiannya. Entah mengapa selama beberapa waktu belakangan, topik Adinda menjadi sesuatu yang seolah tak ingin dia lewatkan. Dia memang memerintahkan Andre untuk selalu mengawasi perempuan yang merupakan korbannya itu.“Ada apa dengan perempuan itu? Apa dia frustasi dan ingin bunuh diri?” ujar Rasya menduga hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan oleh seorang korban pelecehan.“Bukan itu, Bos” elak Andre.“Lalu apa?”“Ternyata Nona Adinda sudah memiliki calon suami dan sebentar lagi mereka akan menikah.”“Apa?” ucap Rasya refleks.Laki-laki itu langsung terdiam begitu mendengar penuturan dari Andre. Entah mengapa ada gejolak tak nyaman saat mendengar tentang pernikahan Adinda. Walau tak mengenal Adinda dengan baik, tapi kejadian malam itu sudah membuat Ras