Share

3. Cinta untuk seorang janda

Matahari telah di ganti dengan bulan, siang sudah berganti dengan malam yang artinya saat yang tepat untuk terlelap di ranjang tapi tidak untuk Vania. Mengingat beberapa hari lagi, ia akan mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil jadi ia harus belajar dengan giat siapa tahu jika kesempatannya ada di situ.

Vania menguap untuk yang ke sekian kalinya tapi ia tak bisa tidur sebelum menyelesaikan bacaannya, ia sadar kalau kebutuhan mereka semakin hari akan semakin bertambah dan Vania harus pandai-pandai mengatur keuangannya.

Mulai dari menggaji bik Nur sampai biaya kuliah Varo nantinya juga ia pikirkan, Vania sedikit menyesal kenapa dulu ia tak membeli rumah sederhana saja? Mungkin saat ini tabungannya dari bekerja sepulang sekolah menengah pertama sampai jadi guru masih banyak tapi Vania tak boleh menyesal, toh tinggal di lingkungan bersebelahan dengan perumahan Elit tak membuatnya menyesal karna keamanannya dapat di percaya.

Setelah menyelesaikan bacanya, Vania keluar dari kamar lalu mengintip Varo sudah tidur atau belum. Vania juga kembali mengecek pintu dan jendela lalu kembali memasuk ke dalam kamarnya.

Tak butuh waktu lama bagi Vania terlelap, ketika badanya bertemu ranjang ia langsung memejamkan mata lalu tertidur.

Berbeda dengan seorang bocah laki-laki yang tidur di kamar bersebelahan dengan ibunya. Setelah benar-benar memastikan sang mama sudah pergi, Varo membuka matanya kembali. Ia teringat ucapan ibu guru di sekolah.

“Selamat Varo terpilih untuk mengikuti lomba menggambar tinggal sekolah dasar dan nanti Varo ikut ibu ke kantor, ya?”

Varo yakin Vania pasti bahagia mendengar ia memenangkan perlombaan yang mengharuskannya mengikuti loba lainnya di kota Jakarta tapi Varo tidak yakin jika mamanya itu mengizinkannya pergi karna alasan yang tak ia tahu tapi apa pun hasilnya, ia harus memberi surat itu ke pada mamanya.

Varo membenarkan posisi tidurnya, mencari tempat ternyaman menurutnya. Tidur menyamping dengan menghadap foto sang papa yang masih balut seragam sekolah putih abu-abu dan di foto itu sang papa sedang tersenyum lebar.

Walau belum pernah bertemu dengan sang papa, tapi Varo yakin sang papa sangat menyayanginya. Seperti kata mama tapi untuk melihat langsung tidak sekarang. Mamanya tidak akan mau membuka suara dan mengalihkan pembicaraan yang lain. Lagi pula, sang mama sudah janji untuk mempertemukan mereka beberapa tahun lagi.

Perlahan kelopak mata itu tertutup dengan bibir sedikit terbuka beberapa menit kemudian terdengar dengkuran halus dari Varo menandakan bahwa ia sudah terlelap.

***

Pria yang berusia di atas tiga puluh tahun itu mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan yang lumayan tinggi di tengah padatnya kota dengan cahaya lampu menghiasi perjalanannya. Tepat pukul sebelas malam, sepupu sekaligus sahabatnya itu dengan kurang ajar menghubunginya bahwa dia sudah tiba di kota tempatnya tinggal dan dia juga dengan tidak tahu dirinya tidak mau menunggu lama, tiga puluh menit dari sekarang sudah sampai di bandara. Tapi bagaimana bisa? Jarak antara rumah dengan bandara cukup jauh, belum lagi macet karna banyak pasangan yang pulang malam minggu.

Kurang lebih satu jam, Raja sampai di bandara, ia tidak perlu repot-repot untuk masuk ke lobi cukup dengan menunggu di mobil dan orangnya pasti akan keluar dan benar saja orang itu sudah kelihatan dengan wajah kusutnya lalu membuka pintu mobil dengan kasar begitu juga dengan menutupnya.

“Sialan lo! Gue tunggu lo satu jam! Lo tahu gue ngga suka menunggu orang apa lagi itu di tempat yang terbuka!” cecar orang itu setelah mendaratkan bokongnya di bangku samping Raja.

Raja melirik jam di pergelangan tangan kirinya “Cuma tiga puluh menit”

“Cuma? Gila lo, Ja! Lo tahu kan gue ngga suka menunggu”

“Lo pikir gue juga suka menunggu?”

“Itu urusan lo!”

“Nah, itu jawaban gue!”

Kedua pria beda status dan beda usia itu kembali diam dengan urusan masing-masing, Raja fokus dengan jalan dan Rio mulai memejamkan mata.

“Lo buat apa ke sini, kangen ya sama gue?”

Rio sontak saja membuka matanya lebar-lebar lalu menatap Raja dengan jijik “dalam mimpi! Biasa ... cari suasana baru”

Raja menggelengkan kepalannya “bilang aja lagi berantem sama istri! Terus kabur ke tempat gue, dasar bocah!”

“Enak aja, gue di bilang bocah yang benar itu gue sudah bisa bikin bocah. Nah lo kapan?”

Bola mata Raja terlihat gelisah tapi itu hanya sebentar lalu kembali fokus di jalan “Yang sopan bicara sama gue, gue lebih tua satu tahun dari lo”

“Yaya gue tahu, tapi soal pengalaman gue yang paling banyak!”

Raja memutar bola matanya, Rio dengan sifat percaya diri juga congkaknya.

Mereka kembali terdiam dan fokus dengan kegiatan masing-masing. Raja mendengar suara Hape lalu melirik Rio yang sama sekali tak berniat menjawab terbukti dari tiga kali seseorang itu menghubungi tapi tak juga di jawab yang membuat Raja membuang nafas lelah jadi dugaannya tadi benar.

“Yo, lo ngga punya telinga ya? Hape lo bunyi”

“Abaikan saja, nanti juga capek sendiri!”

“Lo pikir Hape itu manusia?”

“Bukan itu maksud gue, tapi si penelepon itu yang capek”

“tapi gue ngga bisa fokus karna bunyi Hape lo! Angkat atau lo mati in hapenya!”

Tanpa menjawab Rio membuka kunci layar benda miliknya, Raja yang sesekali melirik tiba-tiba melotot melihat foto di layar Hape Rio.

“Lo masih pakai foto itu?”

Rio menoleh pada Raja lalu pindah pada layar hapenya kemudian memandangi Hape sambil tersenyum “iya, memang kenapa?” tanyanya polos.

“Gila! Dia itu kan? Ah lupakan apa status kalian. Tapi apa kata Winda melihat foto lo dengan mantan?”

“Ya marah, Cuma ya dia sadar diri kalau dia yang buat gue pisah dengannya.”

Raja menggelengkan kepala tidak mengerti dengan segala kelakuan sepupu rasa sahabatnya itu “lo sih bodoh, mau aja meninggalkan berlian demi dia!”

Rio tidak menyakal ucapan Raja karna apa yang keluar dari mulut Raja adalah kenyataan “gue menyesal, coba aja gue ngga termakan omongan mama dan coba gue mencoba bersabar mungkin–“

“Ngga ada gunanya lo mengingat-ingat masa lalu yang ada lo semakin merasa bersalah. Lebih baik, lo jalani apa yang sudah lo mulai dan buka lembaran baru” sela Raja.

“Iya, benar apa yang lo ucapkan tapi lo ngga pernah tahu bagaimana jadi gue” ucap Rio membuat Raja terdiam dan kembali fokus pada jalan hingga sampai di depan rumahnya.

“Yakin itu cinta? Bukan rasa penyesalan.”

Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Raja keluar dari mobil meninggalkan Rio yang terdiam sembari memikirkan ucapan Raja lalu menyentuh dadanya dengan sebelah tangan yang kini berdegup kencang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status