Share

4. Cinta untuk seorang janda

“Ngga, gue ngga salah menilai perasaan sendiri” gumamnya lalu keluar dari mobil Raja sembari meraih tas yang berisi baju.

Di dalam rumah, Raja langsung masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk mencari sesuatu yang sudah lama atau sangat lama ia sembunyikan. Raja masih ingat benda itu saat kuliahnya di Jakarta berjalan beberapa baru beberapa bulan ia dan seseorang itu berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan

“Kok pandangi itu terus? Kamu suka?”

“Eh? Hem... Ngga Cuma...” perempuan itu mengalihkan pandangan dari toko satu ke toko lainnya lalu tersenyum lebar, “ah, itu dia tokonya”

Perempuan itu pergi meninggalkan Raja yang mendekati benda itu, “kalau suka kenapa ngga bilang sih?” gumamnya sembari memanggil pemilik toko.

Mengingat itu membuat kedua sudut bibirnya mengembang lalu menghilang karna sampai saat ini benda yang tak lain adalah kalung itu tak pernah di pakai pemiliknya.

Sungguh pengaruh Rio sangat besar bagi Raja, bagaimana tidak? Raja saja yang sudah satu tahun tinggal di kota yang sama dengan Vania tapi sampai saat ini ia tak berani untuk mendekat karna kesalahannya dulu tapi dengan datangnya Rio membuat Raja takut jika sewaktu-waktu Rio lebih dulu muncul di depan mereka sebelumnya.

“Ja, pinjam mobil lo dong” tanya Rio pada Raja yang berdiri di balkon kamarnya.

“Lo masuk lewat mana?” tanya Raja balik

“Pintu, lewat di mana lagi coba?”

Raja memejamkan mata menahan emosi, “gue udah bilang berkali-lali kalau mau masuk itu ketuk dulu, siapa tahu pas lo bukan pintu gue ngga pakai apa-apa”

“Yaelah, Ja. Lo lupa? Kita dari kecil sering mandi berdua jadi lo ngga perlu mah–“

“Lupakan masalah itu, lo kenapa ke kamar gue?” sela Raja cepat sebelum Rio mengucapkan sesuatu yang sangat memalukan untuknya.

“Pinjam mobil dong, Ja?”

“Ngga, mending gue jadi sopir lo dari pada lo bawa mobil gue!” tolak Raja, mengingat betapa parahnya dulu kerusakan yang di alami mobilnya karna di pinjam Rio dan Raja tak pernah lagi memperbolehkan sepupunya itu meminjam mobil miliknya.

Bukan, Rio itu bisa mengendarai mobil tapi jika itu mobil miliknya atau milik orang lain Rio suka seenaknya dan berakhir mobil itu masuk bengkel.

“Dasar pelit! Huh! Gue tunggu di bawah lo siap-siapnya jangan lama” pesan Rio kemudian berlalu mengabaikan Raja yang mendumel sembari masuk ke dalam kamar tidak lupa mengunci pintu.

Anak laki-laki yang seminggu lagi akan berusia tujuh tahun itu m****r mandir di dalam kamarnya, Bik Nur yang juga ada di kamar yang sama pusing melihat Varo begitu pun dengan Ghea cucunya yang berusia satu tahun.

“Bik, mama kok belum pulang” ujar Varo lalu mendaratkan bokongnya di sebelah Ghea kini sudah merangkak lalu duduk di atas Varo

“Duh.. den Varo, bibi pusing melihat den modar mandir”

“Aduh... Sakit Yaya bik” ringis Varo lalu menatap bik Nur dengan cengengesan, “maaf, bik”

Bik Nur menggelengkan kepala lalu kembali melanjutkan melipat baju Varo yang beberapa hari yang lalu ia lipat tapi yang namanya anak kecil wajar jika lemarinya berantakan begitu pun dengan Varo yang kini membuat Ghea tergelak sampai tidak sadar jika Vania masuk ke dalam kamar putranya.

“bagaimana tesnya, non?” tanya bik Nur, Varo yang mendengar ucapan bik Nur tadinya tidak sadar mendongak lalu bicara pada Ghea yang entah mengerti atau tidak.

“Alhamdulillah semuanya lancar” balas Vania lalu mengalihkan pandangan pada Varo yang kini mendekatinya, “iya-iya, sekarang mama udah ngga sibuk jadi mau bicara apa?”

Varo tersenyum lalu menarik ibunya untuk duduk di atas ranjang lalu menatap Vania dengan gugup membuat ibu satu anak itu menaikkan sebelah alisnya, “ada apa sih?”

“Hm... Jadi... Eh tapi mama aja yang baca” ucap Varo pada akhirnya sembari memberikan surat yang di berikan ibu guru padanya, Vania meraih amplop itu lalu menatap Varo curiga.

“ini bukan surat karna kamu nakal kan?”

Varo menggeleng dengan mata yang tak lepas dari Vania yang kini membuka amplop itu lalu membacanya. Walau ia tak terlalu mengerti tentang arti ekspresi tapi ia mulai takut kalau mamanya tak mengizinkannya karna ini bukan kali pertama baginya mendapatkan kesempatan yang seperti ini.

“Oh, surat lomba melukis” gumam Vania

Varo menggambar, “iya, boleh ya, mah?”

Vania melirik Varo yang melihatnya penuh harap, apa sikapnya selama ini melarang Varo untuk mengikuti lomba menggambar atau lomba lain sampai ke luar kota itu salah? Apa ia egois? Tapi semua itu ia lakukan untuk kebaikan Varo atau malah untuk kebaikannya sendiri? Entah, Vania tak tahu yang pasti ia tidak tega melihat wajah penuh harap putranya.

“Oke, kamu boleh pergi”

Mendengar itu, Varo berteriak girang di ikuti oleh Ghea yang tidak tahu apa yang di teriakan Varo tapi tetap berteriak.

“Benaran, mah? Tapi mama ikut kan sama Varo!”

“Maaf sayang, tapi minggu besok mama ada janji dengan orang tua kakak di sekolah”

Seketika wajah berseri-seri Varo di ganti dengan wajah murung. Sedewasa apa pun pikiran Varo tetap saja ia masih kecil, perasaan tidak sekuat orang dewasa.

“Yaudah, ngga papa. Varo mengerti kok” ujarnya sambil tersenyum walau raut kecewa masih terlihat jelas di wajahnya.

Vania tersenyum lalu memeluk tubuh putranya sesekali mencium puncak kepala sang anak.

Maafkan mama nak tapi jujur mama belum siap.


***


“Berasa pasangan homo kalau jalan sama lo”

Raja mendengar gumam sepupunya meliriknya malas kemudian ia mendengus, “memang siapa yang suruh lo mengekori gue?”

“Ngga ada sih, tapi gue takut tersesat” gumamnya yang membuat Raja ingin muntah.

“Mal yang tidak sebesar yang ada di Jakarta tapi lo takut tersesat? Sana masuk ke dalam perut tante Ratih lagi Yo!”

Rio hanya mencibir lalu mengikuti langkah kaki Raja yang keluar dari satu tempat kemudian masuk ke tempat lainnya, “ enak aja! Gue ngga suka jalan sendiri di tempat yang asing”

Raja hanya mencibir lalu menjelajahi matanya melihat banyaknya model sepatu tidak jauh berbeda dengan Rio yang juga melihat-lihat sepatu yang menarik untuknya sampai matanya menemukan hal yang menarik yaitu sepasang sepatu berwarna merah muda.

Pasti cocok di kaki Arinda

“Eh Ja, gue ke rak sepatu itu ya” ujar Rio tanpa menunggu jawaban Raja ia pergi begitu saja.

Raja menggelengkan kepala lalu kembali mengamati sepatu yang menarik minatnya tapi sejauh matanya memandang yang ia lihat hanya sepatu yang itu-itu saja dan tidak ada yang menarik minatnya. Raja semakin melangkahkan kakinya semakin dalam sesekali melihat-lihat sepatu di bagian kanan dan kiri juga yang di depan tapi lagi ia tidak menemukan sepatu yang ia cari.

“TAPI SAYA DULUAN YANG MELIHAT SEPATUNYA!”

Raja yang berjalan berhenti karna teriakan seseorang perempuan. Awalnya terbesit dalam pikirannya, kalau itu bukan urusannya. Tapi sayang rasa penasarannya lebih besar dari rasa tidak pedulinya dan pada pada akhirnya Raja mendekati asal suara yang ternyata sudah di padati oleh orang yang ikut menonton. Raja hendak berbalik tapi keinginan itu urung ketika telinganya mendengar suara yang tidak asing.

Oh, jangan lagi!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status