LOGIN“Kasihan sekali kau.”Nada itu terlalu familiar dan terlalu sinis.Andin lebih dulu menoleh, lalu wajahnya langsung berubah masam. Siska menyusul menoleh.Sisil.Wanita itu berdiri dengan senyum miring, mengenakan gaun mahal dan riasan sempurna. Seolah hidupnya selalu baik-baik saja. Berbeda dengan Siska yang terlihat lebih natural.“Dengar tidak? Aku bilang kasihan,” ulang Sisil sambil menyilangkan tangan di dada. “Sudah jadi istri, tapi suaminya entah ke mana, tidak peduli lagi.. Makan siang pun cuma ditemani teman.” Sisil tertawa puas.Andin hendak berdiri, tetapi Siska lebih dulu mengangkat tangan, memberi isyarat agar Andin diam.“Apa urusanmu?” tanya Siska datar.Sisil terkekeh. “Santai saja. Aku cuma prihatin. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.”“Kau itu masih sama saja,” balas Siska dingin. “Mulutmu tidak pernah berubah.”“Dan kau?” Sisil mendekat satu langkah. “Masih jadi korban, ya? Dulu Papa, sekarang suami.”Andin tak tahan lagi. “Hei! Jaga mulutmu—”“Diam!” potong Sisil c
Sinar matahari terasa begitu terik. Suara kendaraan yang melintas jelas terdengar. Kening Siska berkerut, menyesuaikan cahaya yang menyerbu indra penglihatannya saat ia melangkah keluar dari gedung perusahaan.Sudah dua hari sejak kepulangannya dari Bali, dan sejak itu pula Siska belum lagi bertemu Evan. Entah ke mana suaminya itu.Siska sedikit kesal dengan sikap Evan. Pria itu selalu menghindarinya setiap kali sedang marah. Tidak bisakah mereka bicara baik-baik?“Bagaimana aku bisa mendekat kalau selalu seperti ini,” keluh Siska pelan.Sudah dua malam ia mengirimkan pesan, namun hanya dibaca tanpa balasan. Siska tak ingin peduli, tetapi ia tidak bisa. Pikirannya selalu kembali pada Evan.Siska, sepertinya kau sudah memakai perasaan?Tidak-tidak. Siska menggeleng cepat.Aku melakukannya hanya karena aku butuh tempat untuk berteduh, bukan karena menyukainya.Ia menyangkal. Ia tidak bo
“Siska, keluar kau!”Evan menggedor pintu kamar mandi dengan keras.Tak lama, pintu terbuka. Siska muncul dengan wajah sedikit pucat. “Ada apa?” Suaranya terdengar serak.Evan mengerutkan kening. Matanya menelisik wajah istrinya dengan saksama. “Kau menangis?” tanyanya spontan.Ia terdiam sejenak, lalu kembali bertanya dengan nada yang jauh lebih lunak, “Apa Papa membuatmu menangis?”Siska tersenyum tipis, kemudian menutup matanya sesaat. Reaksi Evan terasa … lucu baginya. Baru kali ini ia melihat Evan terlihat khawatir seperti itu.Benar kata Mama mertuanya. Evan sebenarnya anak yang baik. Hanya saja keras kepala, dan mulutnya sering tidak terkontrol. Buktinya sekarang, ia tampak iba saat melihat mata Siska yang memerah.“Hei! Aku bertanya, kau malah tersenyum tidak jelas.” Evan mendengus, lalu berbalik dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa.Siska menyusul dan duduk di sampingnya.“Papa sama Mama yang membuatku menangis,” ucap Siska pelan sambil memeluk bantal sofa.Evan hanya mengangguk.
“Sudah dong, Evan ….” Siska merengek pelan. “Lanjutkan,” pintah Evan seraya tersenyum miring. Siska dan Evan berada disofa. Posisi Evan sedang tengkurap sedangkan kakinya sedang berada di atas paha Siska. Siska dihukum memijat Evan, dimulai dari kepala hingga kaki. Kegiatan yang tampak sepele, namun melelahkan itu telah berlangsung selama satu jam. “Menyebalkan!” Siska memukul keras betis Evan, tetapi pria itu justru menyukainya. “Kalau saja aku tidak tahu kalau sikap posesifmu itu karena keluargamu, aku akan berpikir kalau kau itu sangat mencintaiku,” oceh Siska lebih kepada nada menggerutu tidak jelas. Tangannya masih terus memijat. “Buang jauh-jauh pikiranmu itu.” Evan membantah dengan cepat. Matanya masih terpejam. Seharusnya ia sudah tidur sejak tadi, tetapi istrinya yang super cerewet itu tak henti-hentinya bertanya. Ada saja pertanyaan yang terlontar dari bibir kecilnya. Meski begitu, entah kenapa Evan justru melayaninya, ia merasa sedikit terhibur. Bibir Siska mengerucut
“Kak Evan, I miss you!”Seorang gadis berlari ke arah Evan dan langsung memeluknya erat.Evan tersenyum, membalas pelukan itu. Tangannya bahkan terangkat mengusap rambut gadis tersebut dengan lembut, gerakan yang begitu natural, seolah sudah sering ia lakukan.Interaksi itu tak luput dari pandangan Siska. Namun, ia hanya mampu terdiam.‘Dia ternyata bisa selembut itu.’“Hem, Harvia,” panggil Helena. “Tidak sopan, ada istri Kak Evan di sini,” tegurnya lembut namun tegas.Gadis berusia dua puluh tahun itu akhirnya melerai pelukannya, meski wajahnya tampak cemberut. Ia menoleh ke arah Siska yang berdiri tidak jauh dari mereka.“Bibi, Via kan kangen dengan Kak Evan,” keluhnya manja, lalu kembali memeluk Evan dari samping.“Harvia,” tegur Helena lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.“Biarkan saja, Ma. Dia memang selalu seperti ini,” ujar Evan membela. Sikap itu membuat Harvia tersenyum lebar, puas.“Evan! Kau selalu saja memanjakannya,” Helena mendesah kesal. Setelah itu, ia memuta
Evan asyik berbincang dengan Fatin, namun begitu mendengar suara benturan dan melihat siapa disana, Evan segera meminta maaf kepada Fatin karena harus pergi. Langkahnya tergesa-gesa menuju ke arah suara baru saja.Siska buru-buru mengambil kopernya yang terjatuh. “Maaf, aku tidak senga–” Ucapan Siska terpotong saat netranya menatap sosok yang ia tabrak. “Kau –”Siska tertunduk, mundur selangkah. “Maaf, Pak Vero. Aku benar-benar tidak sengaja.” Siska hampir saja terjatuh karena tidak bisa mengimbangi tubuhnya, beruntung Evan datang dan langsung menahan tubuhnya. Siska menoleh. “Evan.” Jantungnya berdebar. ‘Ku harap dia tidak salah paham,” monolog Siska didalam hati. 'Apa dia begitu gugup bertemu Vero?’ Evan berdalih didalam hati. Evan menatap Siska dengan tajam, raut wajahnya tampak dingin. Genggaman di lengan Siska semakin menguat, membuat Siska meringis pelan. Sangat berbeda dengan Vero yang tampak santai. Bahkan pria itu menampilkan senyum tipis. “Kalian mau kemana? Honeymo







