LOGINBAB 4
“Aku harus mulai dari mana nih?” gumam Siska serius memperhatikan bahan-bahan makanan yang telah ia pilih. Ada ikan untuk lauk, bahan sup untuk sayur dan jagung manis untuk rencana membuat perkedel. Tetapi belum juga mulai, Siska sudah meringis pelan sambil menjambak ujung rambut panjangnya.
“Aku menyesal dulu nggak pernah masuk dapur,” keluhnya penuh penyesalan.
“Oke, Siska, jangan menyerah sebelum berperang. Sekarang zaman sudah serba canggih. Orang yang nggak bisa masak pun bisa jadi jago dengan bantuan si Tubtub. Ayo, semangat, cayo!” ujarnya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, kemudian membuka ponselnya. Aplikasi video tutorial memasak jadi penyelamatnya hari ini.
Dulu, di rumahnya, Siska hanya sekali menginjak dapur — waktu mencoba membuat nasi goreng. Tetapi gara-gara satu piring pecah, Ibu tirinya, Bu Sesil, memarahinya habis-habisan. Sejak itu, ia dilarang masuk dapur lagi. Semua sudah disiapkan untuknya, tanpa pernah boleh menyentuh apapun.
“Sekarang aku bebas makan apa saja sesukaku,” katanya pelan, tersenyum kecil.
Beberapa menit berselang, Siska mulai memotong sayur. Gerakannya masih kaku, tetapi dasar Siska, perempuan ini cepat belajar. Hanya saja, soal rasa, entahlah seperti apa nanti hasilnya.
Sambil memasak, ia bersenandung kecil, menatap ke arah jendela. Entah kenapa, hatinya terasa tenang berada di apartemen Evan. Berbeda jauh dari rumah mewah yang dulu ia tempati. Di sini tidak ada kemewahan, tetapi ada rasa damai yang sulit dijelaskan.
“Allah selalu punya cara untuk membuat hamba-Nya bahagia,” gumamnya sambil tersenyum.
Siska benar-benar menikmati waktunya hari ini. Sesekali ia melirik jam dinding, memastikan masakannya berjalan lancar. Tetapi, ketika ikan sudah terapung di minyak panas, ponselnya berdering. Nama Andin muncul di layar.
Siska segera menjawab panggilan itu sambil duduk di kursi makan. Andin menanyakan kabar, sebab sejak malam pernikahan itu, mereka belum sempat bertemu. Dulu Andin adalah asistennya, tapi setelah insiden itu, posisinya diturunkan dan mereka terpisah divisi.
Percakapan mereka penuh tawa, nostalgia, dan cerita ringan. Siska begitu larut sampai lupa bahwa ada sesuatu yang sedang digoreng di atas kompor.
“Kok bau gosong ya?” ucapnya tanpa melepaskan ponsel dari telinga. Begitu menoleh, matanya membesar. “Astagfirullah Andin, nanti aku telepon lagi! Aku membakar dapur!” teriaknya panik.
Asap mengepul tebal dari wajan. Siska buru-buru menurunkan api, tetapi terlambat. Tepat saat itu, suara langkah cepat terdengar — Evan datang tergesa. Pria itu bahkan tak melepas sepatunya seperti apa yang selalu ia lakukan jika masuk rumah. Ia langsung mematikan kompor dan mengangkat wajan yang sudah hangus, mengguyurkannya dengan air di wastafel.
“Siska!” teriaknya keras. Suaranya bergema di ruangan kecil itu. Wajahnya merah, napasnya naik turun.
“Maaf, maaf, aku nggak sengaja,” kata Siska cepat, menunduk ketakutan. Kedua tangan saling bertaut dibawah sana.
“Kalau kau nggak suka tinggal di sini, lebih baik kau pergi!” bentak Evan, menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan gemetar menahan emosi.
“Bukan begitu, Evan. Aku benar-benar nggak sengaja,” ucap Siska lagi, mengikuti Evan yang sudah duduk di kursi ruang makan. Ia berdiri di depannya, seperti anak kecil yang tertangkap basah.
“Maaf,” gumamnya dengan nada yang kecil.
Evan menatap istrinya dengan wajah lelah. “Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan? Kalau kau nggak bisa masak, ya delivery saja.”
“Aku cuma ingin belajar masak,” jawab Siska dengan nada manja, menggigit bibir atasnya. Ada rasa takut sekaligus bersalah. Ia tahu Evan marah karena panik, tetapi tetap saja hatinya ciut.
“Lebih baik jangan. Kau bisa membahayakan nyawa banyak orang kalau masih nekat menyentuh dapurku,” ucap Evan ketus.
“Tapi, aku nggak mungkin terus-terusan delivery dan lagi …” Siska menunduk, suaranya melemah di akhir kalimat. “Aku nggak mungkin setiap pagi cuma menyiapkan roti.”
Evan terdiam, memandangi Siska sambil menghela napas panjang. Ucapan itu ada benarnya juga. Meski seorang chef, entah kenapa sejak menikah Evan selalu berharap sarapannya sudah tersedia. Ia hanya tidak mau mengakuinya.
“Tidak mungkin,” pikirnya.
“Aku bisa masak sendiri, atau makan di restoran. Untuk apa mengharapkan wanita manja ini?”
Siska menatap Evan ragu. “Jadi malam ini … aku cuma bisa masak mie untukmu. Nggak apa-apa, kan?” tanyanya lembut.
Evan bangkit dengan cepat. “Tidak perlu. Aku bisa urus diriku sendiri,” katanya dingin, lalu berjalan menuju pintu.
“Evan—” panggil Siska pelan, tapi terlambat.
Pintu dibanting keras. Suaranya menggema, menyisakan keheningan. Siska berdiri di dapur yang kini berantakan, menatap ikan gosong di wajan dan asap tipis yang masih tersisa.
“Dasar suami menyebalkan,” gumamnya pelan, tetapi senyumnya muncul juga. “Tapi, entah kenapa, aku malah ingin mencoba lagi besok.”
***
“Kenapa kau di sini?” tanya Edgar, salah satu sahabat Evan. Alisnya terangkat tinggi.
“Memangnya aku harus di mana?” balas Evan ketus, lalu menjatuhkan diri ke sofa empuk di ruang tamu cafe sahabatnya itu. Ia mengambil bantal, menaruhnya di belakang kepala, dan mengangkat sebelah kakinya santai di meja kecil di depannya. “Buatkan aku jus,” perintahnya seenaknya.
“Tunggu, tunggu.” Edgar menatap Evan tak percaya. “Kau pikir aku pelayanmu?” Ia menurunkan kacamata yang bertengger di hidung, lalu duduk di sebelah Evan. “Menurut aturan, seharusnya kau sudah berada di apartemen, makan malam bersama istrimu. Aku, jelas bukan istrimu. Jadi, tolong … pulang sana!” serunya sambil menunjuk pintu dengan ekspresi jijik berlebihan.
“Cih, bacot! Siapa yang bikin peraturan begitu?” Evan memutar bola matanya malas. Ia mengambil remote TV dan menyalakannya tanpa niat menonton. “Sejak kapan ada aturan pria harus makan malam bareng istri tiap malam? Aku nggak terima kontrak begitu.”
“Mama Keysa Harison,” jawab Edgar santai, mengangkat kedua alisnya dengan gaya sok penting. “Kau tahu, ibu dari Vero yang kau segani itu? Dia bilang sendiri saat video call tempo hari.”
Begitu nama itu keluar, Evan langsung menghela napas keras. “Ya Tuhan, kenapa semua orang seolah jadi penasihat pernikahanku?”
“Perlu aku ulangin gaya Mama Keysa waktu ngomel?” Edgar sudah berdiri dan mulai meniru dengan suara tinggi, “Evan, ingat! Istri bukan pajangan di rumah. Kau harus pulang, makan bareng, ngobrol, supaya hubungan kalian hangat!’”
“Sudah-sudah, duduk!” seru Evan sambil menarik tangan Edgar agar berhenti memperagakan. “Kau makin lama makin drama, sumpah.”
“Yang drama itu kau, Van,” balas Edgar, kali ini dengan nada serius. “Sudah sana, pulang. Jangan jadi pria brengsek yang mengabaikan istri sendiri.”
Evan menoleh perlahan, memandang Edgar seolah baru melihat alien. Ia memiringkan kepala beberapa senti, menatap sahabatnya dari ujung kaki sampai kepala. “Kau kenapa, Gar? Sejak kapan pria yang gonta-ganti pasangan tiap bulan ini ceramah soal perasaan wanita? Jangan-jangan kau kesurupan jin baik?”
“Setidaknya aku tahu batas,” balas Edgar cepat, kali ini tanpa senyum. “Aku tahu, kau cuma butuh waktu buat sadar diri.”
Evan mendengus. Ia menelan saliva kasar, lalu bersandar dengan wajah setengah jengkel. “Jangan sebut-sebut nama Siska di sini. Aku malas mendengarnya.” Nada suaranya menurun, tidak sekeras tadi. “Lagipula, aku punya cerita menarik hari ini.”
Edgar melirik curiga. “Cerita menarik macam apa lagi?”
Senyum kecil muncul di wajah Evan, senyum yang jarang muncul kecuali saat dia sedang benar-benar antusias. Ia menegakkan badan dan menatap lurus ke depan. “Hari ini aku bertemu wanita idamanku. Akhirnya aku tahu namanya.”
Edgar langsung menyipitkan mata. “Evan, jangan bilang—”
“Namanya Fatin Alesha.” Suara Evan terdengar pelan tapi tegas. “Dia wanita yang lembut, santun, pekerja keras. Entah kenapa, aku merasa seperti sudah mengenalnya lama.”
Edgar menatap tak percaya. “Evan, kau sadar kan kau baru menikah beberapa hari yang lalu?”
“Bukan berarti aku harus mematikan perasaan,” sahut Evan cepat. “Ini kedua kalinya aku bertemu Fatin secara nggak sengaja waktu syuting promosi tadi. Ternyata lokasinya dibelakang butiknya. Anggun sekali, Gar. Sikapnya tenang, tutur katanya lembut. Nggak banyak bicara, tapi punya wibawa. Aku nggak bisa berhenti memperhatikannya.”
Wajah Evan tampak berbinar. Bahkan cara dia bercerita membuat Edgar merasa seolah Fatin adalah malaikat yang turun ke bumi. Tetapi justru itu yang membuatnya khawatir.
“Evan, ini tidak benar,” ucap Edgar dengan nada tegas.
“Tenang saja, aku nggak akan poligami.”
“Lalu maksudmu apa?”
***
BAB 5Langit masih tampak gelap ketika Siska sudah sibuk di dapur. Semalam, sebelum tidur, ia kembali membuka tutorial “Resep Nasi Goreng Enak dan Simpel.” Kali ini, tekadnya bulat. “Aku pasti bisa!” serunya semangat sambil mengikat rambut tinggi-tinggi dan mengenakan celemek coklat tua.Wajahnya terlihat serius saat memotong bahan-bahan sederhana. Aroma bawang goreng mulai memenuhi dapur dan senyum kecil terbit di wajahnya. Siska menatap nasi goreng yang kini mulai berwarna kecoklatan. Ia mengambil sendok, meniup pelan, lalu mencicipinya.“Masya Allah … ini enak!” serunya antusias, menggeleng tak percaya. Akhirnya, nasi goreng buatannya bisa dimakan manusia juga. Ia teringat dulu, saat beberapa kali belajar di rumah Andin, hasilnya malah bikin kucing minggat karena rasanya amburadul. Tetapi pagi ini, Siska merasa bangga pada dirinya sendiri.“Semoga saja dia menyukainya,” ucapnya lirih, menata piring nasi goreng di meja makan dengan tambahan hiasan sederhana di atasnya. Ia tersenyum
BAB 4 “Aku harus mulai dari mana nih?” gumam Siska serius memperhatikan bahan-bahan makanan yang telah ia pilih. Ada ikan untuk lauk, bahan sup untuk sayur dan jagung manis untuk rencana membuat perkedel. Tetapi belum juga mulai, Siska sudah meringis pelan sambil menjambak ujung rambut panjangnya.“Aku menyesal dulu nggak pernah masuk dapur,” keluhnya penuh penyesalan.“Oke, Siska, jangan menyerah sebelum berperang. Sekarang zaman sudah serba canggih. Orang yang nggak bisa masak pun bisa jadi jago dengan bantuan si Tubtub. Ayo, semangat, cayo!” ujarnya sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, kemudian membuka ponselnya. Aplikasi video tutorial memasak jadi penyelamatnya hari ini.Dulu, di rumahnya, Siska hanya sekali menginjak dapur — waktu mencoba membuat nasi goreng. Tetapi gara-gara satu piring pecah, Ibu tirinya, Bu Sesil, memarahinya habis-habisan. Sejak itu, ia dilarang masuk dapur lagi. Semua sudah disiapkan untuknya, tanpa pernah boleh menyentuh apapun.“Sekarang aku beb
BAB 3Keesokan harinya. Siska sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Sejak subuh tadi, dia sudah menyiapkan sarapan sederhana untuk Evan, sekadar roti dan kopi, agar pria itu tidak lagi berteriak seperti kemarin.Semalam, Siska sebenarnya menunggu Evan pulang. Bukan karena rindu, tetapi karena dia takut sendirian di apartemen baru itu. Lingkungan sekitar masih asing dan dia belum tahu bagaimana keamanan di kawasan tersebut. Tetapi hingga jam sepuluh malam, Evan tak kunjung datang. Akhirnya Siska menyerah dan memutuskan untuk tidur lebih dulu.“Oke, aku sudah siap.” Siska menatap jam di pergelangan tangannya, memastikan tidak terlambat. “Aku harus berangkat sekarang.”Baru saja ia keluar kamar, Evan juga muncul dari kamarnya. Pria itu sudah rapi dengan kemeja panjang dan rambut yang disisir klimis.“Aku sudah buatkan kamu roti di meja makan dan juga kopi. Aku berangkat, ya!” seru Siska sambil bergegas menuju pintu. Tetapi baru dua langkah, ia berhenti, berbalik, lalu berlari kecil ke
BAB 2 Malam telah tiba. Di sebuah apartemen.“Kalau kau merasa apartemen ini terlalu kecil, lebih baik kau pulang ke rumah besarmu itu.” Suara tegas itu membuyarkan lamunan seorang wanita yang tengah menarik kopernya. Matanya berkeliling menatap sekitarnya.“Aku pikir apartemenmu ini cukup luas kalau hanya untuk kita berdua.” Wanita itu duduk di sofa dengan angkuh.“Siska, aku rasa kamu tahu kenapa kita menikah?” Ya, mereka adalah Evan dan Siska, pasangan pengantin baru yang menikah karena insiden pemergokan mereka di kamar hotel.Siska menoleh, menatap suaminya yang berdiri di dekat tangga. “Aku sangat tahu. Kamu tidak perlu mengatakannya berulang kali.”“Bagus. Ingat, kamu memang istriku, tapi kamu tidak berhak mengatur ataupun ikut campur dalam urusanku. Begitu pun aku terhadapmu.”Siska terdiam. Ekspresinya sulit terbaca ketika mendengar peringatan itu.“Kamarmu ada di dekat dapur. Semua urusan rumah tangga kamu yang urus. Aku tidak suka ada orang lain di rumahku.” Usai berkata
BAB 1Pesta meriah telah dimulai. Siska telah berada di atas panggung setelah namanya dipanggil. Ia memberikan sepatah dua patah kata, baik tentang kariernya maupun tentang keinginannya di usianya yang telah menginjak 28 tahun.Tidak hanya itu, Siska sempat menyebut nama Vero dan memujinya sebagai kolega terbaiknya. Hal itu sontak membuat semua tamu undangan bersorak. Tidak sedikit juga yang ingin menjodohkan mereka tanpa tahu status Vero yang sebenarnya.“Sial!” seru Vero tertahan. Besok pasti banyak berita yang beredar, baik mengenai kerja samanya dengan perusahaan itu maupun tentang perjodohan dadakan antara dirinya dan Siska.“Sepertinya hidupmu tambah rumit, Bro.” Evan datang tiba-tiba dari belakang dan langsung merangkul Vero.“Diam kamu!” Pria yang mengenakan kemeja biru navy itu menyikut pelan perut Evan.“Bagaimana kamu bisa masuk?” tegur Max. Di luar sana penjagaannya sangat ketat. Bagi yang tidak memiliki undangan, tentu saja tidak diperbolehkan masuk ke pesta ini.“Aku ter







