Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap.* * *Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini.Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobi
Sepanjang perjalanan tol Sidoarjo-Malang Delia sibuk dengan ponselnya. Dia melihat ulang video yang dikirimkan oleh sang adik. Senyum menghiasi bibirnya yang merah muda alami tanpa polesan lipstik. Di video itu Samudra memilih menjajarinya ketimbang menuruti tantangannya untuk berpacu dengan tunggangan masing-masing. Pasti kakaknya khawatir, karena baru pertama kali setelah setahun ini dirinya tidak pernah menunggang kuda. Makanya lebih memilih menjaganya daripada berlomba. "Kamu kakak yang baik, kamu anak yang berbakti, tentunya kamu akan jadi suami idaman yang sangat bertanggungjawab. Semoga kamu akan mendapatkan jodoh wanita sholehah, Mas." Doa tulus dalam hati Delia untuk Samudra, sambil menatap lekat video di layar ponsel.Apa yang dilakukan Delia tidak luput dari perhatian Barra. Walaupun laki-laki itu tengah mengemudi dan fokus pada jalan tol yang ramai oleh pengguna jalan. Namun ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya. Kira-kira apa tanggapan Delia jika laki-laki yang dian
Delia kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia memakai daster bercorak polkadot warna toska sebatas lutut. Rasa gamang dan takutnya berada dalam satu kamar dengan Barra kian terkikis. Toh dua bulan bersama, pria itu cukup anteng. Tentu saja tidak berselera karena yang dia cintai hanya Cintiara. Buktinya ketika melihat dirinya hanya memakai dalaman saja, pria itu memilih pergi meninggalkannya. Padahal Delia sebenarnya sangat ketakutan waktu itu.Selesai makan kantuknya datang, karena faktor kelelahan juga. Menunggu beberapa menit lagi untuk rebahan sudah tidak tahan. Jika Samudra tahu habis makan langsung tidur, pasti dirinya kena tegur.Barra masuk kamar setelah Delia terlelap. Istrinya tidur miring menghadap ke dinding seperti biasanya. Enam puluh hari ini, belum pernah sekalipun Delia tidur menghadap dirinya. Betah sekali tubuhnya miring ke satu arah saja.Beberapa saat lamanya Barra memandang wanita yang telah pulas dengan selimut menutupi kakinya. Setelah itu perlahan Ba
Barra belum bisa terlelap. Di sebelahnya Delia masih tidur dengan pulas. Hawa dingin pegunungan sangat mendukung untuk memanjakan diri tidur lebih nyaman, apalagi tubuh Delia juga lebih relaks setelah di pijat tadi.Namun Barra yang tersiksa. Ada yang memberontak dalam diri dan membuatnya tidak bisa tidur hingga dini hari. Bangkit dari pembaringan, berdiri di pintu kaca balkon sambil menatap pekatnya malam tanpa batas, lantas berbaring lagi. Dan begitu terus berulang-ulang. Tidak munafik. Sebagai laki-laki dewasa dia menginginkannya. Kalau meminta pun itu adalah haknya, tapi ... sungguh sangat rumit.Barra keluar kamar dan menuruni tangga. Dia berhenti ketika melihat lampu ruang tengah masih menyala. Ternyata Samudra duduk sendirian di sofa. Namun pandangannya bukan pada layar televisi yang menyala dan menayangkan acara pertandingan bola. Samudra seperti sedang termenung. Apa laki-laki itu juga tidak bisa tidur seperti dirinya? Setelah diam lama di anak tangga, akhirnya Barra kembal
Wanita yang membuatnya tidak bisa tidur hampir semalaman, pagi ini sangat ceria di samping pria yang diam-diam mencintainya. Barra segera keluar kamar, ketika menuruni tangga ada papa mertua yang tersenyum menyambutnya. "Selamat pagi, Pa.""Pagi, Barra. Semalam papamu nelepon, katanya lagi staycation juga di Sarangan. Sekalian mau kondangan sore nanti."Barra mengangguk. Di kantor kemarin papanya sudah memberitahu."Pagi ini, Samudra pengen ke paralayang bersama Nira. Kamu mau ikut atau pergi ke luar sendiri bersama Delia?""Nanti saya tanyakan ke Delia dulu, Pa.""Oke."Barra tidak bisa berkonsentrasi saat diajak bicara mertuanya. Kebersamaan Delia dan Samudra di depan membuat pikirannya kacau. Namun setelah keluar villa, tinggal Samudra saja yang masih duduk di sana. Ke mana Delia?"Mas, ini kopi untukmu!" Tiba-tiba Delia sudah berdiri di belakangnya sambil membawa nampan berisi segelas teh panas dan secangkir kopi panas yang dari aromanya saja Barra tahu kalau itu kopi robusta. Dia
"Kamu pergi dengan siapa?" tanya Barra sambil berdiri dan menghampiri Delia."Dengan Nira. Dia sudah menungguku di bawah.""Harusnya kamu tadi bilang dulu kalau mau pergi."Delia menegakkan tubuh tepat di depan Barra. Tengadah menatap suaminya. "Mas, juga nggak pernah menghargaiku sebagai istri, karena masih berhubungan dan sering janjian dengan kekasihmu. Aku nggak pernah protes, Mas. Kamu nggak mempedulikanku sebagai istri karena aku perempuan nggak waras, kan?"Wanita itu mengambil jeda. "Sementara aku keluar siang ini bukan untuk berselingkuh. Aku ingin menemui kakakku sore nanti. Aku keluar lebih awal karena ingin membelikan hadiah untuk Mas Samudra. Dia bisa mewujudkan satu keinginannya untuk membuka praktek sendiri. Aku bangga padanya." Delia menunduk, "Kenapa kita nggak bercerai saja? Pernikahan ini nggak sehat. Kamu hanya akan membuatku makin gila di sini!"Barra masih mematung. "Aku tahu kenapa Mas bertahan. Karena aku menguntungkan, bukan? Orang tuaku sudah mempersiapkan M
Hanya dua puluh menit berkendara, akhirnya mereka sampai juga disebuah bangunan salah satu deretan perkantoran yang cukup terkenal di tengah kota. Tempat praktek Samudra.Sebenarnya jarak antara mall dan pertokoan itu tidak jauh. Namun karena sesaknya lalu lintas dan banyaknya jalur satu arah yang membuat mereka harus berputar, jadinya perjalanan memakan waktu lebih lama.Meski baru beberapa hari buka praktek, tapi pasien yang mengantri cukup lumayan. Tentunya mereka pasien Samudra yang sudah mengenalnya di rumah sakit. Tidak heran, dia pria yang sangat sabar, ramah, dan humble dengan semua orang. Makanya yang berobat pun merasa nyaman dan dihargai.Delia meminta nomer antrian paling akhir pada seorang gadis yang mengurusi pendaftaran pasien. Kurang lebih jam sembilan nanti dia baru bisa bertemu Samudra. Mesti nunggu kurang lebih dua jam lagi."Mbak, Mas Barra meneleponku." Nira menunjukkan ponselnya yang berdering pada Delia. Saat mereka duduk di kursi tunggu."Angkat saja," jawab sa
"Akhir pekan ini jangan berkencan. Kita butuh bicara. Aku ingin kita segera menyelesaikan semuanya." Selesai bicara Delia segera beranjak menuju sisi ranjang biasa ia tidur. Menyingkap selimut dan membenamkan diri di bawahnya.Netranya memejam, tapi alam bawah sadarnya masih merasakan kegaduhan-kegaduhan dalam benaknya. Delia masih tidak percaya, kalau orang tuanya tega menikahkan anaknya yang baru pulih dari trauma demi membayar hutang budi. Dan orang tua Barra pun mana mungkin tega menikahkan putranya dengan perempuan seperti dirinya. Sementara Barra sendiri adalah pria tampan, terpelajar, dan karirnya mulai cemerlang.Delia tidak percaya, perusahaan papanya mengalami goncangan. Sepertinya itu tidak mungkin.Barra yang mengira Delia telah terlelap, ia bangkit dan melihat isi paper bag yang dibawa sang istri dari butik El-Diva. Gaun yang kurang bahan itu menarik perhatiannya. Warnanya memikat dan transparan. Dia pernah melihat pakaian seperti ini dipakai oleh manekin yang terpajang d