Share

Part 7 Twilight 2

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?"

"Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?"

"Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?"

"Belum."

"Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!"

"Iya, Mas."

"Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi."

"Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.

Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.

* * *

"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembantunya yang sedang menyiapkan makan malam.

Mak Ni diam sejenak. "Di mana ya saya naruh kuncinya." Wanita itu celingak-celinguk di kabinet dapur. Pura-pura lupa menaruh kunci. Padahal kunci itu disimpan di lemari kamarnya. Waktu menjemur pakaian saja balkon di buka sebentar.

Delia pun ikut mencarinya. Membuka beberapa laci dan merogoh saku taplak penutup kulkas. Tak di temukan juga kunci itu.

"Apa yang kalian cari?" tanya Barra yang menarik kursi dan duduk di sana.

"Mas, tahu di mana kunci pintu balkon?"

Barra dan Mak Ni saling pandang. "Aku nggak tahu. Kalian kan yang tiap hari di rumah," jawab Barra ikut berpura-pura.

Setelah tidak menemukan apa yang dicarinya, Delia mengambilkan piring untuk sang suami. Namun Barra menolaknya. "Aku nggak makan. Mak Ni, tolong buatkan saya kopi!" perintahnya pada Mak Ni.

"Kenapa nggak makan? Mas, sakit dan harus minum obat. Jangan minum kopi dulu." Entah keberanian dari mana, Delia menyentuh kening suaminya meski hanya sebentar. "Badanmu masih panas, sebaiknya makan dulu dan minum obat. Atau biar kutelepon Mas Samudra untuk menanyakan obat demam yang baik."

"Nggak perlu," sahut Barra cepat. "Aku biasa minum obat di kotak P3K itu." Dia tidak suka mendengar nama Samudra disebut.

"Buatkan saya teh saja, Mak," perintahnya pada Mak Ni.

"Iya, Pak."

Delia pergi ke kotak P3K untuk mengambil obat. Satu tablet di taruhnya di tatakan cangkir beserta segelas air putih dan diletakkan di meja hadapan Barra. Tapi laki-laki itu masih diam menunduk, tidak segera mengambil nasi. Dia sedang merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Tubuhnya terasa meriang dan ngilu di persendian.

Mak Ni mengangsurkan segelas teh hangat yang langsung di minum oleh Barra. Delia menyendokkan nasi di piring dan Barra sendiri yang mengambil ikan bakar dan sambal.

"Kamu nggak makan?" tanya Barra saat melihat Delia hanya duduk diam.

"I-iya," jawab Delia gugup. Kemudian mengambil piring dan mereka makan bersama. Mak Ni diajak sekalian, tapi wanita itu tidak mau dan memilih ke depan untuk menyusun pakaian di lemari.

"Mas, hari Sabtu-Minggu aku pulang ke rumah mama. Cak Rohmat yang akan menjemputku dan Mak Ni," kata Delia dengan hati-hati.

Barra mengangguk. Kalau dijemput berarti dirinya tidak harus ikut.

"Aku udah janjian sama Mas Samudra untuk ketemuan di rumah mama."

Mendengar kalimat itu Barra berhenti mengunyah. Di pandangnya Delia yang tengah makan. "Nggak usah dijemput, biar aku yang ngantar kalian."

"Hu um," jawab Delia setelah sejenak tadi terdiam karena kaget. Setelah menikah, Barra tidak pernah mengantarkannya ke mana-mana. Delia dan Mak Ni dibiarkan pergi bersama Cak Rohmat. Tapi kali ini pria itu bilang akan mengantar. Apa dia tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk berkencan dengan kekasihnya?

Ah, kesempatan tidak perlu dicari. Bukankah suaminya selalu punya waktu untuk menemui gadis itu? Bahkan disaat jam kerja sekalipun.

* * *

Ini hari kedua Barra istirahat di rumah. Tubuhnya tidak sepanas kemarin, tapi kepalanya masih terasa pusing dan tak enak badan.

Delia meletakkan puding buah di atas meja rias. Pada saat yang bersamaan, ponsel milik Barra di sebelah mangkuk puding berdenting. Ada pesan masuk dari perempuan yang diberi nama My Beloved Girl. Sejak kemarin gadis itu tidak henti-hentinya menghubungi Barra. Sebagai kekasih tentunya khawatir jika pujaannya kenapa-napa. Karena pesannya tak terbaca, tidak lama kemudian masuk panggilan dari Cintiara.

"Siapa?" tanya Barra yang tengah berbaring.

Delia mengambil ponsel dan menyodorkannya pada sang suami. "Kekasihmu," jawab Delia kemudian keluar kamar. Tidak ingin mendengar apapun yang mereka bicarakan.

Gadis itu menyusul Mak Ni yang sedang menjemur pakaian. Kedatangan Delia membuat wanita itu terkejut. "Mbak, kok ke mari?" Mak Ni was-was.

"Mak Ni, naruh kuncinya di mana?"

"Ada di meja dekat televisi, Mbak. Mak Ni lupa kemarin," jawab Mak Ni berbohong.

Angin siang berembus kencang dan di atas sana matahari bersinar dengan teriknya. Delia merapat ke pagar pembatas balkon. Merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Mbak Delia, nggak masuk saja ke dalam. Hawanya panas di sini," kata Mak Ni. Di dekatinya sang majikan dengan perasaan khawatir.

"Aku ingin mengirup udara bebas, Mak," jawab Delia sambil memejamkan matanya. Menghayati perasaannya yang terasa nyeri.

"Delia!" teriak Barra yang muncul dari dalam. "Apa yang kamu lakukan di situ?" Lelaki itu mendekati istrinya dengan perasaan cemas.

Delia yang kaget langsung menurunkan kedua tangan dan membuka matanya. Ia menoleh pada Barra yang sudah berdiri di sebelahnya. "Aku hanya mencari udara bebas."

"Ayo masuk, jangan di sini." Tangan Delia diraihnya dan membawa sang istri masuk.

Mak Ni buru-buru ikut ke dalam dan kembali menggeser pintu lalu menguncinya. Debaran di dada wanita itu belum mereda. Dipikirnya tadi, Delia tengah meladeni suaminya makan puding. Makanya cepat-cepat ia menjemur baju.

"Kamu siapkan surat-surat untuk mengurus pernikahan ke KUA. Barusan papaku ngirim pesan nanyain itu," kata Barra setelah mereka duduk di sofa depan televisi.

"Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ... ini perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu." Delia berkata sambil menunduk dan meremas jemarinya.

Ucapan yang membuat Barra memandang lama perempuan di sebelahnya. Mak Ni yang berada di balik dinding dapur pun berkaca-kaca.

* * *

Selamat membaca

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Rema Melani
sy ikut mewek di sini,.. .........
goodnovel comment avatar
istriyangdisyng
bkn mak ni saja yg berkaca kaca, sy juga berkaca kaca saat membacanya
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
cintiara kok mau sih hubungan sama barra,kan udah nikah masih aja ngarep huhuhu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status