"Assalamu'alaikum, Mas."
"Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?""Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?""Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?""Belum.""Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!""Iya, Mas.""Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi.""Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.* * *"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembantunya yang sedang menyiapkan makan malam.Mak Ni diam sejenak. "Di mana ya saya naruh kuncinya." Wanita itu celingak-celinguk di kabinet dapur. Pura-pura lupa menaruh kunci. Padahal kunci itu disimpan di lemari kamarnya. Waktu menjemur pakaian saja balkon di buka sebentar.Delia pun ikut mencarinya. Membuka beberapa laci dan merogoh saku taplak penutup kulkas. Tak di temukan juga kunci itu."Apa yang kalian cari?" tanya Barra yang menarik kursi dan duduk di sana."Mas, tahu di mana kunci pintu balkon?"Barra dan Mak Ni saling pandang. "Aku nggak tahu. Kalian kan yang tiap hari di rumah," jawab Barra ikut berpura-pura.Setelah tidak menemukan apa yang dicarinya, Delia mengambilkan piring untuk sang suami. Namun Barra menolaknya. "Aku nggak makan. Mak Ni, tolong buatkan saya kopi!" perintahnya pada Mak Ni."Kenapa nggak makan? Mas, sakit dan harus minum obat. Jangan minum kopi dulu." Entah keberanian dari mana, Delia menyentuh kening suaminya meski hanya sebentar. "Badanmu masih panas, sebaiknya makan dulu dan minum obat. Atau biar kutelepon Mas Samudra untuk menanyakan obat demam yang baik.""Nggak perlu," sahut Barra cepat. "Aku biasa minum obat di kotak P3K itu." Dia tidak suka mendengar nama Samudra disebut."Buatkan saya teh saja, Mak," perintahnya pada Mak Ni."Iya, Pak."Delia pergi ke kotak P3K untuk mengambil obat. Satu tablet di taruhnya di tatakan cangkir beserta segelas air putih dan diletakkan di meja hadapan Barra. Tapi laki-laki itu masih diam menunduk, tidak segera mengambil nasi. Dia sedang merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Tubuhnya terasa meriang dan ngilu di persendian.Mak Ni mengangsurkan segelas teh hangat yang langsung di minum oleh Barra. Delia menyendokkan nasi di piring dan Barra sendiri yang mengambil ikan bakar dan sambal."Kamu nggak makan?" tanya Barra saat melihat Delia hanya duduk diam."I-iya," jawab Delia gugup. Kemudian mengambil piring dan mereka makan bersama. Mak Ni diajak sekalian, tapi wanita itu tidak mau dan memilih ke depan untuk menyusun pakaian di lemari."Mas, hari Sabtu-Minggu aku pulang ke rumah mama. Cak Rohmat yang akan menjemputku dan Mak Ni," kata Delia dengan hati-hati.Barra mengangguk. Kalau dijemput berarti dirinya tidak harus ikut."Aku udah janjian sama Mas Samudra untuk ketemuan di rumah mama."Mendengar kalimat itu Barra berhenti mengunyah. Di pandangnya Delia yang tengah makan. "Nggak usah dijemput, biar aku yang ngantar kalian.""Hu um," jawab Delia setelah sejenak tadi terdiam karena kaget. Setelah menikah, Barra tidak pernah mengantarkannya ke mana-mana. Delia dan Mak Ni dibiarkan pergi bersama Cak Rohmat. Tapi kali ini pria itu bilang akan mengantar. Apa dia tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk berkencan dengan kekasihnya?Ah, kesempatan tidak perlu dicari. Bukankah suaminya selalu punya waktu untuk menemui gadis itu? Bahkan disaat jam kerja sekalipun.* * *Ini hari kedua Barra istirahat di rumah. Tubuhnya tidak sepanas kemarin, tapi kepalanya masih terasa pusing dan tak enak badan.Delia meletakkan puding buah di atas meja rias. Pada saat yang bersamaan, ponsel milik Barra di sebelah mangkuk puding berdenting. Ada pesan masuk dari perempuan yang diberi nama My Beloved Girl. Sejak kemarin gadis itu tidak henti-hentinya menghubungi Barra. Sebagai kekasih tentunya khawatir jika pujaannya kenapa-napa. Karena pesannya tak terbaca, tidak lama kemudian masuk panggilan dari Cintiara."Siapa?" tanya Barra yang tengah berbaring.Delia mengambil ponsel dan menyodorkannya pada sang suami. "Kekasihmu," jawab Delia kemudian keluar kamar. Tidak ingin mendengar apapun yang mereka bicarakan.Gadis itu menyusul Mak Ni yang sedang menjemur pakaian. Kedatangan Delia membuat wanita itu terkejut. "Mbak, kok ke mari?" Mak Ni was-was."Mak Ni, naruh kuncinya di mana?""Ada di meja dekat televisi, Mbak. Mak Ni lupa kemarin," jawab Mak Ni berbohong.Angin siang berembus kencang dan di atas sana matahari bersinar dengan teriknya. Delia merapat ke pagar pembatas balkon. Merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara sebanyak-banyaknya."Mbak Delia, nggak masuk saja ke dalam. Hawanya panas di sini," kata Mak Ni. Di dekatinya sang majikan dengan perasaan khawatir."Aku ingin mengirup udara bebas, Mak," jawab Delia sambil memejamkan matanya. Menghayati perasaannya yang terasa nyeri."Delia!" teriak Barra yang muncul dari dalam. "Apa yang kamu lakukan di situ?" Lelaki itu mendekati istrinya dengan perasaan cemas.Delia yang kaget langsung menurunkan kedua tangan dan membuka matanya. Ia menoleh pada Barra yang sudah berdiri di sebelahnya. "Aku hanya mencari udara bebas.""Ayo masuk, jangan di sini." Tangan Delia diraihnya dan membawa sang istri masuk.Mak Ni buru-buru ikut ke dalam dan kembali menggeser pintu lalu menguncinya. Debaran di dada wanita itu belum mereda. Dipikirnya tadi, Delia tengah meladeni suaminya makan puding. Makanya cepat-cepat ia menjemur baju."Kamu siapkan surat-surat untuk mengurus pernikahan ke KUA. Barusan papaku ngirim pesan nanyain itu," kata Barra setelah mereka duduk di sofa depan televisi."Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ... ini perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu." Delia berkata sambil menunduk dan meremas jemarinya.Ucapan yang membuat Barra memandang lama perempuan di sebelahnya. Mak Ni yang berada di balik dinding dapur pun berkaca-kaca.* * *Selamat membacaTangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun