Share

Bab 5

Author: Rahima_Azura
last update Last Updated: 2025-01-22 10:41:22

"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

"Terkadang, menjaga batas bukan hanya soal peraturan, tetapi tentang menjaga hati agar tetap bersih dari penyesalan di masa depan."

***

Zahra dan Hafiz mulai berbicara lebih sering melalui pesan singkat. Apa yang dulu hanya sebatas membahas pelajaran kini berubah menjadi diskusi tentang hal-hal yang lebih personal. Malam-malam mereka kerap diisi dengan saling bertukar pesan, dan bagi Zahra, setiap notifikasi dari Hafiz seperti membawa kehangatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Zahra, aku punya pertanyaan," tulis Hafiz malam itu. Zahra yang sedang membaca langsung meraih ponselnya, penasaran dengan apa yang akan dikatakan Hafiz.

"Apa itu, Hafiz?" balas Zahra cepat, mencoba menyembunyikan rasa antusiasnya.

Hafiz membalas dengan cepat, "Menurutmu, apa tujuan kita hidup? Maksudku, apa kita hanya menjalani semua ini untuk memenuhi harapan orang lain? Atau ada hal lain yang sebenarnya lebih penting?"

Zahra terdiam sejenak membaca pesan itu. Kata-kata Hafiz menyentuh sesuatu yang selama ini sering ia pikirkan, tetapi tak pernah ia ungkapkan. Perlahan ia mengetik jawabannya., "Aku juga sering merasa seperti itu, Hafiz. Kadang merasa hidup ini seperti sebuah panggung, dan kita hanya memainkan peran yang diinginkan orang lain."

Balasan Hafiz datang hampir seketika, "Itu yang sering aku pikirkan, Zahra. Hidup ini bukan hanya soal memuaskan ekspektasi orang lain. Kita harus mencari tahu siapa diri kita sebenarnya."

Zahra membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Hafiz terasa seperti pengingat yang selama ini ia butuhkan. Ia merasakan ketenangan dalam setiap pesan yang dikirim Hafiz, seolah-olah Hafiz benar-benar memahami perasaan yang ia pendam.

"Aku ingin menjadi seseorang yang berarti," Zahra mengetik perlahan, "Tapi kadang, aku merasa terjebak. Terjebak di antara apa yang aku inginkan dan apa yang diinginkan orang lain."

"Kamu nggak sendiri, Zahra," balas Hafiz, "Kadang aku juga merasa seperti itu. Tapi percayalah, kita selalu punya pilihan, meskipun mungkin sulit untuk mengambilnya."

Percakapan mereka terus berlanjut hingga malam semakin larut. Zahra merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya. Hafiz bukan hanya teman belajar; dia adalah seseorang yang bisa mendengar tanpa menghakimi, seseorang yang bisa membuat Zahra merasa lebih ringan meskipun hanya dengan kata-kata.

Namun, di balik kenyamanan itu, ada perasaan bersalah yang mulai tumbuh dalam hati Zahra. Ia tahu bahwa percakapan ini sudah melewati batas-batas yang seharusnya. Hafiz bukan siapa-siapa baginya, bukan keluarga, bukan juga seseorang yang secara resmi ada dalam hidupnya. Tapi mengapa hati ini begitu terikat?

"Hafiz," Zahra mengetik dengan ragu, "Apa kamu pernah merasa bahwa ada hal yang salah, meskipun itu membuatmu bahagia?"

Jawaban Hafiz datang beberapa menit kemudian, "Mungkin. Tapi aku pikir, perasaan itu hanya muncul karena kita terbiasa dengan aturan-aturan yang dibuat orang lain. Kadang, kita perlu mendengarkan hati kita sendiri."

Zahra tak bisa membalas segera. Kata-kata Hafiz seakan menggema di pikirannya. Ia tahu Hafiz ada benarnya, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap merasa gelisah. Ia takut apa yang mereka lakukan ini akan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan.

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).

Ayat itu tiba-tiba terlintas di pikirannya, seperti pengingat yang kuat. Zahra merasa dadanya sesak. Ia tahu apa yang ia lakukan ini mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi jika dibiarkan, segalanya bisa keluar dari kendali.

"Hafiz, aku takut," Zahra akhirnya mengetik setelah lama terdiam.

"Takut? Takut kenapa, Zahra?" balas Hafiz cepat.

Zahra merasa sulit untuk menjelaskan perasaannya, "Takut bahwa ini salah. Takut bahwa kita terlalu jauh. Dan bahwa kita akan menyesal nanti."

Hafiz tak langsung membalas kali ini. Beberapa menit berlalu sebelum pesan darinya akhirnya datang, "Zahra, aku juga merasa seperti itu kadang-kadang. Tapi percayalah selama kita tahu batasnya, semuanya akan baik-baik saja."

Zahra ingin percaya kata-kata itu, tetapi hatinya tetap penuh dengan keraguan. Setiap kali ia mencoba menenangkan diri, pikirannya kembali ke percakapan ini, ke Hafiz. Ia mulai merasa bahwa ia telah melangkah terlalu jauh, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana menghentikannya.

Malam itu, Zahra menatap ponselnya yang terus bergetar. Hafiz mengirimkan pesan lagi.

"Zahra, kamu tahu nggak? Aku senang kita bisa berbicara seperti ini. rasa lebih ringan, lebih bebas. dan bebanku sedikit berkurang,"

"Aku juga, Hafiz," Zahra membalas, "Tapi aku takut perasaan ini akan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman."

Lama tidak ada balasan dari Hafiz. Zahra menunggu dengan hati yang berdebar, takut apa yang akan Hafiz katakan. Hingga akhirnya, pesan itu datang.

"Zahra, aku juga merasa seperti itu."

Hati Zahra semakin gelisah. Ia tahu bahwa apa yang mereka lakukan ini bukan hanya sekadar berbicara. Ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka. Namun, Zahra tidak tahu apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari perasaan itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 22

    Hafiz duduk sendirian di kamarnya, matanya terpaku pada layar ponsel yang bergetar di tangannya. Pesan dari Zahra yang baru saja mengungkapkan kehamilannya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ia tahu tanggung jawab yang kini terjatuh di pundaknya, namun ketakutan akan reaksi keluarganya membuatnya ragu untuk mengambil langkah pertama."Apakah aku siap untuk ini?" gumam Hafiz dalam hati, merasa beban yang semakin berat setiap harinya.Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Ia membayangkan wajah ibunya yang penuh kasih dan ayahnya yang tegas, namun bayangan kegagalan dan kekecewaan mereka membuatnya merasa terjebak dalam dilema yang tak mudah.Hafiz menatap foto keluarganya yang terpajang di meja belajar. Senyum bahagia mereka saat liburan terakhir masih jelas teringat. Ia tahu bahwa keluarganya selalu menjadi sumber kekuatan dan dukungan, namun sekarang ia merasa dirinya tidak mampu memenuhi harapan mereka."Tidak bisa te

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 21

    Zahra merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring waktu berlalu. Panggilan dari orang tuanya tidak datang dengan cepat, dan setiap menit terasa seperti jam. Akhirnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, diikuti oleh pintu yang terbuka perlahan. Ibunya masuk terlebih dahulu, diikuti oleh ayahnya. Ekspresi wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Ibu, Ayah, ada apa?" tanya Zahra, mencoba menahan kecemasannya. Ibunya duduk di sofa, mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Zahra, kami tahu bahwa ada sesuatu yang kamu simpan dari kami. Kami ingin kamu terbuka sekarang." Zahra menunduk, merasakan tekanan berat di dada. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa." Ayahnya duduk di sebelah ibunya, matanya tajam menatap putrinya. "Kamu tahu betapa kami peduli padamu. Jangan biarkan rahasia ini merusak hubungan kita." Zahra menghela napas panjan

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 20

    Setelah kabar tentang kehamilan Zahra tersebar, sekolah menjadi sangat berbeda. Di setiap lorong, di ruang kelas, dan di kantin, bisikan-bisikan terdengar di mana-mana. Semua orang seolah-olah memiliki pendapat mereka sendiri tentang apa yang terjadi, dan hampir tidak ada yang peduli untuk mengetahui kebenaran dari sisi Zahra. Beberapa teman-temannya mengejek, beberapa menghindari, dan yang lainnya hanya bisa menatapnya dengan penuh kasihan.Zahra, yang biasanya merasa percaya diri di tengah-tengah teman-temannya, kini merasa terasing. Setiap kali dia melangkah di koridor, dia bisa merasakan tatapan tajam yang jatuh padanya. Seolah-olah setiap langkah yang dia ambil penuh dengan penilaian, setiap helaan napasnya disorot dengan sinisme yang tak bisa dihindari.Ia berjalan melewati kelompok teman sekelasnya, dan mereka berhenti berbicara. Beberapa dari mereka mengalihkan pandangan, sementara yang lainnya tampak terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang t

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 19

    Zahra merasakan tubuhnya semakin lemah saat duduk di bangku kelas. Kepalanya berputar-putar, dan meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran yang sedang diajarkan, pikirannya terus melayang. Setiap napas yang dihirupnya terasa semakin berat. Namun, Zahra mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya, takut jika orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Satu jam berlalu, dan semakin lama, tubuh Zahra terasa semakin tidak terkendali. Tiba-tiba, perasaan pusing yang sangat hebat datang, dan dalam sekejap, Zahra terjatuh dari bangkunya. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras, dan suara benturan itu langsung memecah keheningan ruang kelas. Semua mata langsung tertuju pada Zahra yang tergeletak di lantai, tak bergerak."Aduh! Zahra!" seru Aisyah, yang duduk tak jauh dari Zahra, segera berlari menuju sahabatnya. Ia menunduk, mencoba memeriksa keadaan Zahra, tetapi ia merasa cemas saat melihat wajah Zahra yang pucat dan tubuhnya yang kaku.S

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 18

    Zahra berjalan gontai menuju kelas, merasa pusing setiap kali langkahnya menginjak lantai. Sejak beberapa hari terakhir, pusing yang tak kunjung hilang membuatnya sulit berkonsentrasi. Tubuhnya terasa lemah, dan mual yang datang begitu mendalam hampir membuatnya tak sanggup bertahan. Namun, Zahra berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan rasa sakit itu. Dia tidak ingin dianggap lemah, tidak ingin ada yang tahu bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi pada dirinya. Hari demi hari, dia mulai merasa semakin terjebak. Setiap kali menatap cermin, Zahra merasa melihat perubahan yang semakin jelas. Tubuhnya yang dulu tegap kini terlihat lebih kurus, wajahnya semakin pucat, dan matanya tampak lelah. Meski demikian, dia berusaha tersenyum kepada teman-temannya, berharap mereka tidak melihat tanda-tanda yang semakin jelas. Tetapi, dia tahu, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Ketika bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, Zahra duduk di bangkunya, berusaha menahan gejala-gejal

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 17

    Hafiz menatap layar ponselnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pesan dari Zahra masih terbuka di hadapannya, tetapi kali ini, dia merasa lebih sulit untuk menanggapinya. Perasaannya tidak lagi ringan seperti dulu, ketika hubungan mereka baru dimulai. Semua terasa lebih rumit, lebih berat, dan dia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya."Aku tak tahu harus bagaimana, Hafiz. Aku butuh bantuanmu," begitulah isi pesan terakhir Zahra.Perasaan bersalah menggelayuti dirinya. Bagaimana dia bisa mengabaikan pesan itu? Bukankah dia seharusnya berada di samping Zahra sekarang, memberikan dukungan, bukan terperangkap dalam kebingungannya sendiri?Hafiz menggenggam ponselnya lebih erat, berpikir keras. Pertemuan pertama mereka begitu sederhana. Senyum Zahra, canda tawa mereka, semuanya terasa seperti permainan yang menyenangkan. Namun, saat kenyataan datang dengan segala kompleksitasnya, semuanya berubah. Zahra hamil. Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa mere

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status