Share

bab 4

Penulis: Rahima_Azura
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-21 21:57:44

"Kadang kita harus membiarkan perasaan tumbuh tanpa terburu-buru menghakimi, karena hanya dengan begitu kita bisa memahami esensi dari hubungan yang sejati."

Hari-hari berlalu, Zahra mulai merasakan perubahan dalam hubungan pertemanannya dengan Hafiz. Awalnya, mereka hanya berbicara sebatas belajar bersama, sebuah alasan yang biasa, yang mereka pilih untuk bisa lebih fokus dan produktif. Namun, seiring berjalannya waktu, percakapan mereka mulai terasa lebih akrab, lebih intens. Zahra mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda, meskipun ia berusaha untuk menolaknya.

"Hafiz, kita belajar bersama lagi minggu depan?" tanya Zahra, mencoba mempertahankan suasana formal, seperti yang selalu mereka lakukan. Suaranya masih terdengar biasa, meskipun ada kegelisahan kecil di baliknya. Ia merasa ada sesuatu yang semakin sulit untuk diabaikan, tetapi berusaha mengendalikan perasaan itu.

Namun, Hafiz menjawab dengan senyuman yang tak bisa disembunyikan, "Tentu, Zahra. Tapi kali ini, saya pikir kita bisa cari tempat yang lebih nyaman, ya?"

Zahra terdiam sejenak. Perkataan itu menanggalkan jarak yang selama ini ada di antara mereka. Ia merasa ragu, bingung apakah harus menanggapi dengan sikap biasa ataukah mengakui bahwa ada yang lebih dari sekadar belajar yang terjadi di antara mereka. Ia memandang Hafiz yang menunggu jawabannya, wajahnya tenang dan penuh harapan.

"Baiklah, kita coba. Tapi hanya untuk belajar, ya?" kata Zahra dengan ragu, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa kata-katanya tidak sepenuhnya mewakili apa yang ia rasakan. Ada keinginan untuk melangkah lebih jauh, tetapi ia takut jika perasaan itu justru mengganggu hubungan yang sudah terjalin.

Sejak saat itu, mereka semakin sering berbicara, lebih banyak menghabiskan waktu bersama, dan membahas berbagai hal selain pelajaran. Semua terasa mengalir begitu saja, tanpa ada yang dipaksakan. Namun, Zahra tak bisa lagi menahan perasaan yang tumbuh dalam dirinya. Ia tahu bahwa ia mulai merasa lebih dari sekadar teman belajar, meskipun ia mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Ia menyadari bahwa perasaan itu bisa saja menghancurkan apa yang telah mereka bangun, jika terlalu larut dalam perasaannya.

"Zahra, kamu sudah pernah dengar tentang buku ini?" tanya Hafiz saat itu, menunjukkan sebuah buku yang ia bawa ke sekolah. Mereka sedang duduk di sudut ruang perpustakaan yang sepi, berbicara tentang segala hal yang bukan hanya tentang pelajaran.

Zahra menoleh, menatap buku itu sekilas, "Belum sempat. Tapi pasti menarik, ya?"

Hafiz tersenyum dan mengangguk, "Iya, aku pikir kamu suka. Banyak yang bisa dipelajari dari sini." Ia lalu membuka halaman pertama dan mulai menjelaskan isi buku tersebut, penuh semangat.

Zahra memandangnya dengan rasa kagum. Cara Hafiz berbicara, cara dia membawa percakapan ke arah yang menyenangkan, membuatnya merasa nyaman. Semua yang tadinya terasa formal mulai menjadi lebih santai, lebih pribadi, dan tanpa sadar, Zahra mulai menikmati setiap momen bersama Hafiz. Momen-momen yang dulu tampak biasa kini terasa berbeda.

Tapi meskipun begitu, Zahra tetap berusaha menjaga jarak, mengingat bahwa hubungan ini dimulai hanya karena kebutuhan belajar bersama. Namun, ada bagian dari dirinya yang tak bisa memungkiri adanya ketertarikan yang semakin kuat. Ia seringkali merasakan gelisah ketika tak bertemu dengan Hafiz, dan kadang, senyum yang diberikan Hafiz terasa lebih hangat dari sebelumnya.

Sore itu, setelah mereka selesai belajar bersama, Zahra memutuskan untuk berbicara langsung dengan Hafiz.

"Hafiz, aku harus jujur padamu," kata Zahra, suaranya lebih serius dari biasanya. Ia memandang Hafiz, mencoba mencari kata-kata yang tepat, "Aku merasa kita jadi lebih dekat. Aku hanya ingin memastikan, bahwa kita tahu apa yang kita lakukan."

Hafiz menatapnya dengan lembut, senyum kecil mengembang di wajahnya, "Zahra, aku juga merasa hal yang sama. Kita lebih sering bicara, lebih banyak berbagi. Aku senang bisa punya teman yang bisa diajak ngobrol seperti ini."

Zahra merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, meskipun hatinya tetap penuh tanda tanya. Apakah yang mereka rasakan benar-benar hanya kedekatan teman, atau ada sesuatu yang lebih dalam? Ia mencoba meyakinkan diri untuk tidak terbawa perasaan lebih jauh, tetapi setiap detik bersama Hafiz terasa semakin sulit untuk dilepaskan.

Namun, mereka tetap melanjutkan hubungan itu dengan langkah yang hati-hati. Mereka berbicara lebih banyak tentang berbagai hal—tentang masa depan, tentang harapan, dan tentang impian. Tanpa sadar, setiap obrolan mereka semakin terasa penuh makna.

"Hafiz," Zahra memulai suatu malam ketika mereka sedang duduk di taman sekolah, "Kenapa kamu selalu begitu percaya diri? Aku kadang merasa tak percaya diri dan selalu berada di belakang, tidak cukup baik."

Hafiz menoleh, kemudian menatapnya dengan serius, "Zahra, setiap orang punya cara dan waktunya masing-masing. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan sudah luar biasa. Kamu hanya perlu melihatnya dengan cara yang berbeda."

Zahra merasa hangat mendengar kata-kata itu. Mungkin dia benar. Mungkin ia terlalu sering membandingkan dirinya dengan orang lain, terutama dengan ekspektasi orang tuanya yang selalu ada. Dalam setiap percakapan mereka, Hafiz selalu memberikan rasa aman, dan itu adalah sesuatu yang Zahra mulai hargai lebih dari yang ia kira.

Namun, perasaan yang tumbuh dalam dirinya semakin kuat. Meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, perasaan itu semakin menguasai pikirannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan—sesuatu yang ingin ia ungkapkan, meskipun ia tak tahu apakah itu bisa diterima.

Hari itu, mereka duduk berdua di bangku taman sekolah, menikmati udara sore yang sejuk. Hafiz melihat Zahra dengan tatapan yang lebih dalam daripada biasanya. "Zahra, aku ingin kamu tahu satu hal. Aku selalu menghargai setiap momen kita bersama. Tidak banyak orang yang bisa aku ajak bicara seperti ini, dan aku senang kita bisa saling berbagi."

Zahra terdiam, hati terasa berdebar. "Aku juga senang," jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, namun kata-kata itu seolah keluar begitu alami.

Keduanya terdiam sejenak, membiarkan keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. Meskipun tidak ada yang diungkapkan secara eksplisit, perasaan di antara mereka semakin kuat. Zahra tahu bahwa hubungan ini sudah melewati batasan yang awalnya mereka buat. Namun, ia juga merasa takut. Takut jika perasaan itu tak terbalas, takut jika semuanya akan berubah.

Namun, ada sesuatu yang lebih penting yang mulai Zahra sadari—bahwa apapun yang terjadi, kedekatan ini memberi dia kekuatan. Meskipun ia tak bisa sepenuhnya mengendalikan perasaan itu, ia belajar bahwa kadang-kadang kita harus membiarkan perasaan tumbuh tanpa terburu-buru menghakimi.

"Saya suka percakapan ini," kata Zahra, mencoba untuk menjaga kedamaian dalam hatinya,"Aku merasa kita bisa saling mengerti satu sama lain."

Hafiz mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya, "Begitu juga dengan saya, Zahra."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 22

    Hafiz duduk sendirian di kamarnya, matanya terpaku pada layar ponsel yang bergetar di tangannya. Pesan dari Zahra yang baru saja mengungkapkan kehamilannya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ia tahu tanggung jawab yang kini terjatuh di pundaknya, namun ketakutan akan reaksi keluarganya membuatnya ragu untuk mengambil langkah pertama."Apakah aku siap untuk ini?" gumam Hafiz dalam hati, merasa beban yang semakin berat setiap harinya.Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Ia membayangkan wajah ibunya yang penuh kasih dan ayahnya yang tegas, namun bayangan kegagalan dan kekecewaan mereka membuatnya merasa terjebak dalam dilema yang tak mudah.Hafiz menatap foto keluarganya yang terpajang di meja belajar. Senyum bahagia mereka saat liburan terakhir masih jelas teringat. Ia tahu bahwa keluarganya selalu menjadi sumber kekuatan dan dukungan, namun sekarang ia merasa dirinya tidak mampu memenuhi harapan mereka."Tidak bisa te

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 21

    Zahra merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring waktu berlalu. Panggilan dari orang tuanya tidak datang dengan cepat, dan setiap menit terasa seperti jam. Akhirnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, diikuti oleh pintu yang terbuka perlahan. Ibunya masuk terlebih dahulu, diikuti oleh ayahnya. Ekspresi wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Ibu, Ayah, ada apa?" tanya Zahra, mencoba menahan kecemasannya. Ibunya duduk di sofa, mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Zahra, kami tahu bahwa ada sesuatu yang kamu simpan dari kami. Kami ingin kamu terbuka sekarang." Zahra menunduk, merasakan tekanan berat di dada. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa." Ayahnya duduk di sebelah ibunya, matanya tajam menatap putrinya. "Kamu tahu betapa kami peduli padamu. Jangan biarkan rahasia ini merusak hubungan kita." Zahra menghela napas panjan

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 20

    Setelah kabar tentang kehamilan Zahra tersebar, sekolah menjadi sangat berbeda. Di setiap lorong, di ruang kelas, dan di kantin, bisikan-bisikan terdengar di mana-mana. Semua orang seolah-olah memiliki pendapat mereka sendiri tentang apa yang terjadi, dan hampir tidak ada yang peduli untuk mengetahui kebenaran dari sisi Zahra. Beberapa teman-temannya mengejek, beberapa menghindari, dan yang lainnya hanya bisa menatapnya dengan penuh kasihan.Zahra, yang biasanya merasa percaya diri di tengah-tengah teman-temannya, kini merasa terasing. Setiap kali dia melangkah di koridor, dia bisa merasakan tatapan tajam yang jatuh padanya. Seolah-olah setiap langkah yang dia ambil penuh dengan penilaian, setiap helaan napasnya disorot dengan sinisme yang tak bisa dihindari.Ia berjalan melewati kelompok teman sekelasnya, dan mereka berhenti berbicara. Beberapa dari mereka mengalihkan pandangan, sementara yang lainnya tampak terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang t

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 19

    Zahra merasakan tubuhnya semakin lemah saat duduk di bangku kelas. Kepalanya berputar-putar, dan meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran yang sedang diajarkan, pikirannya terus melayang. Setiap napas yang dihirupnya terasa semakin berat. Namun, Zahra mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya, takut jika orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Satu jam berlalu, dan semakin lama, tubuh Zahra terasa semakin tidak terkendali. Tiba-tiba, perasaan pusing yang sangat hebat datang, dan dalam sekejap, Zahra terjatuh dari bangkunya. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras, dan suara benturan itu langsung memecah keheningan ruang kelas. Semua mata langsung tertuju pada Zahra yang tergeletak di lantai, tak bergerak."Aduh! Zahra!" seru Aisyah, yang duduk tak jauh dari Zahra, segera berlari menuju sahabatnya. Ia menunduk, mencoba memeriksa keadaan Zahra, tetapi ia merasa cemas saat melihat wajah Zahra yang pucat dan tubuhnya yang kaku.S

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 18

    Zahra berjalan gontai menuju kelas, merasa pusing setiap kali langkahnya menginjak lantai. Sejak beberapa hari terakhir, pusing yang tak kunjung hilang membuatnya sulit berkonsentrasi. Tubuhnya terasa lemah, dan mual yang datang begitu mendalam hampir membuatnya tak sanggup bertahan. Namun, Zahra berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan rasa sakit itu. Dia tidak ingin dianggap lemah, tidak ingin ada yang tahu bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi pada dirinya. Hari demi hari, dia mulai merasa semakin terjebak. Setiap kali menatap cermin, Zahra merasa melihat perubahan yang semakin jelas. Tubuhnya yang dulu tegap kini terlihat lebih kurus, wajahnya semakin pucat, dan matanya tampak lelah. Meski demikian, dia berusaha tersenyum kepada teman-temannya, berharap mereka tidak melihat tanda-tanda yang semakin jelas. Tetapi, dia tahu, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Ketika bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, Zahra duduk di bangkunya, berusaha menahan gejala-gejal

  • Cinta yang Membawa Luka   Bab 17

    Hafiz menatap layar ponselnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pesan dari Zahra masih terbuka di hadapannya, tetapi kali ini, dia merasa lebih sulit untuk menanggapinya. Perasaannya tidak lagi ringan seperti dulu, ketika hubungan mereka baru dimulai. Semua terasa lebih rumit, lebih berat, dan dia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya."Aku tak tahu harus bagaimana, Hafiz. Aku butuh bantuanmu," begitulah isi pesan terakhir Zahra.Perasaan bersalah menggelayuti dirinya. Bagaimana dia bisa mengabaikan pesan itu? Bukankah dia seharusnya berada di samping Zahra sekarang, memberikan dukungan, bukan terperangkap dalam kebingungannya sendiri?Hafiz menggenggam ponselnya lebih erat, berpikir keras. Pertemuan pertama mereka begitu sederhana. Senyum Zahra, canda tawa mereka, semuanya terasa seperti permainan yang menyenangkan. Namun, saat kenyataan datang dengan segala kompleksitasnya, semuanya berubah. Zahra hamil. Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa mere

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status