Share

Part 2

“Eh tuh, sudah ada Faniza. Hmm … sebenarnya kalian pacaran atau gimana sih, Dan? Nggak jelas banget. Coba dong ditembak kalau kamu suka sama dia. Jadi laki jangan cemen dong.”

Nara menunjuk seorang wanita yang tengah duduk menantiku di motor. Aku dan Nara sudah hampir sampai di tempat parkir.

“Tanpa pacaran,aku dan dia sudah sering melakukannya kok. Hahaha. Sana pergi, jangan mengganggu waktuku dengannya. Kami akan bersenang-senang.” Aku mengusir Nara, itu sudah biasa kulontarkan sebagai candaan.

“Ya, ya, ya … hidupmu terlalu sempurna, Dan. Sialan! Hahaha. Kalau ada apa-apa, kamu harus bertanggung jawab, Dan.”

Dia mengatakannya sambil pergi ke arah lain. Memang motornya terparkir di tempat yang berbeda dari motorku. Aku hanya tertawa tanpa menjawab ucapannya.

“Hey, Ay. Sudah lama ya? Maaf ya?” sapaku. Semenjak dekat dengannya, aku jarang memanggil namanya. Panggilan kesayanganku kepadanya adalah ayang atau semacamnya.

Aku ingin segera mengecupnya, tetapi kutahan karena banyak orang yang melihat. Di negara ini tidak sopan jika melakukan hal semacam itu di tempat umum. Memang tidak pantas dilakukan, apalagi hubungan kami belum sah. Namun, pada kenyataannya kami sudah sering melakukan hubungan layaknya suami-istri saat sedang berdua saja.

“Nggak juga sih.”

Wanita berparas cantik itu menjawab dengan santai. Menurutku ia tidak seperti wanita pada umumnya. Ia mandiri dan cenderung cuek dengan keadaan sekitar. Tentang hubungan kami pun, sepertinya tidak terlalu dipikirkan olehnya. Ia hanya memikirkan kenyamanannya saja, bahkan mungkin aku yang terlalu bucin padanya.

“Yuk, pulang. Mau pulang ke kamarku ‘kan? Atau kuantar ke kosanmu saja?” Tanganku mulai iseng memegang pahanya.

“Ke kamarmu saja, kalau nggak ada cewek yang datang sih.”

“Selama ada kamu di sana, kamarku hanya untukmu seorang. Hatiku juga. Hehehe.”

“Ya sudah, ayo pulang. Aku pengin tidur.”

“Oke Sayangku.”

Di saat bibirku mengutarakan isi hati, ia selalu cuek dan seperti tidak peduli. Meski begitu, sudah kuanggap hal yang biasa. Aku yakin di dalam hatinya terselip namaku. Ada saatnya nanti kami akan benar-benar menyatu dalam sebuah hubungan. Aku akan tetap setia menunggu sampai saat itu terjadi.

“Ay, kemarin kamu ke mana saja?” Di mana pun aku yang sering sekali mengawali pembicaraan dengannya.

“Ya … biasalah, Dan. Sama om-om. Hidup di sini mengandalkan gaji dari kantor menurutku masih kurang. Banyak yang harus kupikirkan. Kamu sih enak, duit hanya untuk bersenang-senang saja.”

Motorku sudah melaju kencang di jalan raya. Tangannya mendekap erat di pinggangku. Meski sudah biasa, tetap saja membuat jantungku berdebar tak menentu.

“Apa kamu nggak bisa berhenti dari pekerjaan itu, Ay?”

Setiap membahas pekerjaannya, perasaanku seperti ada yang menyayat. Padahal dari dulu aku sudah mengetahuinya. Entahlah, tetap saja ada yang membara di dalam dada. Meski aku pun sering bermain dengan wanita lain. Itu beda urusannya. Toh, Faniza tidak pernah melarang apa pun kepadaku. Ia membebaskanku. Seharusnya aku begitu padanya, tetapi tidak akan bisa. Ada yang istimewa untuknya.

“Apaan sih, Dan. Hidup ini ‘kan hidupku. Kamu juga nggak tau alasanku apa kok.”

“Ya sudah, beritahu aku alasanmu apa? Dari dulu aku tanya kamu nggak pernah mau menjawabnya.”

“Sudahlah … itu nggak penting. Semua itu urusanku. Kita bersenang-senang saja, Dan.”

Aku mengembuskan napas mendengar kalimat itu kembali keluar dari mulut seksinya. Setiap membicarakan tentang alasan dia bekerja sampingan seperti itu, pasti jawabannya akan sama. Ia tidak akan mau menjelaskan secara detail masalah pribadinya. Pantas jika aku menyebutnya sebagai wanita yang mandiri. Ia tidak gampang membeberkan masalah pribadi meski dengan orang yang sudah dibilang dekat dengannya.

“Ya, ya, ya … selalu saja menjawab seperti itu. Oke Ay. Aku nggak akan memaksamu. Asal kamu nyaman dan bahagia saja, aku ikut senang, Ay. Suatu saat kamu pasti akan bercerita semuanya kepadaku. Aku bersedia menunggu sampai saat itu datang, Ay.”

Tangan kiriku mengusap pahanya. Hatiku benar-benar terkunci untuknya. Aku harus bersabar sampai Faniza mau membuka hatinya untukku.

“Terima kasih, Dan. Kamu selalu mengerti tentang perasaanku. Pantas kalau aku nyaman saat bersamamu.”

“Iya Ay, aku akan selalu mendukungmu.”

Seperti ini saja aku sudah sangat bahagia, bagaimana jika Faniza benar-benar kudapatkan seutuhnya? Mungkin aku sudah tidak akan bermain dengan wanita lain lagi. Hidupku hanya untuk Faniza seorang. Semoga semua yang kuharapkan akan terjadi.

*** 

Faniza menjatuhkan dirinya di atas kasur setelah sampai di kamar indekosku. Perlengkapan kerjanya masih ia kenakan. Mungkin benar ia sudah sangat mengantuk sampai tidak mempedulikannya lagi atau hanya karena malas saja.

“Ay, mandi dulu. Masa langsung mau tidur begitu?” protesku seraya mengunci pintu. Motor sudah terparkir di tempat yang aman, jadi aku tidak mengkhawatirkannya lagi.

“Ahh … males, Dan. Hah!”

Faniza tidur terlentang dan beberapa kali mengembuskan napasnya. Matanya terpejam, menikmati nyamannya tidur di atas kasur.

“Dasar kamu. Sini, aku bantu copot sepatumu dulu.”

Aku mendekatinya dan membantu melepaskan sepatu yang masih ia kenakan. Aku sering melakukannya. Mungkin karena itu Faniza jadi ketagihan dan selalu ingin dilayani. Dengan senang hati aku rela berbuat apa pun untuknya.

“Terima kasih, Dan. Kamu memang yang terbaik. Ini juga ya? Hehehe.”

Matanya kembali terbuka saat aku selesai melepas sepatunya. Tangannya mengulurkan tasnya padaku, agar aku membawanya ke tempat semestinya.

“Oke, Tuan Putriku. Aku akan melayanimu sampai puas,” ucapku seraya mengambil tas itu.

“Hehehe.” Dia hanya tersenyum tanpa menjawab apa-apa.

Tas itu kucantelkan di belakang pintu. Sepatunya kuletakkan di atas rak. Aku pun melakukan hal yang sama dengan barang milikku.

“Ay, aku mau mandi dulu biar seger. Kamu juga lho, Ay. Aku mau kamu.”

Aku melihat ke arahnya, namun matanya sudah kembali terpejam. Ia pun bergeming. Apa benar Faniza sudah tidur? Aku mendekatinya.

“Ay, aku mau kamu.”

Aku membisikkan di dekat telinga dan mengecupnya sekalian. Faniza pasti geli jika aku melakukannya. Matanya akan terbuka dan mendengar ucapanku.

“Hehehe. Iya, Dan. Sana mandi dulu. Nanti aku pasti akan mandi. Aku geli, jangan dekat-dekat. Mau tiduran sebentar. Jangan ganggu.”

Faniza menyingkirkan wajahku dari telinganya. Di sana memang tempat yang sangat sensitive baginya. Faniza menjadi tidak berdaya jika ada yang menyentuh bagian tersebut. Geli katanya.

“Oke Ay. Terima kasih ya?” ucapku seraya mengecup keningnya.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Malam ini pasti akan sangat indah. Faniza sedang bersamaku. Aku memang sudah jatuh cinta padanya. Meski aku sering melakukan dengan wanita lain, tetapi itu karena sudah biasa. Jika dengan Faniza ada cinta di dalamnya. Itu semua membuatku semakin bergelora. Aku tak mau lepas darinya. Dia harus bisa kudapatkan seutuhnya. Apa pun keadaannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status