“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”
Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.
“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.
“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”
Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.
“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
Brak!Pintu kamar dibuka paksa oleh seseorang.“Apa-apaan ini! Beraninya kamu berbuat seperti ini dengan pacarku! Br*ngs*k!” umpat laki-laki itu.Aku bergeming dan melihat ke arah laki-laki tersebut. Sedangkan wanita yang tengah memadu kasih denganku, bergegas bangkit dan mencari pakaian untuk menutupi tubuh indahnya. Ia tak mengenakan seutas benang pun.“Kamu ini ya, dasar wanita j*l*ng! Beraninya menghianatiku!” Dia menunjuk wanita yang kini mulai menutupi bagian indahnya.“Heh! Kenapa membuka kamar orang sembarangan kayak gini? Ganggu orang saja! Lagi asik-asiknya malah kamu datang mendobrak p
“Eh tuh, sudah ada Faniza. Hmm … sebenarnya kalian pacaran atau gimana sih, Dan? Nggak jelas banget. Coba dong ditembak kalau kamu suka sama dia. Jadi laki jangan cemen dong.”Nara menunjuk seorang wanita yang tengah duduk menantiku di motor. Aku dan Nara sudah hampir sampai di tempat parkir.“Tanpa pacaran,aku dan dia sudah sering melakukannya kok. Hahaha. Sana pergi, jangan mengganggu waktuku dengannya. Kami akan bersenang-senang.” Aku mengusir Nara, itu sudah biasa kulontarkan sebagai candaan.“Ya, ya, ya … hidupmu terlalu sempurna, Dan. Sialan! Hahaha. Kalau ada apa-apa, kamu harus bertanggung jawab, Dan.”Dia mengatakannya sambil pergi k
“Ay, bangun. Mandi dulu.” Aku mendekatinya dan beberapa kali mendaratkan bibir di telinganya.Saat ditinggal mandi, ternyata dia terlelap tidur. Aku sengaja membiarkannya untuk beberapa saat dan hanya melihat paras cantiknya yang sedang tertidur. Karena hari sudah semakin gelap, akhirnya aku membangunkannya.“Dan, geli. Iya, aku bangun.”Tangannya kembali menyingkirkan wajahku, namun aku tetap saja melakukannya.“Hehehe. Dan, sudah dong. Aku geli,” ucapnya lagi, menolak perbuatanku.“Bangun dong, Ay. Mandi sana. Aku mau kamu.”
Jari telunjuk langsung kuletakkan di bibir, agar Faniza tidak lagi mengeluarkan suaranya yang cukup nyaring.“Siapa? Ibumu?” tanya Faniza dengan suara berbisik. Aku mengangguk.“Dan, halo? Ada apa, Dan? Tadi siapa? Apa ada perempuan di kamarmu?”Aku menepuk keningku. Susah payah selama ini aku berbohong, apa hari ini akan terbongkar semuanya? Kebohonganku akan sia-sia?“Hehe, bukan, Bu. Itu suara temanku di kamar sebelah.” Entahlah, ibu akan percaya atau tidak.“Lho, bukannya kamu ngekos di kosan laki-laki? Kenapa ada suara perempuan? Tadi Ibu dengar dia memanggilmu, Dan. Apa Ibu sala
“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana.Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.