Brak!
Pintu kamar dibuka paksa oleh seseorang.
“Apa-apaan ini! Beraninya kamu berbuat seperti ini dengan pacarku! Br*ngs*k!” umpat laki-laki itu.
Aku bergeming dan melihat ke arah laki-laki tersebut. Sedangkan wanita yang tengah memadu kasih denganku, bergegas bangkit dan mencari pakaian untuk menutupi tubuh indahnya. Ia tak mengenakan seutas benang pun.
“Kamu ini ya, dasar wanita j*l*ng! Beraninya menghianatiku!” Dia menunjuk wanita yang kini mulai menutupi bagian indahnya.
“Heh! Kenapa membuka kamar orang sembarangan kayak gini? Ganggu orang saja! Lagi asik-asiknya malah kamu datang mendobrak pintu kamarku. Maumu apa, hah?” ketusku sembari duduk.
“Apa? Kamu ngomong apa, hah? Ganggu? Dia pacarku, kenapa berani melakukannya segampang itu! Kamu nggak mikir, Dan! Aku temanmu! Bisa-bisanya menikmati pacar temanmu sendiri! Kamu gila, hah!” bentak Henri, dia laki-laki yang baru saja masuk ke kamarku secara paksa.
“Hahaha … dia sendiri yang datang ke kamarku. Dia yang mau denganku. Buat apa aku menggoda pacarmu itu. Ada banyak wanita yang lebih cantik darinya. Ya … berhubung dia menghampiriku dengan suka rela, rezeki dong. Nggak mungkin ‘kan kalau aku tolak. Hahaha.”
Aku mengambil celana boxer yang tergelatak begitu saja di atas kasur.
“Br*ngs*k! Kamu gila, Mel! Kamu menyerahkannya begitu saja sama orang macam dia, Mel! Wanita mur*han! J*l*ng!”
Plak!
Henri menamparnya cukup keras.
“Kalau mau ribut, pergi saja dari sini. Nggak usah mengganggu ketenanganku. Selesaikan di luar saja,” ucapku santai tanpa mempedulikan wanita yang baru saja memuaskanku.
“Zidan. Kamu sama sekali nggak mempedulikanku? Tadi kamu bilang kalau mencintaiku. Tapi kenapa kamu nggak peduli kayak gini.”
Wanita bernama Amel itu mulai memprotes tingkahku yang tak mempedulikannya. Aku hanya melihat sekilas. Dia memegang pipi bekas tamparan Henri. Matanya terlihat mengembun. Semua itu tak menggoyahkan hatiku untuk peduli padanya.
“Itu ‘kan tadi, biar adrenalinmu bertambah. Itu menguntungkanku juga. Ya, aku harus ngomong begitu dong. Kamu enak juga ‘kan tadi? Ya sudah, anggap saja impas. Kamu juga ‘kan yang datang sendiri padaku tanpa kuminta.”
Aku mengambil sebatang rokok dan meletakkannya di mulut. Korek kunyalakan untuk menikmati rokok itu.
“Pembohong kamu, Dan!”
“Amel! Aku ini pacarmu! Kenapa malah mengharapkan Zidan kayak gitu. Wanita b*doh! Ada yang serius dan menjagamu mati-matian malah memilih laki-laki br*ngs*k kayak dia!”
Henri menujukku dengan tatapan penuh amarah. Napasnya tidak beraturan seperti ingin memangsaku hidup-hidup.
“Kalian pergi saja dari sini. Kalau mau ribut, ribut di kamar kalian saja jangan di kamarku. Urusanku denganmu sudah selesai, Mel. Jangan datang lagi ke kamarku seenak hatimu. Aku malas harus ribut sama Henri lagi. Aku sudah memuaskanmu hari ini, jadi terima kasih dan pergilah.”
Tangan kukibaskan beberapa kali, itu bertujuan untuk mengusir mereka dari hadapanku. Aku sudah malas melihat drama yang masih saja berlanjut.
“Kamu lihat dia, Mel! Dia itu laki-laki br*ngs*k. Bisa-bisanya kamu mau melakukan hubungan kayak gitu sama dia. B*d*h kamu, Mel!” Henri tetap saja memaki pacarnya yang kini sudah berpakaian rapi.
“Aku sudah ngomong tadi ‘kan? Kalau mau berantem atau apalah itu, pergi ke kamar kalian saja. Di sini menggangguku. Paham! Silakan keluar. Pintu ada di depan kalian.”
“Zidan, kamu memang laki-laki br*ngs*k!” Amel mengatakannya seraya pergi dari kamarku.
“Mel! Kamu masih saja mengharapkan dia? Mel, tunggu!” ujar Henri. “Awas saja kamu, Dan. Sekali lagi kamu mendekati Amel, nggak akan kulepaskan begitu saja. Kamu akan habis olehku, Dan! Br*ngs*k!” umpatnya kepadaku.
“Sudah sana kejar pacar berhargamu itu. Aku sudah ngomong, bukan aku yang menggodanya. Dia sendiri yang datang menawarkan tubuh indahnya kepadaku. Mana mungkin aku menolak. Hahaha.”
Aku santai saja. Henri tidak akan berani melawanku mengingat badannya terlalu kecil dibanding dengan diriku. Dia hanya berani menggertak saja tetapi tidak berani bertindak secara nyata.
Ya, aku ini laki-laki berpawakan tinggi besar. Badan dan lenganku berotot karena aku suka berolahraga. Jika ada waktu luang, sering digunakan untuk pergi ke gym. Wajahku pun tampan bak artis Korea. Kulit putih dan bersih terawat. Hidungku mancung dan garis wajah yang hampir sempurna menambah pesona dalam diriku. Wanita tidak akan berkedip saat melihatku.
Aku jarang sekali menggoda seorang wanita. Mereka akan datang dengan sendirinya padaku. Menawarkan apa saja yang mereka punya. Tentunya aku tak akan menyia-nyiakannya begitu saja. Itu seperti rezeki bagiku. Tanpa dicari mereka datang dengan sendirinya.
“Br*ngs*k kamu, Dan,” umpatnya lagi. “Mel, tunggu Mel!” Henri pergi mengejar Amel.
“Hah! Akhirnya … drama ini usai juga. Lumayanlah hari ini, aku sedikit terhibur dengan permainan Amel. Hahaha. Wajah tampan memang sangat menguntungkan. Terima kasih orang tuaku. Hahaha.”
Kuhisab puntung rokok sambil duduk santai di tepian kasur. Aku menikmati asap rokok yang masuk ke mulutku. Setelahnya kuembuskan secara perlahan asap itu ke udara. Sungguh kenikmatan tak ada duanya setelah kenikmatan dari seorang wanita.
***
“Dan!”
Seseorang memanggil saat langkahku baru saja keluar dari kantor. Aku berjalan menuju ke tempat parkir. Namun, karena ada yang memanggil, aku pun menoleh mencari sumber suara itu.
“Eh, ngapain?” ucapku pada Nara, seseorang yang baru saja memanggilku.
“Hahaha, hebat kamu, Dan. Amel kena juga?” bisiknya.
“Tau dari mana? Haha. Dia yang datang padaku. Nggak mungkin aku tolak ‘kan?”
“Gila kamu memang, Dan. Siapa-siapa diembat. Salut, Bro! Hahaha ….”
“Aku ini tampan, siapa yang bisa menolak pesonaku. Hahaha. Kemarin Henri mengganggu saja. Tiba-tiba mendobrak pintu kamarku.”
“Wah, berani juga tuh orang. Lalu, ngapain? Apa berani melawanmu?”
“Mana mungkin. Bac*tnya saja yang gede. Tapi nyali ciut. Dia pergi mengejar Amel tuh.”
“Hahaha. Sudah kuduga. Mau nyicipin siapa lagi, Dan? Aku kira kamu dulu cupu kebangetan. Eh, baru setahun di sini sudah banyak yang dicoba. Gila. Gila ….”
“Ya … aku sih dari dulu emang pengin hidup kayak gini, Ra. Tapi gimana lagi. Orang tuaku sangat ketat menjaga pergaulanku. Aku tersiksa luar bisa. Banyak cerita dari teman-teman, mereka sering begituan katanya nikmat banget, waktu itu aku cuma bisa ngiler bayangin yang nggak bisa kurasain sendiri. Bisanya gitu aja sama tangan. Payah. Untung aku dibolehin pergi kerja, itu saja harus merengek kayak bocah. Akhirnya aku bebas juga. Hahaha.”
Nara menggelangkan kepala saat mendengar ocehanku. Dulu aku memang tidak seperti sekarang ini. Aku berani melakukannya berkat seseorang. Dia mengajariku tentang kebebasan. Sepertinya hatiku pun terkunci untuknya. Aku sering menyatakan isi hatiku padanya. Namun, dia hanya diam dan menikmati hubungan yang tidak jelas ini denganku. Tetapi dia mau diapakan saja olehku, hubungan suami istri, itu sudah biasa. Dia pun membebaskanku untuk hidup sesuka hati. Mau bersenang-senang dengan siapa pun, dia tak mempermasalahkannya.
“Eh tuh, sudah ada Faniza. Hmm … sebenarnya kalian pacaran atau gimana sih, Dan? Nggak jelas banget. Coba dong ditembak kalau kamu suka sama dia. Jadi laki jangan cemen dong.”Nara menunjuk seorang wanita yang tengah duduk menantiku di motor. Aku dan Nara sudah hampir sampai di tempat parkir.“Tanpa pacaran,aku dan dia sudah sering melakukannya kok. Hahaha. Sana pergi, jangan mengganggu waktuku dengannya. Kami akan bersenang-senang.” Aku mengusir Nara, itu sudah biasa kulontarkan sebagai candaan.“Ya, ya, ya … hidupmu terlalu sempurna, Dan. Sialan! Hahaha. Kalau ada apa-apa, kamu harus bertanggung jawab, Dan.”Dia mengatakannya sambil pergi k
“Ay, bangun. Mandi dulu.” Aku mendekatinya dan beberapa kali mendaratkan bibir di telinganya.Saat ditinggal mandi, ternyata dia terlelap tidur. Aku sengaja membiarkannya untuk beberapa saat dan hanya melihat paras cantiknya yang sedang tertidur. Karena hari sudah semakin gelap, akhirnya aku membangunkannya.“Dan, geli. Iya, aku bangun.”Tangannya kembali menyingkirkan wajahku, namun aku tetap saja melakukannya.“Hehehe. Dan, sudah dong. Aku geli,” ucapnya lagi, menolak perbuatanku.“Bangun dong, Ay. Mandi sana. Aku mau kamu.”
Jari telunjuk langsung kuletakkan di bibir, agar Faniza tidak lagi mengeluarkan suaranya yang cukup nyaring.“Siapa? Ibumu?” tanya Faniza dengan suara berbisik. Aku mengangguk.“Dan, halo? Ada apa, Dan? Tadi siapa? Apa ada perempuan di kamarmu?”Aku menepuk keningku. Susah payah selama ini aku berbohong, apa hari ini akan terbongkar semuanya? Kebohonganku akan sia-sia?“Hehe, bukan, Bu. Itu suara temanku di kamar sebelah.” Entahlah, ibu akan percaya atau tidak.“Lho, bukannya kamu ngekos di kosan laki-laki? Kenapa ada suara perempuan? Tadi Ibu dengar dia memanggilmu, Dan. Apa Ibu sala
“Ay, kamu selalu membuatku kewalahan. Ahh … nikmat sekali hidup ini. Hidupku sempurna saat denganmu, Ay.”Faniza tidur di sebelahku. Lenganku dijadikan bantalan kepalanya. Jari-jemariku membelai mesra rambutnya yang berantakan. Sisa aktivitas kami bersama.Kamarku menjadi seperti kapal pecah. Handuk dan pakaianku berserakan di lantai. Beberapa tissue bekas tergeletak sembarangan di sana.Benda lentur seperti balon pun kubuang begitu saja setelah mengenakannya. Tidak kupikirkan jika benda cair di dalamnya akan tumpah berceceran. Akan dibersihkan nanti, jika sudah ada kemauan. Saat ini waktunya kami beristirahat untuk sejenak. Mungkin saja, nanti aku menginginkannya lagi.“Kamu capek ya, Ay?” tanyaku lagi.
“Halo Ra, aku mau ke kosanmu. Kamu jangan pergi-pergi dulu. Awas kalau nanti aku sampai di sana, kamunya nggak ada!”Aku menelepon Nara setelah keluar dari kamar mandi. Dadaku belum terbalut oleh kain. Hanya handuk yang menutupi bagian bawah saja.“Mau ngapain ke sini? Tumben banget. Nggak sama cewek-cewek? Biasanya kuajak pergi selalu ditolak mentah-mentah. Ada saja wanita yang datang ke kamarmu.” Nara menjawabnya dari ujung sambungan.“Hah! Aku lagi males sama mereka. Aku mau tanya pendapat sama kamu, Ra.”Aku meletakkan ponsel di nakas dan meninggikan volume suara. Tanganku sibuk mencari baju untuk dipakai.“Haha. Tumben-tumbennya nih. Iya cepat sini. Aku jadi penasaran. Zidan, laki-laki yang katanya sempurna ini bisa galau juga. Hahaha.”“B*cotmu!
Sarapan di piring sudah ludes masuk ke dalam perut. Nara yang kembali membereskan segalanya. Piring kotor dan sampah ia letakkan di tempat semestinya.“Kamu mau ngomong apa, Dan? Aku penasaran banget.” Dia mendekatiku.Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Semoga setelah aku berbicara kepada Nara akan ada kesimpulan dan solusi terbaik.“Tentang Faniza, Ra. Aku mau menikahinya, tapi dia selalu menolak. Aku bingung, padahal wanita lain ingin sekali menikah denganku. Ini malah ditolak terus.” Raut wajahku mendadak sayu.“Ngapain menikah? Kalian sudah biasa berhubungan badan ‘kan? Hahaha.” Nara justru meledekku. Keningnya pun mengernyit. Dasar memang.“Jangan gitu dong. Tau sendiri kan, pekerjaan Faniza kayak apa? Aku mau dia berhenti dari dunianya yang suram itu. Aku mau semua milikny
“Dan, jemput aku di bandara sekarang juga.”“Lho, Ay. Ngapain di situ?”“Jemput aku dulu. Ceritanya nanti kalau sudah ada kosanmu. Aku tunggu, cepat ya.”“Iya, Ay.”Panggilan itu terputus. Ternyata yang menghubungiku adalah Faniza. Dia memintaku untuk menjemputnya di bandara. Aku bingung, kenapa dia berada di tempat seperti itu? Bukannya dia sedang bekerja melayani om-om?“Ra, aku pergi dulu. Kamu pulang pakai ojek online saja ya? Ini masalah penting.” Aku bergegas membereskan barang-barang yang kubawa ke dalam tas.“Masalah penting apa?” Nara melihatku menunggu jawaban.“Biasalah, tentang Faniza. Sudah ya, aku pergi dulu.”“Dasar bucin!” ejeknya.
“Eh Dan, ngapain pegang begituan? Mainnya nanti ‘kan?”Baru saja selesai membuat lubang-lubang untuk menembus pertahanan, Faniza muncul di belakangku. Untung saja, jarumnya tidak terlihat. Aku langsung menggenggamnya meski terasa pedih tertusuk. Demi cinta, aku rela berkorban.“Iya nanti, Ay. Aku hanya mau lihat saja benda ini sebelum digunakan. Seringnya sudah terisi sama cairan kenikmatanku. Hahaha.” Senyum mengembang di bibir meski tanganku menggenggam jarum yang tajam.“Ada-ada saja kamu, Dan. Aku kira sudah nggak sabar.”“Sabar dong. Ada saatnya nanti aku bersenang-senang denganmu, Ay. Kamu bisa istirahat dulu.”