"Kenapa takut bermain air? Fobia?" tanyanya dengan tangan yang masih sibuk menautkan tali-tali untuk menyatukan pelampung itu.
"Terlalu berlebihan jika disebut fobia. Aku hanya tidak suka bermain air di tempat umum seperti seperti pantai dan sejenisnya. Aku suka berenang, tapi di kolam renang indoor."
"Kalau begitu lain kali kita harus mengunjungi kolam renang."
"Untuk apa?" tanyaku polos, Sagara meyentil keningku pelan, tetapi cukup untuk membuatku meringis dan melayangkan delikan runcing.
"Bodoh, tentu untuk berenang. Memangnya orang pergi ke kolam renang untuk apa? Bermain bola?" Dia mencibirku, menyebalkan!
"Di kolam renang juga ada yang suka bermain bola, Bodoh!" balasku mulai berani, syukurlah kini suasananya tidak sekaku tadi.
Sagara tidak menjawab, ia hanya menatapku. Kenapa dia menatapku begitu? Bukankah yang kukatakan a
"Aku akan pelan-pelan. Jadi, bukalah matamu, Fidella!" perintahnya yang terdengar mengalun lembut. Lihat, dia bahkan tahu aku sedang memejamkan mata erat."Jangan banyak bicara, bawa saja speed boat- nya dengan benar. Aku tidak mau mati muda!" bentakku asal. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku begitu paranoid seperti ini, aku hanya panik.Kekehan kecil menyusup ke indera pendengaranku di antara berisiknya deru mesin dan suara gelombang air. "Katanya tidak fobia, tapi ketakutanmu menjelaskan hal yang sebaliknya," ledeknya membuatku ingin menangis kesal.Dia jahat. Di saat aku ketakutan seperti ini dia masih saja menggodaku.Benar, dia memang tidak bisa dibodohi. Aku fobia bermain di laut. Ini menyeramkan dan dadaku terasa sesak jika berada di dalamnya.Aku mulai takut air laut sejak kejadian itu. Di mana aku tenggelam dan tubuhku teromban
"Kebanyakan wanita selalu mengangungkan perasaan. Menggunakan hati dalam segala hal yang dia lakukan, tidak salah, itu memang kodrat mereka."Sagara mengambil jeda dalam ucapannya. Ia berbelok untuk menghindari speed boat lainnya.Aku masih menatap lekat ke arah pria ini, wajah tenang itu selalu terpampang dalam segala situasi, aku heran. Mengapa dia bisa seperti itu? Menghadapi semuanya dengan santai dan tenang, tanpa terlihat sedikit pun air muka getir, gugup, atau hal sebagainya."Namun, ada satu dampak negatif dari wanita yang seperti itu. Karena terlalu banyak menggunakan hati, wanita jadi lemah. Pola pikir mereka terikat pada satu spekulasi samar hanya karena setitik kebaikan pria," sambungnya yang entah mengapa kurasa seperti tengah menyindir."Menduga-duga adalah kebiasaan wanita, jangan menyangkal karena itu kenyataan!"Sial! Mulutku terkatup, dia menyela
"Bisakah kita saling jujur sekarang?" tanyaku pelan-pelan, takut jika Sagara tersinggung atau marah dengan pertanyaanku."Belum saatnya." Hanya itu yang dia berikan sebagai jawaban."Baiklah, seperti ini saja. Tidak terlalu buruk," ucapku menenggelamkan kekecewaan."Jangan terlalu baik atau ramah pada wanita!" Oh, tidak, aku mulai menampilkan sisi posesifku lagi."Kau takut mereka jatuh cinta padaku?" tanyanya seraya memainkan alis tebalnya."Aku hanya tidak suka. Wanita tidak akan banyak berharap jika si pria tak memberikan kesempatan untuknya melakukan itu," jelasku menampik. Meski apa yang diucapkannya benar, aku tak mau mengakuinya secara langsung."Benarkah? Tapi aku dibesarkan dari keluarga baik-baik. Ayahku selalu mengingatkan untuk bersikap baik pada semua orang."Ah, dia ini! Kenapa begitu menyebalkan jadi orang, ha
Kehidupan bukan tentang menunggu kapan kita bahagia, tetapi bagaimana cara kita mendapatkannya. Selama apa pun kita menanti, jika hati masih dibiarkan tenggelam dalam kungkungan luka serta derita, maka selama itu pulalah bahagia tidak akan menyapa.Benarkah Fidella sudah yakin dengan keputusannya membuka hati? Membuka hati untuk menjemput bahagia bersama suaminya, Sagara atau mungkin pikiran gadis itu masih kalut, hingga ia berpikir dirinya sudah jatuh cinta untuk kedua kalinya pada sosok Sagara Affandra Ramirez?Bukankah beberapa waktu lalu gadis itu berikrar tegas jika cinta dan hatinya sudah milik Stevan Anderson seorang? Lalu, apa artinya perasaan yang kembali datang tanpa diundang ini untuk Fidella?Entahlah, justru hal itu yang sedang berusaha Fidella pecahkan. Memang luka Fidella karena dicampakkan Stevan terkesan masih sangatlah segar, tetapi seperti layu di hati gadis itu.Letupan kenangan tentang kebersamaannya dengan Ste
Sepanjang perjalanan Fidella mendapat tatapan aneh dari beberapa dokter juga perawat yang terlihat mengenalnya. Bisikan- bisikan pedas masih bisa didengar oleh Fidella, meski mereka berusaha keras mengurangi volume suara mereka."Kudengar dia memaksa Dr. Sagara untuk menikahinya.""Oh benarkah? Murahan sekali wanita itu, tidak tahu malu.""Ya, kau benar. Selama ini dia mati-matian menunjukan kebencian pada Dr. Sagara, tapi ternyata ... sungguh sulit dipercaya."Dua orang dokter dari departemen yang berbeda sedang asyik menggunjing diri Fidella. Sepertinya mereka mempunyai dendam pada Fidella atau lebih tepatnya iri. Banyak yang bilang jika kedua dokter itu memang mengagumi Dokter Sagara."Tidak heran calon suaminya meninggalkan dia.""Sulit dipercaya Dr. Sagara bersedia menikahi gadis itu. Dia lebih mirip jalang yang mengemis pertanggung jaw
Yang membuat kubangan emosi Fidella terkuras bukan karena mereka memanggilnya dengan sebutan jalang. Meski itu terdengar menyakitkan juga, tetapi bukan itu yang membuat emosionalnya memuncak, melainkan karena kata demi kata yang menjelaskan bahwa Sagara sangat menderita karenanya.Kata yang seakan menegaskan jika Fidella memang gadis murahan, yang mengemis belas kasih pada musuhnya sendiri. Tiap kata yang mengikrarkan jika Fidella adalah gadis terkejam di muka bumi, dengan menjadikan Sagara sebagai budak pelampiasannya.Benar, Fidella membenarkan hal itu. Semula ia meminta Sagara menikahinya hanya untuk menghindari aib yang akan melukai harga diri keluarganya.Fidella sama sekali tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Sagara mengenai kejadian ini. Karena sejak awal nalar gadis itu memiliki keyakinan tinggi, jika hatinya tidak akan terusik atau melemah untuk sekadar memikirkan perasaan pria yang menjadi su
Dr. Harold tahu Sagara bukan tipikal orang yang bisa mengungkapkan kegelisahannya. Pria muda itu pandai menyembunyikan perasaan dalam ketenangan yang selalu ia perlihatkan setiap hari.Bahkan, meski Dr. Harold sudah mengenal Sagara hampir enam tahun lamanya. Ia masih belum bisa memahami diri Sagara sepenuhnya. Menurutnya, Sagara itu terlalu misterius.Bukan karena ia tidak ingin memahami bocah itu lebih dalam, hanya saja Sagaralah yang tidak mengizinkan siapa pun memahami dirinya. Sagara tercenung, topik pembicaraan ini mulai terasa tidak nyaman untuknya."Terima kasih atas perhatian Anda, Ketua, tapi untuk urusan ini, biar aku dan Fidella saja yang menyelesaikannya," jelas Sagara dengan tenang dan sopan. Ia ingin menuntas perbincangannya dengan Dr. Harold, tetapi sepertinya itu tidak akan mudah."Alasan apa yang membuatmu bersedia menikahi Fidella, Sagara? Apa kau mencintainya?" tanya Dr. Ha
"Sejak kapan kau mendengarkan kata orang?""Tolong jawablah aku sedang tidak ingin membentakmu hari ini, Sagara," pinta Fidella sekali lagi. Ia benar-benar menantikan jawaban itu.Dia ingin memastikan, apakah memang benar ucapan para penggosip itu. Jujur saja, jika ia sakit mengingat ialah penyebab sakitnya Sagara, seperti yang mereka bilang."Aku lebih senang dibentak daripada menjawab pertanyaan tidak penting," balas Sagara penuh ketegasan. Raut wajahnya tak bisa diterka, seperti biasa raut tenang itulah yang ditampilkannya. Meski ada sedikit guratan amarah terlihat, hal tersebut bukan masalah besar, karena mimik tenanglah yang lebih dominan.Sagara langsung beranjak meninggalkan Fidella. Pria itu hampir memasuki ruangannya dan tiba-tiba saja ada sesuatu yang menahannya untuk masuk.Memaksa