Share

Cinta yang Tertukar
Cinta yang Tertukar
Author: Jus Strawberi

Bab 0001

Kota Selayu, di sebuah vila dengan harga termahal.

Yara Lubis berdiri di depan cermin dengan wajah merona merah. Dia bangun pagi-pagi sekali hari ini dan bahkan memakai lipstik untuk pertama kalinya.

Memikirkan semua yang terjadi tadi malam bersama suaminya, Yudha Lastana, senyum manis di wajahnya semakin sulit disembunyikan.

Setelah setahun menikah, mereka akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka.

Tampaknya, dia telah berhasil meluluhkan hati suaminya.

Yara sangat berbahagia dalam hatinya. Dari dalam lemari, dia mengeluarkan tiga buah gaun dan membandingkannya di depan cermin. Dia ingin Yudha melihatnya dalam penampilan tercantiknya saat terbangun nanti.

Gaun pertama berwarna biru langit yang dia beli saat masih sekolah. Mengenakannya membuat dia terlihat seperti bocah.

Yang kedua adalah gaun pendek berwarna putih. Gaun ini sudah sangat lama sampai kerahnya sudah menguning.

Gaun terakhir adalah gaun hitam dengan kesan lebih formal. Dia membelinya saat lulus kuliah dan bersiap mencari pekerjaan.

Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya dia memilih gaun yang berwarna biru langit.

Menatap kerah pelaut yang agak kekanak-kanakan di cermin, dia ragu-ragu lagi. Namun, muncul suara berisik di kamar tidur pada saat ini. Pasti Yudha sudah bangun tidur.

Rasa gembira merasuk hati Yara. Tidak ada waktu untuk berganti pakaian lagi, dia segera masuk kamar dan berkata malu-malu, "Yudha, kamu sudah bangun?"

Yudha menyadari apa yang terjadi tadi malam. Dia pun berdiri dan melangkah maju, menampar Yara tepat di pipinya. "Wanita murahan, berani-beraninya kamu?"

Yara terjatuh ke lantai, menatap Yudha kebingungan. "Yudha ...."

Suara dingin pria itu berkata lagi, "Berani-beraninya kamu menjebak aku lagi dan lagi?"

"Nggak, aku nggak ...." Yara tidak mengerti maksud perkataan suaminya. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Jelas-jelas tadi malam, pria itu melepaskan diri dalam tubuhnya berulang kali. Seperti binatang buas yang tak pernah puas, menuntut pemuasan padanya tanpa kenal batas, tetapi sekarang ... apa yang salah?

Yudha meraih lehernya dan mencengkeram kuat. Dengan kejam berkata, "Yara, kamu membuatku sangat muat."

Dia menatap pakaian Yara dengan pandangan jijik, lalu bangkit pergi seolah melarikan diri dan pergi langsung ke kamar mandi.

Yara menatap langit-langit dengan mata kosong. Apa gunanya pernikahan seperti ini?

Suami yang telah dia cintai selama tujuh tahun dan dinikahinya selama satu tahun, memandang rendah dirinya dan tidak menaruh rasa padanya sama sekali.

Yara sangat lelah.

Selama setahun pernikahannya, dia telah bekerja keras dan mencintai Yudha dengan segenap kekuatannya.

Vila seluas 300 meter persegi ini tidak memiliki seorang pun pelayan, tetapi dia tetap membersihkannya dengan penuh perhatian setiap hari. Menyiapkan makan tiga kali sehari, meski Yudha jarang pulang untuk makan, Yara selalu menyiapkan hidangan yang enak dan lengkap.

Dia mencuci dengan tangan dan menyetrika pakaian Yudha, hingga setiap pakaian terlihat seperti baru. Dia tidak menghabiskan uang sembarangan, tidak membanding-bandingkan, tidak pergi-pergi keluar, dan mencatat setiap pengeluaran dengan jelas.

Dia berbakti kepada orang tua. Tidak peduli meski keluarga Yudha selalu mempermalukannya, dia menelan kepahitan itu dalam diam dan tidak pernah menimbulkan masalah untuk Yudha ....

Bisa dikatakan, selain tidak memiliki anak, dia merasa bahwa dirinya adalah istri yang baik.

Namun, apa hasilnya?

Dia tetap kalah total.

Ketika Yudha keluar dari kamar mandi, tatapannya kepada Yara masih penuh rasa jijik.

"Kita cerai saja!"

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Yara merasa seolah dia akhirnya bisa bernapas lega.

Lega bahwa semua ini akhirnya berakhir. Dia tidak perlu lagi khawatir memikirkan kapan semua ini akan selesai.

Langkah Yudha terhenti. "Apa katamu?"

"Yudha, kita cerai saja. Aku kembalikan kebebasanmu. Kalau kamu ingin bersama dengan ...."

Leher ramping itu dicengkeram lagi.

Yudha sangat marah.

"Yara, apa kamu lupa?"

"Sejak awal, kalau bukan karena kamu yang membiusku, memerangkap aku agar tidur denganmu, lalu datang ke rumah bersama ibumu untuk memaksa aku menikahimu. Apa menurutmu kamu bisa masuk ke keluarga Lastana?"

"Cerai?"

"Kalaupun kita cerai, cuma aku yang berhak pertama memintanya."

"Kamu nggak berhak!"

Lalu pria itu pergi dengan langkah marah.

Yara duduk mematung di tanah, seakan kehilangan semua rasa dan pancaindra.

Saat sarapan, Yudha melihat surat perjanjian cerai di meja makan.

Yara duduk di hadapannya dengan tenang.

Yudha tertawa sinis dan membanting perjanjian itu di atas meja.

Dia tahu, Yara tidak mungkin menyiapkan ini dalam waktu singkat begitu saja. Wanita ini pasti sudah menyiapkannya selama beberapa waktu.

"Kok sudah nggak sabar begitu? Kamu sudah punya sasaran baru?" oloknya.

Yara tidak menjawab. Dia memang sudah menyiapkannya sejak lama.

Tepat ketika dia menerima pesan singkat itu, dia tahu bahwa pernikahannya telah berakhir.

Perjanjian cerai ini sudah menunggu di dalam lacinya selama beberapa hari. Dia hanya tidak punya cukup nyali untuk mengeluarkannya dan tidak punya cukup nyali untuk mengucapkan kata cerai kepada Yudha.

Belum cukupkah dia menanggung nama Nyonya Lastana yang rendah diri serendah tanah di bawah injakan kaki?

Namun, dia sebenarnya tidak punya pilihan.

"Yudha, tanda tangani saja. Aku nggak akan minta apa-apa."

Yudha tertawa marah.

Wanita licik yang tanpa malu menikah dengan keluarga Lastana, mengatakan dia tidak minta apa-apa?

Dia membuang perjanjian itu ke tempat sampah. "Yara, jangan main-main denganku."

Penghinaan di matanya tergambar jelas. "Kalau kamu beneran mau cerai, kenapa kamu memberiku obat bius lagi tadi malam?"

Obat bius?

Mata Yara melebar.

Obat bius apa?

Dia tidak melakukannya.

"Kamu harusnya sudah mengerti betapa muaknya aku padamu," ucap Yudha sengit. "Kalau bukan karena pengaruh obat, aku nggak akan tertarik padamu sedikit pun."

Pria itu beranjak pergi.

Yara buru-buru pergi ke sampingnya dan meraih lengannya. "Yudha, aku nggak membiusmu."

Yudha mengibaskan tangannya. "Siapa yang mau percaya kebohonganmu?"

Yara terjatuh ke lantai, masih menggelengkan kepala sekuat tenaga. "Nggak, sumpah aku nggak melakukannya."

Sayangnya, Yudha sudah tidak ingin mendengarkan.

Tidak melakukannya?

Lalu, mungkinkah dia membius dirinya sendiri?

Wanita ini tidak pernah berkata jujur, membuatnya sangat jijik.

Yudha pergi tanpa menunggu lama lagi.

Yara masih membeku di tempat dia terjatuh.

Dia merasa konyol.

Semuanya sangat konyol.

Pantas saja dia tiba-tiba bertingkah seperti itu tadi malam .... Dia kira hati Yudha akhirnya luluh.

Wanita itu berbaring di tanah sambil menangis dalam waktu yang lama, baru akhirnya mengumpulkan cukup tenaga untuk bangkit.

Pergi ke atas, kemasi barang-barang, dan bersiap pergi.

Baru saat inilah Yara menyadari bahwa pernikahan ini benar-benar gagal.

Tidak ada resepsi, tidak ada cincin kawin, tidak pernah menerima hadiah apa pun selama setahun.

Kopernya masih sama, berisi barang-barang yang dia bawa ke sini tahun lalu.

Saat itu, dengan naifnya dia berpikir bahwa selama dia bersikap sebaik mungkin, dia bisa memiliki keluarga.

Tak diduga, kenyataan memberinya tamparan keras.

Namun, ke mana dia bisa pergi setelah meninggalkan keluarga Lastana?

Yara tahu dia tidak mungkin bisa kembali ke keluarga Lubis. Ibunya yang selalu menganggap Yudha sebagai penghasil uang tidak mungkin setuju dengan perceraiannya.

Dari sudut matanya, dia lalu melihat segelas air di samping tempat tidur, tetapi dia ingat jelas bukan dia yang menaruhnya di sana.

Wajah Yara pun dipenuhi ekspresi tidak percaya, mengingat semua yang terjadi tadi malam.

Semuanya berawal ketika Yudha meminum air yang ada di meja samping tempat tidur. Air ini ....

Yara terpikir akan sebuah kemungkinan dan bangkit berdiri penuh rasa tidak percaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status