Share

Bab 0002

Yara berjalan menuju pintu depan dengan tidak sabar.

Kemarin sore, satu-satunya yang datang berkunjung hanyalah ibunya, Silvia Damara. Pasti dia yang meletakkan air itu di sana.

Dia harus pergi ke rumah dan memastikannya.

Yara naik taksi dan langsung menuju kediaman keluarga Lubis. Tak disangkanya, dia bertemu Yudha di depan rumah keluarga Lubis.

Yudha melihatnya dengan tatapan yang lebih merendahkan.

Seorang pelayan melihat mereka berdua dan tersenyum mencari muka. "Pulang bersama-sama? Hubungan Nona dan Tuan Yudha sangat harmonis."

Yara menundukkan kepala. Dia tahu betul saat ini Yudha pasti salah paham lagi.

Benar saja, ketika Yudha berjalan melewatinya, dia berkata dengan gigi terkatup, "Kamu bilang ingin cerai, tapi masih minta ibumu memanggilku ke sini?"

"Bukan begitu," timpal Yara dengan suara rendah, tetapi tidak dapat menghindar dari rasa bersalah yang mulai berkembang dalam hatinya.

Apa maksud ibunya tiba-tiba memanggil Yudha?

Silvia menyaksikan dua orang itu pulang bersama-sama. Rasa terkejut sekilas terpancar dari matanya.

Dia buru-buru menenangkan diri dan menyambut hangat Yudha yang memasuki pintu.

"Yudha, cepat masuk. Aku memanggilmu jauh-jauh sampai ke sini, pasti capek di perjalanan, 'kan?"

Dia benar-benar mengabaikan Yara di depan pintu.

"Bu!" Yara mengikuti masuk sendiri. "Kenapa kamu memanggil Yudha ke sini?"

"Diam!" Silvia memelototi Yara, lalu tersenyum pada Yudha. "Kalau aku tahu dia mau pulang juga, aku nggak akan memintamu ke sini."

Yudha duduk di sofa menatap Yara dengan senyum mencemooh.

Yara tahu kehadirannya tidak diharapkan di sini, tetapi dia tidak ingin pergi. Dia ingin tahu apa yang ingin dilakukan Silvia.

Dia duduk di sofa sebelah.

Silvia mengoceh beberapa saat sebelum akhirnya mengatakan tujuan sebenarnya.

Dia mengakui kesalahannya kepada Yudha dengan wajah bersimbah ingus dan air mata. "Yudha, keluarga kami sangat bersalah kepadamu. Kalau saja saat itu Yara nggak membius kamu ...."

Mengungkit perkara lama lagi. Ditambah apa yang terjadi tadi malam, Yudha langsung mengepalkan tinjunya.

"Bu!" Yara semakin tidak terima. "Aku sudah bilang, waktu itu bukan aku. Aku masih terima kalau orang luar nggak percaya kata-kataku, tapi kamu ibuku. Kenapa kamu nggak mau percaya kata-kataku?"

"Diam!" Silvia merasa kecewa akan kepayahan putrinya. "Apa iya aku tidak kenal seperti apa anak perempuan yang kulahirkan sendiri?"

Mata Yara memerah seketika.

Caci-maki Silvia masih belum habis. "Kamu suka bohong sejak kecil, pemalas, selalu iri dengan barang-barang Melly, sampai kamu mencuri dan merebut barang miliknya."

Yara benar-benar tercengang.

Dia tahu sejak kecil bahwa ibunya sangat suka pada sepupunya, Melanie Lubis. Namun, dia tidak pernah tahu bahwa dia sebegitu tidak berharganya di mata ibunya.

Apa dia masih ibu kandungnya?

"Yudha, kami semua selalu merasa bersalah karena Yara membuat jebakan keterlaluan seperti itu di pesta ulang tahun Melly."

Yudha melirik dari sudut matanya. "Tapi waktu itu, kamu sendiri yang membawa Yara menemui keluarga Lastana dan memaksaku menikahi dia."

Silvia tergelagap sebentar, lalu menjelaskan sambil berurai air mata, "Entah apa pun yang terjadi, Yara tetap anakku. Aku merasa kasihan padanya saat itu, aku kebingungan sampai akhirnya membuat kesalahan besar."

"Membuat kesalahan besar?" Yudha mengangkat alisnya dan mengunci poin pentingnya. "Lalu, kamu mau apa sekarang?"

Tatapannya menakutkan, lebih tajam daripada pisau.

Silvia panik sejenak, baru akhirnya melanjutkan, "Yudha, aku dengar Melly mau pulang dari luar negeri sebentar lagi. Ceraikanlah Yara."

Yudha tiba-tiba berdiri.

Silvia terkejut dan menatap ketakutan kepadanya.

Yudha memandang Yara yang duduk di sebelahnya.

Yara duduk tercenung. Segala sesuatu yang terjadi di depan matanya benar-benar mengubah pemahamannya tentang ibunya.

Mengaku salah?

Kata "salah" tidak pernah ada dalam kamus Silvia.

Sukarela meminta Yudha menceraikannya?

Bagaimana bisa?

Setahun yang lalu, di pesta ulang tahun Melanie, entah bagaimana Yara berhubungan badan dengan Yudha yang saat itu tunangan Melanie.

Orang-orang dari lingkaran sosial mereka berkumpul di sana pada saat itu. Kejadian ini menjadi sebuah keributan besar.

Karena tidak dapat menanggung beban aib ini, Melanie memutuskan pertunangannya dengan Yudha dan pergi ke luar negeri beberapa hari kemudian.

Lebih-lebih Yara, dia merasa sangat malu bertemu orang lain dan bersembunyi di rumah tanpa pernah keluar.

Namun, Silvia memarahinya dari depan pintu kamarnya setiap hari. Mengatakan bahwa dia sangat bodoh dan ditiduri cuma-cuma.

Pada akhirnya, Silvia menyeretnya menemui keluarga Lastana dan memaksa Yudha menikahi Yara.

Keluarga Lastana adalah salah satu keluarga terbesar dan insiden ini sangat ramai diperbincangkan di lingkungan mereka. Akhirnya juga, mereka tidak punya pilihan lagi dan menikahkan dua orang itu.

Namun, setahun telah berlalu. Bagaimana keluarga Lastana memperlakukan Yara? Seperti apa sikap Yudha kepadanya? Yara sudah berkali-kali mengatakan pada Silvia bahwa dia ingin bercerai, tetapi ibunya itu selalu marah. Dia pun hanya bisa memendamnya kembali.

Kenapa Silvia tiba-tiba berubah pikiran? Ini sangat aneh!

Yudha mengalihkan pandangannya dan melihat Silvia dengan tatapan merendahkan. "Kalau kami bercerai, berapa banyak uang yang pantas aku berikan untuk kalian?"

Silvia hampir kelepasan tertawa. Ada keberuntungan tak terduga rupanya.

Benar juga. Keluarga Lastana sangat kaya. Pasti tidak masalah kalau dia ingin ikut kebagian untung.

Dia menimbang-nimbang sebentar, lalu menyebutkan angka yang menurutnya tidak terlalu berlebihan bagi Yudha. "Dua ratus miliar."

"Bu, kamu gila, ya!" Yara yang sejak tadi tertegun akhirnya tersadar kembali dan dalam hatinya menyadari bahwa situasinya sudah tak tertolong lagi.

Raut wajah Yudha sudah sangat dingin seperti es.

Dia berjalan cepat ke arah Yara dan berkata dengan amarah terpendam, "Menurutku, kamu yang gila."

Tidak salah lagi. Yudha pasti menganggap semua ini sebagai cara ibu dan anak ini untuk memeras uang darinya.

"Yara, dengarkan baik-baik. Aku bersedia bercerai, tapi soal uang, aku nggak akan memberimu sepeser pun."

Setelah melontarkan kata-kata ini, Yudha berjalan pergi dengan langkah cepat.

Yara benar-benar tidak tahan lagi.

Seperti apa sebenarnya dia di mata ibunya?

Sebuah alat yang bisa diperas sampai tetes darah terakhir meski sampai terjadi perceraian?

"Ibu! Kenapa kamu minta uang pada Yudha? Kenapa?"

Dua ratus miliar pula?

Jangankan 200 miliar. Mungkin dia tidak memiliki nilai sama sekali di mata Yudha.

"Apa aku salah minta uang?"

Setelah Yudha pergi, keangkuhannya muncul kembali.

"Kamu sudah menikah dan melayaninya selama satu tahun. Salah apa aku minta uang padanya?"

Dia benar-benar mengabaikan tatapan putus asa Yara.

"Malah kamu itu yang nggak berguna. Seberapa kayanya Yudha, tapi dia nggak mau memberimu 200 miliar?"

Sampai di sini, air mata Yara telah mengering.

"Bu, kamu benar. Aku nggak berguna. Setelah satu tahun menikah, Yudha nggak pernah sekali pun menyentuhku."

"Hah?" Raut wajah Silvia sedikit aneh. Awalnya dia tampak terkejut, kemudian dia seperti ingin menertawakan.

Singkatnya, dia sama sekali tidak ikut sedih atas kesedihan putrinya.

"Tapi satu hal yang paling nggak berguna adalah memiliki ibu sepertimu." Yara mengambil tasnya, lalu berbalik dan pergi mengejar suaminya.

Dia ingin menjelaskan pada Yudha bahwa dia tidak pernah menginginkan uangnya, dia ingin mengembalikan dia kepada Melanie.

Di belakangnya, Silvia tak henti mencaci-maki.

"Oke, dasar pelacur, kamu mau berontak?"

"Kamu mau memutus hubungan dengan ibumu? Aku juga nggak mau punya anak pecundang sepertimu!"

"Nggak usah pulang lagi kalau kamu mampu."

Yara berlarian mengejar sampai ke gerbang dan melihat mobil Yudha baru saja dinyalakan.

Sudah terlambat.

Dia nekat berlari ke depan mobil, mencoba menghalangi.

Saat Yudha menginjak pedal gas, dia melihat sebuah bayangan melintas.

Lalu, terdengar suara "bruk!" segera setelahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status