Share

Bab 0006

Setelah kembali ke rumah Siska, Yara memberi tahu sahabatnya itu tentang kejadian tadi. Mereka berdua bersama-sama menelusuri di Internet dan dengan segera menemukan apa yang disebut karya asli itu.

Total ada lima lukisan dan kelimanya memiliki kemiripan 95 persen dengan yang dikirimkan Yara ke Baruy. Semuanya meraih lima penghargaan yang sangat bergengsi di industri ini.

Atas nama Lindari.

Siska merasa sulit memercayainya. "Kamu kenal Lindari ini?"

"Nggak." Yara menggelengkan kepalanya. "Sepertinya bukan nama asli."

"Benar. Seaneh-anehnya, pencuri lukisan itu nggak mungkin orang dari luar negeri." Lalu Siska bertanya lagi pada Yara, "Lukisan aslimu disimpan di rumah keluarga Lubis?"

Yara mengangguk.

"Punya foto lukisan aslinya?"

"Ada!"

Seketika Siska mendapat semangatnya kembali. "Urusannya gampang kalau begitu. Kirimkan foto-fotomu ke juri kompetisi itu dan minta mereka mengganti pemenangnya."

Dia berpikir sejenak, kemudian menambahkan, "Lalu kirimkan ke forum desainer besar. Mungkin kita bisa menemukan pencuri lukisan ini."

Sebagai seorang seleb sosial media berpengalaman, dia percaya pada kekuatan netizen.

"Oke." Sambil mencari bukti-bukti, Yara berkata, "Aku harus pulang dan mengambil lukisan aslinya."

Pada saat ini, satu-satunya cara agar hatinya tenang adalah memegang lukisan itu di tangannya sendiri.

"Iya, kalau begitu, kirimkan foto-fotonya padaku." Siska lebih berpengalaman tentang sosial media. "Sisanya biar aku yang tangani."

"Siska, terima kasih. Aku bersyukur punya kamu." Setelah Yara mengirimkan foto-fotonya, dia langsung kembali ke rumah keluarga Lubis.

Begitu memasuki pintu, dia melihat Silvia sedang menonton televisi.

"Aku pulang mau ambil sesuatu," ucap Yara sambil berjalan naik menuju kamarnya.

"Sesuatu apa?" Silvia membuntuti di belakangnya, seolah takut Yara akan mencuri sesuatu.

"Sesuatu punyaku." Yara memasuki kamarnya dan mulai mencari-cari dalam kotak.

Dia punya sebuah kotak kecil yang diletakkan di bawah tempat tidur. Lukisan-lukisan yang dia buat semasa sekolah semuanya ada di dalam kotak itu.

Silvia melipat tangan di depan dada dan bersandar di pintu, mendecakkan lidah tidak suka. "Barang-barang nggak berguna, bawa saja semuanya kalau masih mau. Kalau nggak, biar kubuang saja."

Yara sudah mencari berulang kali, tetapi masih tidak ketemu. Dia mendongak dan menatap Silvia. "Mana lukisanku?"

"Lukisan apa? Mana aku tahu?" Silvia menatapnya balik.

Yara berdiri dan berkata dengan suara yakin, "Lukisan yang aku buat saat masih sekolah, semuanya aku masukkan dalam kotak ini. Ke mana perginya?"

"Aku nggak tahu." Silvia berbalik dan hendak pergi ke lantai bawah.

Yara mengejar dan menghalangi jalannya. "Di mana lukisanku?"

"Anak sialan, kamu nggak bisa dengar? Aku bilang aku nggak tahu! Minggir!"

"Mana mungkin kamu nggak tahu? Kamu beri ke siapa lukisanku?"

Saat ini, pada dasarnya Yara sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi.

Silvia pasti memberikan lukisan miliknya kepada orang lain. Orang tersebut mengambil lukisan itu untuk diikutkan kompetisi di luar negeri dan kemudian menang. Kini dia menjadi orang yang dituduh menjiplak.

"Diberikan ke siapa?" Suara Yara gemetar dan hampir terisak. Dia benar-benar tidak tahu berapa kali dia dijebak oleh ibunya ini.

"Aku bilang nggak tahu. Aku nggak pernah lihat, nggak pernah pegang."

Silvia berkacak pinggang.

"Cuma lukisan nggak bagus disayang-sayang. Siapa yang mau peduli?"

"Kamu pasti menuduh aku, 'kan? Ya sudah, bawa semua barang-barang nggak bergunamu keluar dari rumah ini. Mulai sekarang, kamu nggak punya tempat lagi di rumah ini."

"Oke!" Yara tidak tahan lagi. "Mulai sekarang, aku nggak punya hubungan lagi denganmu, Silvia Damara. Aku nggak punya ibu sepertimu."

Dia segera berjalan ke kamar dan mengambil sebuah tas. Dia masukkan semua yang ingin dia bawa ke dalamnya.

Dia benar-benar sudah muak dengan keluarga ini dan ibu ini.

"Bagus! Keluar dari sini!" Silvia tampak sangat bahagia, dia hampir bertepuk tangan.

Setelah Yara mengemasi barang-barangnya, dia segera memanggil taksi dan pergi.

Di dalam mobil, dia tidak bisa berhenti menangis.

Dosa apa yang pernah dia perbuat? Bahkan ibunya sendiri memperlakukan dia seperti ini.

Dia bertanya-tanya, kepada siapa Silvia memberikan lukisan-lukisan itu?

Dalam sekejap, dia memikirkan sebuah nama: Melanie.

Namun, Yara segera menepisnya.

Melanie tidak mungkin melakukan hal kotor seperti itu. Bakatnya juga jauh lebih baik daripada dirinya.

Tidak peduli siapa orangnya, Yara bertekad ingin menemukan orang ini.

Malam itu, juri dari beberapa lomba membalas email mereka, menyatakan bahwa lomba mereka berlangsung adil, objektif, dan terbuka. Serta karya terpilih telah disaring secara ketat, tidak ada kemungkinan plagiarisme. Karya yang menang tidak mungkin bermasalah.

Terakhir, ada lampiran dalam email itu.

Yara mengunduh lampirannya dan melihat bahwa lampiran itu berisi foto-foto lukisan asli, lebih banyak dari yang dia kirimkan sebelumnya.

Waktu itu dia hanya memfoto beberapa lukisannya, tidak semuanya.

Di beberapa forum, postingannya mendapat sorotan, tetapi semuanya dipenuhi balasan yang mencaci-maki Yara dan mengata-ngatai dia tidak tahu malu.

Banyak di antara mereka yang merupakan penggemar Lindari.

"Menjiplak karyamu? Memangnya kamu siapa? Ngaca dulu sana."

"Kamu cari lukisan aslinya? Aku juga punya, malah lebih banyak darimu. Nggak usah main di sini, dasar pecundang."

"Orang paling nggak tahu malu sedunia."

Dan lain-lainnya.

Siska menatap pilu ke arah Yara dan bersiap-siap menyerang balik.

"Kamu punya kepala cuma buat hiasan?"

"Sombong nggak ketulungan. Merasa paling hebat?"

"Hati-hati otakmu yang sekecil kacang itu hilang tertiup angin!"

Dia percaya pada Yara.

Namun, lukisan aslinya sudah hilang, bagaimana mereka bisa mendapat keadilan?

Dalam perjalanan pulang, Yara sudah menduga hal ini akan terjadi. Sekarang dia hanya ingin tahu siapa orangnya.

"Siska, abaikan saja." Yara mulai memilah dengan seksama balasan-balasan tersebut dan akhirnya melihat seseorang mengirimkan resume pribadi Lindari.

Isinya membuat dia benar-benar tercengang.

Siska juga terkejut. "Ini ... bukannya ini ... Melanie?"

Yara agak kesulitan mencerna informasi ini.

Dari kecil hingga dewasa, Melanie adalah seseorang yang paling dia kagumi.

Kata orang tuanya, sepupunya ini pandai dalam segala hal.

Sedangkan Yara hanya seperti ekor yang mengikutinya. Bekerja kelas dalam diam untuk menjadi sebaik Melanie.

Namun, kenyataan tidak seindah mimpi. Menandingi Melanie adalah hal yang mustahil, bahkan pria yang sangat dicintainya hanya ingin menikahi Melanie.

Bagaimana mungkin Melanie mencuri lukisannya?

Tidak, dia harus bicara tatap muka dengan Melanie.

Keesokan harinya, Yara membuat janji dengannya.

"Rara, kamu mau bicara soal perceraian lagi?" Melanie masih tampak ramah dan murah senyum. "Yudha sedang kunjungan ke luar kota beberapa hari ini. Dia sudah bilang akan menyelesaikan proses cerainya segera setelah dia pulang nanti."

Yara mengeluarkan foto lukisan itu. "Melanie, lukisan ini ...."

"Rara." Melanie tiba-tiba menangis. "Maafkan aku."

Hati Yara langsung menegang. "Melanie, jadi kamu mencuri lukisan-lukisanku? Bisa-bisanya ...."

"Rara," Melanie memandang Yara dengan mata berkaca-kaca. "Aku sangat membencimu saat itu. Aku ingin membalas dendam padamu, jadi aku diam-diam menghubungi ibumu dan mengancamnya untuk mengirimkan lukisan-lukisan ini padaku."

Dia tampak sangat emosional. "Rara, perasaanku sedang kacau-balau waktu itu."

Yara seketika merasa lelah fisik sekaligus jiwanya. Benar saja, Tuhan telah menghukumnya.

"Melanie," desahnya pelan. "Lupakan saja. Aku nggak menyalahkan kamu, tapi kamu harus menghubungi panitia juri kompetisi untuk memperbaiki masalah ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status