Share

Bab 0007

"Rara." Melanie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak bisa, nggak bisa diperbaiki."

"Rara, kamu tahu aturan di industri desain. Kalau aku mengaku ... karierku akan hancur total."

Yara masih tidak rela. "Tapi Melanie, kalau nggak diperbaiki, aku ...."

"Kamu ingin masuk ke Baruy, 'kan?" Melanie menyeka air matanya. "Serahkan masalah ini padaku."

"Tapi ...." Yara tidak ingin masuk dengan nama plagiator.

"Rara." Melanie tampak penuh penyesalan. "Karena insiden antara kamu dan Yudha, aku nggak bisa menggambar apa pun, jadi aku khilaf dan membuat kesalahan besar."

Dia menatap Yara dengan penuh emosi. "Bisakah kamu memaafkan aku kali ini? Aku percaya kamu pasti bisa membuktikan dirimu setelah masuk Baruy."

Yara bimbang ingin berbicara. Dia sudah menyebabkan penderitaan untuk Melanie satu kali. Dia tidak bisa lagi melihat karier Melanie hancur karena masalah ini.

"Ya sudah, kalau begitu aku minta tolong padamu untuk urusan Baruy." Dia akan membuktikan kemampuan dirinya di masa depan.

Melanie menghela napas lega dalam hati. "Jangan khawatir, serahkan semuanya padaku. Tunggu sebentar, nanti kamu bisa langsung mulai kerja."

Setelah Yara pergi, Melanie segera mengirimkan pesan kepada Silvia.

Melly Sayang: "Masalah lukisan sudah beres."

Silvia membalas seketika.

Damara: "Melly memang yang terbaik."

Yara kembali ke rumah Siska dengan hati sedih.

"Gimana hasilnya? Apa kata Melanie?" tanya Siska penasaran.

Yara duduk di sofa dan menghela napas berat. "Dia mengaku."

"Hah?" Mata Siska terbelalak. "Jadi benar dia? Kenapa dia selicik itu?"

Dia menyadari suasana hati Yara sedang tidak baik, jadi dia duduk diam selama beberapa menit. "Rara, jadinya bagaimana? Dia mau ganti rugi pakai apa?"

Yara mendesah. "Dia bilang waktu itu dia sedang kebingungan. Kalau dia mengakui semuanya sekarang, bisa-bisa dia hancur."

Dia menatap Siska, tidak berdaya. "Tapi dia janji membantuku masuk Baruy."

"Membantumu? Persetan. Apa dia sudah nggak punya urat malu?" Siska menggertakkan gigi menahan kebencian.

Dari kemampuannya, Rara jelas-jelas bisa menjadi seniman terbaik Baruy. Namun, kini dia harus menanggung cap plagiator yang masuk lewat jalur orang dalam.

"Kalau wanita itu masih punya hati nurani, dia nggak akan membiarkan kamu diperlakukan buruk di tempat kerja," kata Siska sengit.

Mereka berdua duduk di sofa dan bergulat dengan kemelut selama beberapa saat. Pada akhirnya, Yara berhasil lebih dahulu menghibur diri.

"Oke, aku putuskan, masalah ini jangan diungkit-ungkit lagi. Setelah masuk Baruy, aku akan menampilkan yang terbaik dan membuat mereka terkesan ... terutama si Anita itu."

"Oke." Siska mengangguk meski agak enggan. "Bagus kalau kamu sudah nggak sedih lagi. Kamu mau merayakannya?"

"Ayo!"

Pada akhirnya, mereka tidak jadi makan-makan. Mereka memilih membeli beberapa botol minuman dan merayakannya di rumah.

Emosi Yara campur aduk. Di satu sisi, dia senang karena akan memiliki kehidupan baru. Di sisi lain, dia sedih karena Yudha sudah bukan bagian dari kehidupan barunya.

Tanpa sadar, dia mabuk karena minum terlalu banyak. Menangis dan tertawa sambil memeluk Siska.

"Siska, setelah aku dapat gaji nanti, aku janji akan mentraktir kamu makan besar. Tiga kali!"

"Oke, aku tunggu janjimu."

"Siska, aku sebentar lagi bercerai. Haha, aku sudah nggak ada hubungan lagi dengan Yudha."

"Rara, lupakan dia. Hubungan kalian terlalu pahit."

Setelah bertahun-tahun, Siska paling mengerti tentang perasaan Yara kepada Yudha. Dia juga tahu betapa rendahnya posisi Yara dalam pernikahan ini.

Sebagai orang luar, dia selalu memperingatkan dirinya sendiri agar jangan sampai menjadi Rara kedua.

"Lupakan? Benar, lupakan dia. Harusnya aku lupakan dia sejak dulu, tapi ...."

Yara mulai menangis. "Tapi susah Siska ... kenapa susah sekali? Kenapa?"

Hari berganti.

Tiga hari setelahnya, Yara mulai bekerja di Baruy dan staf yang memandunya adalah Anita.

"Jadi, Melanie itu sepupumu?" Baru bertemu, wajah Anita penuh cemoohan dan dia menatapnya dengan sangat merendahkan.

Dia pernah bertemu orang yang menjiplak karya orang lain sebelumnya. Namun, baru kali ini dia bertemu orang yang menjiplak karya keluarganya sendiri.

Yang lebih membuatnya tercengang adalah wanita ini minta dimasukkan ke perusahaan meski telah terbongkar sebagai seorang plagiator.

"Ya." Yara menundukkan kepala, suaranya kecil seperti suara nyamuk.

Namun, dia dengan jelas mendengar dengusan Anita, seperti suara guntur.

Mereka berdua terdiam sepanjang jalan. Anita segera membawa Yara ke studio dan menunjuk ke kursi di sudut, "Tempat kerjamu di sana."

Memang layak dikatakan sebagai yang terbaik di seluruh negeri. Perlengkapan mereka memang bisa dikatakan terbaik.

Seluruh ruangan ini luas dan terang. Jendelanya besar dari lantai ke langit-langit, menyuguhkan panorama gedung-gedung tinggi kota.

Di bagian tengah, empat meja kerja untuk seniman itu tampak mencolok. Dengan ruang yang luas dan dilengkapi komputer, tablet, alas gambar, serta segala macam alat menggambar.

Namun, di sudut hanya ada satu komputer. Tempatnya buruk dan janggal, tidak berpadu dengan keseluruhan ruang kantor.

Yara mengerutkan kening. Dia memperhatikan bahwa salah satu dari empat meja kerja tampak tidak digunakan, jadi dia menunjukkan jari ke sana.

Hanya saja, sebelum dia sempat bicara, Anita berkata dengan suara dingin, "Di sana ada yang punya. Sebentar lagi mulai kerja."

Anita berbalik dan pergi tanpa memperkenalkan Yara kepada semua orang.

Yara berdiri canggung di tempat. Ketika melihat semua orang memandanginya, dia mengumpulkan keberanian dan berkata, "Halo semuanya, aku Yara Lubis, seniman baru di sini. Mohon bimbingannya."

"Oh, kamu sepupu direktur bagian kita!" Seorang seniman bernama Safira Zahra menjawab sambil tersenyum palsu.

Dua seniman yang lainnya menatap Yara dari atas ke bawah, lalu kembali ke pekerjaan mereka tanpa berkata apa-apa.

Yara duduk di tempat yang ada di sudut. Dia tidak menyangka Melanie bisa mendapat posisi direktur bagian.

Berkat lukisan-lukisannya? Pasti lebih dari itu.

Sepanjang pagi, tidak ada yang menghiraukan Yara, seolah dia tidak ada.

Saat makan siang, Melanie mengirim pesan padanya.

"Rara, bagaimana hari pertamamu? Lancar? Aku sedang sibuk, tapi aku sudah khusus minta mereka untuk menerimamu dengan baik."

"Lumayan."

"Syukurlah. Yudha pulang malam ini. Ayo kita rayakan bersama hari pertama kamu masuk kerja."

"Nggak usah."

Melanie tidak membalas lagi.

Yara pun meletakkan ponselnya. Yudha sudah pulang, mereka seharusnya bisa segera menyelesaikan proses perceraian.

Entah kenapa, jantungnya seperti diremas-remas. Senyum pahit tersimpul di bibirnya.

Dia tidak mengerti. Keadaan sudah seperti ini, kenapa dia masih merasa sesak?

Saat pulang kerja pada malam hari, Yara melihat Yudha dan Melanie menunggu di pinggir jalan begitu dia keluar dari gedung.

Kedua orang itu terlalu menarik perhatian, memancing lirikan dari banyak pekerja yang lewat. Mereka yang kenal Melanie pun tidak bisa menahan diri dan menyapanya.

"Bu Melanie, ini pacarmu? Cakep banget."

"Betapa bahagianya jadi Bu Melanie, pulang kerja dijemput pacar. Aku jadi iri."

"Bu Melanie, pacarmu ganteng, ya. Apa dia artis?"

Melanie mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang sambil tersenyum, tanpa menjelaskan identitas Yudha. Yang pada akhirnya seperti pengakuan secara tidak langsung.

Yara menyaksikan semua ini dan dalam hatinya terasa semakin sesak.

Dia berbalik dan berjalan ke arah lain. Satu keinginannya saat ini adalah menghilang dari sini secepat mungkin.

Memandang seseorang yang mencoba melarikan diri itu, Yudha menepuk Melanie di sebelahnya.

"Dia di sana. Aku masuk mobil dulu, kutunggu kalian di dalam."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status